Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Shopaholic, Bukan Penyakit “Kelamin”


Oleh: Milly Camelia
Kalau dulu Rene Decartes mengatakan “berpikir maka aku ada” maka sekarang telah berubah menjadi “belanja maka aku ada”.

Sibuk ia memilah-milah baju, mencoba me-mix and match dengan aksesoris yang dikenakannya. Sangat telaten dan tampak hanya buang-buang waktu. Sebegitu telitinya ia memperhatikan calon pakaiannya itu. Tibalah di kasir tanda waktunya membayar barang belanjaan. Agak lama ia mengorek-ngorek isi dompet lalu diakhiri dengan berbisik ke seorang temannya “Bisa pinjem uang, uangku kurang nanti aku bayar secepetnya”. Si teman segera mengeluarkan uang dari dompet, lalu memberikan uangnya kepada wanita tadi. Sungguh menggelikan kelakuan  mahasiswi Fisip Unsoed jurusan Sosiologi’08 ini.
Makan cukup mendoan, buku cukup fotokopian, nyemil cukup celamitan, tapi penampilan gak cukup asal-asalan. Apalagi hidup di lingkungan mode seperti ini, habislah nanti dikatai jadul oleh kawan-kawan. Ini sungguhan, bukan sekedar guyonan karena ini masalah “kecantikan”.
Begitulah kira-kira tips cantik dari mahasiswi sebuah universitas yang beralmamater kuning redup ini. Tidak mudah hidup di lingkungan mode ternyata. Sedikit melirik ke kanan atau kiri sudah terpampang mentereng baju-baju  for sale di balik kaca-kaca outlet. Seakan melambai-lambai dan berkata “belilah aku cantik, take me out!”.
Berjalan terus berjalan menyusuri jalan kenangan. Para pakaian fashion itu menggeliat-geliat genit disetiap ruang kaca yang tampak jelas untuk dinikmati. Oh inilah surga fashion, semua model baju ada di sini. Tersadar, ternyata ini bukanlah surga belanja Paris atau pun Hongkong, tapi ini Grendeng. Lokasi akademik kawasan kampus Soedirman.
Wanita memang sedang dimanjakan, dunia telah berpihak pada wanita saat ini.  Buktinya dimana-mana semua orang berbondong-bondong memenuhi hasrat wanita. Wanita tampil di ikon-ikon segala produk dari mulai pakaian hingga alat bangunan, wanita bebas berekspresi, bahkan hingga “maap” pakaian dalam wanita pun sangat diperhatikan. Seakan semua yang ada special for you girls!
Menurut informasi dari website www.hariansumutpos.com., para ahli mengatakan bahwa 90 persen dari shopaholic adalah wanita. Sama sekali tidak tampak adanya ketertindasan wanita dari gambaran keadaan ini.
Padahal Engels pernah membahas asal-usul pembagian kerja antara lelaki dan perempuan yang mengakibatkan penindasan bagi perempuan di dalam bukunya “ The Origin of Family, Private Property and the State”.  Ia menceritakan bahwa dahulu pada masa perempuan bercocok tanam dan laki-laki berburu, wanita berada pada kejayaan. Karena sektor bercocok tanam lebih memberikan kekayaan dibanding berburu.
Lelaki sadar akan kekuasaan wanita, sehingga mereka protes dan perlahan mengambil alih sektor bercocok tanam. Parahnya, mulai pada masa ini para lelaki mewajibkan para istrinya hanya memiliki suami satu padahal para lelaki diperbolehkan poligami. Wanita menjadi kaum tertindas dan hanya dijadikan budak pembuat anak saja, bagi Engels ini adalah tahap kekalahan terbesar kaum wanita.
Ini menurut Engels, tapi buktinya saat ini semua memuja wanita. Make-up identik wanita, fashionable identik wanita, dan yang terpenting cantik identik dengan wanita, semua tergila wanita. Sadar atau tidak, cantik menjadi mahal hari ini kawan. Wanita harus mengeluarkan uang gila-gilaan demi vermak penampilan.
“Uang bulanan dikeruk, ngutang di akhir bulan, dan parahnya bohong kepada orang tua demi tambahan uang belanja. Ini tak jadi masalah, yang pentingkan cantik supaya eksis. Dapat pujian dan tidak jomblo”. Begitulah dampak cantik pada pikiran Nova Mulyawati, mahasiswa hukum yang  kos di jalan Gunung Muria.
Putih, mulus, seksi, langsing, fashionable dan pakai matic. Beginilah kira-kira ciri wanita cantik masa kini. Sungguh tuntutan yang tidak manusiawi, sekali lagi ini butuh biaya. Mengertilah kawan, ini mahal tapi semua memuja cantik. Terjeratlah kaum wanita dengan candu belanja karena ini adalah tuntutan penampilan.
Pakaian dua lemari masih terasa kurang, koleksi tas aneka warna masih tidak memuaskan, sepatu dari segala bentuk masih belum kenyang. Ditambah lagi data majalah Cosmopolitan Indonesia, selama Maret-April 2001, menyatakan 67,7% laki-laki selalu melihat bentuk fisik perempuan sebagai hal pertama yang menarik perhatian.
Bertambah kalaplah wanita untuk berlomba menjadi cantik. Sementara wanita sibuk bersusah payah menguras harta, di seberang sana Si Kapital malah berjingkrak girang menadah harta. “Keadaan inilah yang dijadikan peluang oleh para Kapital untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya”, Menurut Arizal Mutahir, MA., salah satu dosen jurusan Sosiologi.
Kalau menurut Joost Smiers dalam buku Arts Under Pressure, kapitalisme merupakan dampak dari globalisasi. Janjinya sih globalisasi dapat membuat perubahan yang baik tapi nyatanya membuat ketertindasan. Memang globalisasi memunculkan investasi dan teknologi industri, tapi yang dapat untung besar ya para pemodal. Semua bisa disetting dengan modal, yang punya modal pastinya berkuasa. Sampai budaya dan selera pun dapat diubah tergantung kebutuhan para kapital.
Ah, semua ternyata hanya kerjaan Si Kapital yang kegenitan mempermainkan kehidupan wanita. Artinya, shopaholic bukanlah penyakit wanita tapi sebuah konstruk. Semua ini ternyata hanya sebuah jebakan!

Posting Komentar untuk "Shopaholic, Bukan Penyakit “Kelamin”"