Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Unggul dalam Kuantitas, Tak Luput Untuk Tertindas

Oleh : Ade Yulia

Apakah hanya perempuan yang harus lebih dilindungi? Apakah laki-laki yang harus selalu melindungi? Padahal perempuan dan laki-laki adalah sama-sama manusia yang bisa saling melindungi.

Dalam masyarakat seringkali muncul stereotip bahwa perempuan membutuhkan perlindungan lebih dibandingkan laki-laki. Konon perempuan adalah makhluk dengan fisik yang lebih lemah. Tidak hanya itu, perempuan juga dianggap sebagai makhluk yang emosional, lemah-lembut, teliti, dan lain sebagainya. Sedangkan laki-laki dicap sebagai makhluk yang mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dan rasional, sehingga harus bisa melindungi perempuan.
Pikiran semacam ini ternyata merasuk juga dalam dunia kampus. Mari kita tengok apa yang terjadi di Fakultas Sains dan Teknik Unsoed, dimana mayoritas penduduknya adalah laki-laki. Dalam fakultas ini, khususnya di Jurusan Teknik Sipil, seringkali diadakan praktikum berkala yang melibatkan seluruh mahasiswa. Praktikum lapangan yang dilakukan memang cukup menantang, seperti misalnya mengangkat beton atau mengaduk semen. Namun apa yang terjadi? Mahasiswi nampaknya tak perlu repot untuk ikut mengangkat beton, mengaduk semen, atau mengoperasikan alat praktek lainnya.  
Seperti yang diungkapkan oleh Nuzul, mahasiswi Teknik Sipil 2005 “Dalam beberapa praktek, kesempatan saya untuk mengikuti kerja tersebut terbatas, Misalnya saja bila harus angkat-angkat beton atau ngaduk semen, kadang kita tidak di izinkan”. Hal yang sama diutarakan pula oleh Syaiful, mahasiswa Teknik Sipil 2007, “Biasanya cowok yang ngukur, cewek cuman nulis,”. Mahasiswi ternyata cukup mencatat, lalu membuat laporan. Apakah ini sebuah keuntungan atau malah pembatasan?
Bagi Martina, Teknik Sipil 2005, pembagian kerja yang seperti ini, merugikan bagi mahasiswi. “Tapi aku akui, memang nggak telaten megang alat, jadi aku lebih sering ngitung ma nulis,” ungkapnya sambil tersenyum tipis. Berbeda dengan Hana, Teknik Sipil 2007, baginya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan tidaklah merugikan. “Asalkan waktu praktek kita sama-sama ngerti caranya (mengoperasikan alat-red),” tambah mahasiswi yang berambut panjang ini.
Walaupun antara laki-laki dan perempuan sudah sama-sama tahu cara mengoperasikan alat, ternyata tetap ada proporsi yang tidak seimbang. “Waktu praktikum kemarin, dari sepuluh kali ngukur, sembilan kali cowok yang ngukur, satu kali cewek,” tutur Arin, Teknik Sipil 2007, menceritakan kondisi praktikum ilmu ukur tanah. Kondisi seperti ini ternyata merugikan bagi laki-laki “Di kelompokku selalu cowok yang kerja, sedang cewek cuman nulis. Ini nggak adil!” seru Farid, Teknik Sipil 2007, dengan nada suara geram. “Mereka cuman santai-santai aja dan nggak mau ngangkat-ngangkat!”tambah mahasiswa yang berperawakan besar ini.
Farid menceritakan bahwa seringkali Asisten Dosen yang tidak mengizinkan mahasiswi untuk melakukan kerja praktek yang biasa laki-laki lakukan. Namun tidak semua kelompok, diperlakukan seperti ini oleh sang Ass. Dosen. Dalam kelompok Kurniawan dan Syaiful, tidak pernah ada perintah dari Ass. Dosen yang membatasi ruang gerak mahasiswa, namun kegiatan “cowok kerja, cewek nulis” telah menjadi budaya kerja praktek lapangan.
 Anggapan bahwa perempuan lebih teliti dalam perhitungan dan tulis-menulis, ternyata telah terkonstruk dalam pikiran para mahasiswa. “Biasanya kan cewek itu teliti kalau nulis, tulisannya rapih lagi,” kata Kurniawan, Teknik Sipil 2007. Mendengar kalimat Kurniawan, keempat teman Kurniawan yang semuanya laki-laki langsung mengangguk membenarkan. “Ya..ketangkasan cowok ma cewek kan beda. Tenaga cowok lebih besar,” imbuh Ranggi, mahasiswa Teknik Sipil 2007 yang berambut ikal ini.
