Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konservatisme

Konservatisme
Oleh: Aulia El hakim

 
Berangkat dari jauh, from Wall Street Journal. Jurnal ini membahasakan dengan lugas sekalipun tidak mendefinisikan, konservatisme “nyaris tidak lebih dari keyakinan naluriah bahwa masyarakat yang ada sekarang mulai dibangun ribuan tahun silam, yang dalam tahun-tahun itu umat manusia menemukan hal-hal yang kini harus mereka pertahankan” dan oleh C. Wright Mills dianggap sebagai perilaku defensif untuk mempertahankan status quo. Dan penulis akan mendudukan posisi kita dalam kelompok konservatif yang memiliki potensi besar timbulnya pembodohan masal, ditengah pembicaraan tentang pencerahan dikampus.

Mari kita membayangkan Lenin hidup kembali, sedangkan kita merupakan pemuja yang membangkitkan sebuah doxa “Mencaci Liberalisme” ditengah-tengah ranah kampus. Flashback ke abad 19 dan awal abad 20an, Amerika utara yang berpusat di Amerika serikat membuat sebuah liberalisme menjadi sekedar teknis, simbol, dogma, serta slogan-slogan untuk membangin integrasi. Adapun di Uni Soviet Marxisme berjalan serupa, sekaligus bersifat ‘ideologi identitas’ untuk mengcounter kekuatan Adidaya lawannya. Dalam blok soviet, unsur-unsur marxisme merupakan bahan baku utama bagi paham resmi yang tidak lepas dari interpretasi resmi, dan panduan resmi bagi semua budaya dan politik serta jalan hidup bagi warganya.

Membayangkan kampus dengan berpikir memperjuangkan rakyat miskin atau menjadi Marxis (C. Wright Mills menyebut Marx terjual sebab memperjuangkan ‘Miskin’) maka baik, dan berbicara liberalisme disebut berbahaya. Sedemikian rupa liberalisme hari ini menjadi caci maki, tapi pernahkah kita sejenak bersikap inklusif selayaknya intelektual pencari kebenaran sebagaimana Plato.

Luangkan cukup waktu, mempelajari liberalisme diluar cara pandang marxis. Semisal dengan mendalami Max Weber atau menelaah jauh apa yang dikatan Liberalisme menurut Isai’ah Berlin sebagai nalar negative = ‘cara pandang terdekat dengan sifat manusia’ sangat humanis. Pernahkah kita inklusif sebelum menghujatnya? Jika tidak Lenin lah kita, menutup paradigma lain, kaum liyan yang tak pernah berusaha kita pahami.

Memahami sebuah objek dari sudut lain, sebelum akhirnya menjatuhkan justifikasi ke Bumi. Memikul sebuah ilmu dan menunda penghakiman dini -sebagaimana Ayu Utami ceritakan melalui Bilangan Fu- adalah kearifan, daripada menjadi sama saja dengan para fanatisme.

Atau seperti yang sudah di ingatkan oleh Qishar Mahbubani dalam bukunya “Can Asia Think?” memunculkan sebuah kongklusi bahwa bangsa Asia sangat terobsesi pada kerukunan dan stabilitas, sehingga tidak terbuka pada saling mengkritik dan membunuh (mendekonstruksi) dirinya sendiri dan orang lain. Dengan kata lain bangsa kita memiliki kecenderungan membangun kestabilan laiknya Lenin, Amerika serikat, Hitler namun dalam bentuk yang halus. Sampai pada suatu hari Tan Malaka pun menekankan adanya Logika –dalam MADILOG- sebagai tantangan di Indonesai agar bangsa ini mulai cerdas.

Sayangnya habitus konservatisme sudah menjiwa, merasuk kedalam sanubari diri sehingga secara wajar tanpa sengaja kita telah menjalani, sekalipun secara verbal menolak sifat ini. Tetap saja doxa pencacian terhadap Liberalisme tertransformasikan secara cepat pada tiap generasi tanpa banyak yang memahami.

Dan tulisan ini bukan untuk membela Liberalisme sekalipun penulis pernah bergelut panjang dan sempat membangun kerjasama diseminasi wacana liberalism dikampus. Penulis hanya resah jika lembaga pendidikan ini menjadi ajang justifikasi paradigma tanpa penggalian lebih dan malu pada diri sendiri karena hidup bersama teman-teman yang memperjuangkan pendidikan, namun justru sedang membangun fondasi pembodohan masal.

(Aulia El Hakim)

Posting Komentar untuk "Konservatisme"