Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dibalik Kelimpahruahan Produk Teknologi

“ Terjadi kelimpahruahan barang konsumsi yang sebenarnya tidak dibutuhan, tetapi dengan ‘manipulasi teknologi’ barang-barang kebutuhan itu seperti sebuah kebutuhan nyata.”



Produk  merupakan roh dari aktivitas sebuah industri. Tanpa produk, jelas industri akan mati. Disinilah kemudian industri dituntut untuk mempertahankan kelangsungan akumulatif kapitalnya. Salah satunya dengan terus mengembangkan inovasi teknologi. Tentu kita semua dapat membandingkan produk berteknologi tahun 2000 dengan sekarang. Kita akan memperoleh pemahaman bahwa produk-produk tersebut mengalami metamorfosis dengan begitu cepat. Metamorfosis ini terjadi berbarengan dengan teknologi baru yang berhasil diciptakan.

Persaingan pasar yang semakin ketat antar berbagai industri, mengharuskan tiap industri  terus menggulirkan teknologi sebagai alat ampuh menarik hati konsumen. Terutama  agar hasil produksi terus laku di pasaran. Masyarakat dikonstruksi sedemikian rupa untuk terus melakukan tindak konsumtif berdasarkan fantasi, halusinasi, ilusi pada tanda atau simbol yang diciptakan kapitalisme lewat media massa. Contohnya iklan yang menciptakan model-model realitas yang tidak jelas asal-usulnya. Di dalam iklan terdapat tanda-tanda yang mencerminkan kebohongan-kebohongan yang membuat masyarakat mengkonsumsinya (Ritzer,2006:137, Storey, 2005:111).

Membludaknya produk berteknologi dipasar semata-mata untuk menjaga kelangsungan hidup industri kapitalisme. Produk yang dihasilkan sudah tidak lagi mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, tetapi lebih daripada  akumulasi kapital/keuntungan. “ Perusahaan pada intinya hanya mencari keuntungan besar dalam melakukan produksi,” ungkap Hasatama Hikmah alumni FISIP UNSOED yang saat ini bekerja sebagai marketing di sebuah industri ternama di Indonesia.

Ditengah arus produk yang sedemikian besar di pasar, akhirnya produk berteknologi yang notabene bertujuan untuk mempermudah dan mengefektifkan aktivitas manusia justru malah menimbulkan tidak keefektifan. Iqbal Prihastowo mahasiswa jurusan politik sks 2009 FISIP UNSOED disela-sela kegiatannya mengatakan,” Teknologi sekarang digunakan hanya untuk prestise belaka.” Lelaki berkulit sawo matang ini menganggap esensi penggunaan teknologi sudah bergeser lebih kearah gaya hidup.

Ternyata ketidakefektifan penggunaan teknologi yang disebabkan suatu kondisi yang diciptakan oleh kepentingan kapitalisme mempunyai dampak yang negatif bagi kehidupan sosial. Hal ini dirasakan oleh Cipto AN 2009, mahasiswa berambut gondrong ini mengatakan teknologi membuat gaya berpikir kita menjadi instant. Baginya, teknologi menciptakan budaya malas. Misal ketika teknologi belum membludak, dulu mahasiswa ketika mengerjakan tugas kuliah lebih aktif untuk cari buku di perpustakaan. Namun sekarang banyak memakai jalur praktis melalui internet. Tak jarang mereka hanya copy-paste saja.

Teoritisi Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse mengatakan bahwa teknologi yang sejatinya dibuat oleh manusia malahan menguasai umat manusia itu sendiri. Manusia mengkonsumsi bukan lagi didasarkan kepada kebutuhan akan tetapi karena keinginan. Angga Cahya, mahasiswa hukum 2007  yang mengaku menggunakan teknologi itu supaya ‘gaul’ dan ikut trend. “ Apalagi cewe sering beli barang karena keinginan, bukan kebutuhan. Gak butuh tapi dibutuh-butuhin,” tambah Riski Sukma mahasiswa jurusan elektro.

Apa yang kemudian Jean Baudrillard anggap sebagai kondisi Hiperrealitas, yakni sebuah kondisi matinya realitas. Diambil alih oleh sesuatu yang disebut non-realitas. Lewat Iptek, Hiperrealitas menawarkan berbagai pengalaman, penjelajahan dan panorama baru yang artifisial tetapi dianggap nyata. Ia merenggut apa yang disebut realitas alamiah: eksotisme, keaslian dan transenden.

Lebih jauh lagi, kerangkeng teknologi menumbuhkan ketergantungan bagi penikmat dan penggunanya. “ Tak ada teknologi hidup terasa hampa,” dara manis jurusan Akuntansi 2009 Diah Ayu P dengan jujur mengatakan hal tersebut sambil tersenyum kecil menunjukan handphone-nya yang sedari tadi digenggam. Setidaknya itulah yang terjadi dari teknologi, berangkat dari sejarah kebutuhan hidup untuk mengefektifkan, berujung pada ketergantungan, prestise dan label. (Agus, Nike, Arief, Mugi)

Posting Komentar untuk "Dibalik Kelimpahruahan Produk Teknologi"