Tenaga dan ketangkasan fisik diperoleh dari sebuah proses aktivitas yang selama ini dijalani. Stereotip yang ada selama ini adalah laki-laki lebih kuat dibandingkan perempuan, sehingga perempuan harus dilindungi dan tidak boleh melakukan pekerjaan yang terlalu berat. Padahal ketahanan fisik setiap orang jelas berbeda, namun tidak bisa hanya dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Anggapan lain muncul, kalau melakukan pekerjaan berat seperti mengangkat beton atau mengaduk semen, akan mengganggu alat reproduksi. Benarkah pemikiran tersebut?  O...tidak benar kalau pekerjaaan berat seperti praktek yang dilakukan mahasiswa teknik akan menggangu atau berakibat fatal pada alat reproduksi perempuan,” ungkap Dr. Priyo Imam, S.Pog. “Yang akan mengganggu alat reproduksi perempuan lebih pada proses metabolis tubuh misalnya terjadi trauma pada alat genital sehabis jatuh,” imbuh ahli kandungan asal Jawa Timur ini.
Alasan atas nama perlindungan ternyata tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama. Selama ini kenapa laki-laki lebih kuat secara fisik, karena mayoritas laki-laki lebih terlatih dibandingkan perempuan. Hingga akhirnya ini menjadi hal yang dianggap lumrah.
Budaya ini adalah hasil konstruksi bertahun-tahun yang akhirnya menjadi hal biasa dan nampak tak perlu diperdebatkan. Pembedaan atas nama jenis kelamin ini telah begitu melekat, hingga akhirnya bias gender tak lagi disadari. “Itu (pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan) hanya masalah teknis di praktikum, yang penting kan mahasiswanya sama-sama tahu intinya. Di teknik  itu nggak ada bias gender,”  bantah Gathot Heri S. ST, MT, Sekretaris Jurusan Teknik Sipil Unsoed.  Bagi dosen yang memelihara jenggot ini, jika laki-laki mengerjakan pekerjaan yang lebih berat daripada perempuan adalah hal yang manusiawi. “Masa perempuan suruh angkat-angkat?”, lontarnya santai.
Lontaran Gathot ini cukup menarik untuk dikaji. Dilihat dari lontaran tersebut, apakah benar tidak ada bias gender? Atau malah tidak pernah disadari. Dalam dunia pendidikan, kurikulum ada dua, yaitu kurikulum nyata (formal) dan hidden curriculum (kurikulum yang tidak tertulis secara formal). Kyiriacou (1997) menyatakan bahwa hidden curriculum merupakan segala macam aspek pengalaman yang diperoleh siswa dari sekolah yang sangat berpengaruh terhadap karakter siswa. Ia melanjutkan bahwa hal ini bisa berwujud karakter positif atau negatif.  Lontaran dari dosen di atas (Gathot Heri S.) bisa dikategorikan dalam hidden curriculum yang berwujud karakter negatif.
Dosen sosiologi pendidikan, Dra. Elis Puspitasari, M.Si, menanggapi hubungan antara kurikulum dengan gender,  “Konstruksi sosial yang telah mengkonstruksi pikiran mahasiswa, termasuk ke dalam hidden curriculum,” jelasnya. “Seperti misalnya dosen yang bilang, ”mas, tolong ambilkan OHP”. Kenapa harus mas? Kenapa tidak mas atau mbak? Disinilah letak ketidaksetaraan gender,” tuturnya lugas.
Hidden curriculum yang berasal dari pendidik ini dipengaruhi oleh budaya. Seperti apa latar belakang sosial sang pendidik ini akan mempengaruhi apa yang mereka katakan dan lakukan. Ketika para pendidik ini hidup dalam lingkungan budaya patriarki, secara tidak sadar akan mengonstruksi tingkah laku mereka. Hingga kemudian, ketika para pendidik ini tidak sensitif atau peka gender, mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan menjadi bias gender. Seperti ungkapan “Mas, tolong ambilkan OHP” dari beberapa dosen. Ungkapan itu menandakan dosen tersebut hidup dalam lingkungan budaya patriarki hingga akhirnya sang dosen secara tidak langsung mengukuhkan ketidaksetaraan gender. Walaupun mungkin ungkapan tersebut terdengar biasa di telinga kita. Itupun tidak bisa lepas dari lingkungan sosial dimana kita terbiasa dengan  anggapan bahwa laki-laki yang lebih cocok melakukan kegiatan berat dibandingkan perempuan.
Dosen Sosiologi Pendidikan yang mengenakan jilbab ini, mencoba menganalisis dampak ketidaksetaraan gender. Menurutnya, perempuan dan laki-laki nantinya akan terus menempatkan dirinya dalam posisi yang sesuai dengan konstruksi sosial selama menempuh studi hingga di dunia kerja. “Stereotip perempuan dan laki-laki yang ada di masyarakat akan semakin kental,” tambah Hariyadi, M.A, dosen Sosiologi FISIP UNSOED.  Oleh karena itu, Hariyadi mencoba menawarkan solusi agar di kalangan mahasiswa tidak lagi bias gender. “Tahapan awalnya adalah memperkenalkan mahasiswa pada hal yang sensitif gender, angkatan yang lebih senior pun harus memperkenalkan hal itu, dan ospek bisa menjadi tempat yang sangat penting untuk membangun ruang publik yang setara gender,” gagasnya.
Tidak hanya mahasiswa saja yang harus sensitif atau peka gender, namun juga dosen. Apalagi hidden curriculum seringkali terlontar dari mulut sang dosen. “Perlu adanya pemahaman gender bagi dosen di tiap jurusan. Seperti pelatihan yang pernah PPGA lakukan kepada para dosen, agar dalam kuliah yang diampunya dapat memasukkan unsur kesetaraan gender,” terang Elis Puspitasari.
Menanggapi hal tersebut, Ketua PPGA (Pusat Penelitian Gender dan Anak) menjelaskan, “Pelatihan yang pernah dilakukan adalah pelatihan untuk seluruh dosen mata kuliah Jati Diri Unsoed, Kewarganegaraan, dan Sosial,” ujar Dra. Tri Wuryaningsih M.Si. Menurutnya sekarang ini, sudah banyak dosen yang menerapkan sendiri-sendiri perspektif gender dalam kuliahnya, tapi belum sistemik. Namun hingga saat ini, PPGA masih melakukan upaya pengintegrasian gender ke dalam sistem melalui Kurikulum Berperspektif Gender (KBG). KBG sendiri dipandang penting untuk mewujudkan pendidikan yang sensitif gender. Menurut Gadis Arivia dalam bukunya Feminisme: Sebuah Kata Hati, kurikulum merupakan persoalan yang penting dan pengembangan kurikulum harus ditangani secara serius. Sebab, segala relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan serta segala persoalan kesetaraan selalu akan terefleksi dalam sebuah kurikulum. Sehingga, formulasi kurikulum yang sensitif gender harus dipastikan ada.
Sedangkan pengintegrasian yang dimaksud adalah memasukkan pemahaman gender dalam mata kuliah. ”Sejatinya, KBG ini merupakan salah satu usaha untuk merubah kultur yang ada di mana selama ini perempuan selalu disubordinasikan”, imbuh Ketua PPGA yang seringkali dipanggil Bu Triwur ini. Di awal, PPGA telah melakukan lokakarya dengan tujuan mengintegrasikan gender dalam mata kuliah Jati Diri Unsoed. Namun langkah ini ditolak, hingga kemudian mencoba memasukkan ke dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Pengintegrasian gender ke dalam mata kuliah memakan proses yang cukup lama. Namun jurusan Sosiologi mengambil langkah yang cukup berani dengan berencana menerapkan KBG di semester depan. Pengintegrasian KBG ini sudah pernah dilokakaryakan dosen-dosen sosiologi sejak setahun yang lalu. ”Di Jurusan Sosiologi sendiri masalah gender merupakan suatu masalah yang bisa masuk ke semua lini (mata kuliah) sebut saja agama, budaya, kependudukan, pendidikan pembangunan, serta kesehatan”, papar Hariyadi, sebagai pengampu mata kuliah Teori Kritik Sosial. Namun pemahaman mengenai isu gender tidak harus dengan mengubah atau ada mata kuliah khusus tentang gender tapi dari dosen atau staf pengajarnya itu sendiri sadar atau faham tentang gender.
Ini terkait pula dengan hidden curriculum, dimana dalam perkuliahan dosen menggunakan contoh-contoh kasus yang memberikan pencerahan akan kesetaraan gender. ”Misalnya di kuliah Sosiologi Agama, saya memasukkan perspektif gender seperti pemaparan dan penafsiran ayat-ayat Al Qur’an yang mensejajarkan laki-laki dan perempuan,” cerita Elis Puspitasari yang juga mengampu mata kuliah Sosiologi Agama. Mahasiswa pun mengiyakan akan penerapan KBG ini. Sofyan Ali, Sosiologi 2005 mengatakan bahwa dia juga setuju kalau semester depan Jurusan Sosiologi akan menerapkan KBG.
Bisa dikatakan bahwa jurusan sosiologi merupakan perintis dari KBG di UNSOED. Selain Jurusan Sosiologi, penerapan KBG telah masuk pula dalam mata kuliah khusus gender di FISIP seperti Komunikasi Gender maupun Gender dan Politik. ”Langkah selanjutnya, KBG diharapkan masuk dalam fakultas atau jurusan lain yang eksak. Selain itu dibutuhkan semangat dan kesadaran akan sensitif gender dari pengajarnya,” gagas Hariyadi.
Kesetaraan gender penting agar tidak lagi ada pembatasan kreatifitas perempuan ataupun eksploitasi fisik laki-laki. Dan bukankah dalam Undang-Undang Dasar Pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa “Setiap Warga Negara, baik perempuan dan laki-laki, mendapatkan kesempatan setara untuk mengecap pendidikan”. Perlu digaris bawahi bahwa setara atau persamaan hak di sini bukan berarti persamaan identitas.  Akan tetapi, perlu diadakan sistem yang mengenali adanya perbedaan dalam kebutuhan kedua jenis kelamin.  Serta perlu adanya dukungan bagi segala potensi yang ada diantara kedua jenis kelamin. (Ade, Dana, Febri, Rini)

Posting Komentar untuk "Unggul dalam Kuantitas, Tak Luput Untuk Tertindas"