Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bahasa “Saru” di Bulan Ramadhan

oleh : Syahid Muhammad Muthahhari 

Sebentar lagi ada sebuah bulan yang disucikan, sebab “suci” dibulan ini dimaknai sebagai bulan penyerahan diri total kepada tuhan. Totalitas penyerahan diri ini termanifestasi lewat “puasa”, bukan hanya sekedar menahan makan dan minum, hingga perilakupun ikut “berpuasa”. Artinya di bulan ini ada moralitas yang telah di tentukan, bukan untuk di pertanyakan, bukan untuk kritisi, tapi dijalankan dan dipatuhi atau dengan kata lain ada moralitas ke-tuhanan yang diterapkan pada kesaharian, beserta cara, waktu dan tempatnya, oleh sebab itu tidak mengherankan apabila pada bulan ini produksi kata-kata mutiara dan bahasa islami membumbung tinggi berikut harga dan kemasannya, tidak menghernakan pula jika banyak orang tiba-tiba menjadi “seleberitis”, namun untungnya produksi kata dan seleb ini tidak pernah mencapai inflasi, malah overproduksi sangat dianjurkan, sebab hanya pada bulan ini maksimalnya pasar sesuai dengan maksimalnya pahala, overproduksi sesuai dengan over pahala, jadi tidak akan masalah, malahan ini yang ditunggu-tunggu untuk para pengejar syurga. Nah, untuk kalangan yang keberimanannya masih meragukan, mereka cukup menunggu satu bulan saja, atau setidaknya mereka masih bisa mendapatkan pahala lewat kesabarannya menunggu, caranya mudah saja, cukup “ngedumel” dan jangan diungkapkan, karena hal itu bisa merusak pasar, maka diam jalan satu-satunya agar tetap mendapatkan jatah pahala. sederhana bukan? Dan ketika waktu satu bulan itu telah berakhir, para pemegang perusahaan beserta seleberitisnya akan segera beralih pada industri yang lain. Model bisnis macam ini merupakan model produksi kapital berbasis pahala paling mutakhir abad ke-21 yang bisa melampaui ramalan-ramalan, melampaui teori ekonomi, atau jika tetap ingin menggunakan istilah ekonomi, ini yang dinamakan sebagai mode of production absurdum.



Untuk tetap menstabilkan pasar, maka kreatifitas itu sangat penting, pasar juga tidak boleh diskriminatif dengan membeda-bedakan kelas sosial, dengan kata lain pasar harus bisa dikonsumsi semua kalangan, untuk itu kreatifitas sangat diperlukan dalam hal ini. Menurut ustadz Masyur al Buchori “sesungguhnya setan, jin dan manusia semua adalah hamba allah” dari petuah ini maka pasar punya peran untuk memberikan ruang konsumtif pada orang dengan kualitas dan kualifikasi iman dibawah rata-rata. Berdasarkan hasil survey lembaga Kerohanian Kampus yang tergabung dalam Gerakan Peduli Kaum Setengah Beriman, keimanan seseorang bisa dilihat dari kata dan bahasa yang dituturkannya, dalam kualifikasi kata yang sering dilontarkan oleh kaum setengah beriman, kata “anjing” mencapai 40% dari total 70% mahasiswa setengah beriman di Jawa Barat, 45% kata “asu” mendominasi di Jawa Tengah dan di Cirebon hampir 50% kata “kirik” selalu digunakan pada akhir kalimat. Meskipun data ini tidak empirik, meskipun data ini tidak objektif namun bagi kalangan setengah beriman kata-kata ini sering kali digunakan sebagai ekspresi kekecewaan, kaget, kesedihan hingga kesenangan (penelitian intuitif-kualitatif). Untuk itu perlu adanya menkanisme pasar yang lebih humanis untuk melangkapi kebutuhan ekonomis-mistik ini.



Menurut pandangan Barthes mengenai bahasa, ia berpendapat bahwa bahasa merupakan hasir konstruksi ideologis yang terklasifikasi menjadi bentuk-bentuk dan ruang-ruang dimana ia ditempatkan, lebih radikal lagi ia menyebutnya sebagai mitos, namun barthes nampaknya terjebak pada asal mula sejatinya bahasa itu muncul atau dalam islam disebut “hakikat”, hingga akhirnya ia harus mengkritik dirinya sendiri. Dalam sudut pandang islam, bahasa dimaknai sebagai ungkapan tuhan dari hasil pemaknaan kembali terhadap teks Alqur’an dan Sunnah dengan tanpa mengaburkan universalitasnya, atau dari teks ke konteks kembali lagi ke teks. Hal ini menunjukan bahwa bahasa yang termanifestasi dalam kata memang memiliki ruang-ruang kosong untuk dimaknai kembali, seperti kiasan Goenawan Mohammad “bahasa seperti sebuah roda, jaring-jaring nya yang kosong membuat roda itu terus berputar”. Hal ini menunjukan bahwa bahasa akhirnya tidak bisa dimaknai secara baku dan kaku. Ketidakkakuan ini yang akhirnya memberi peluang bagi ruang kreatifitas untuk bisa membuat pasar tersendiri lewat hegemoni pasar bahasa islami yang sebentar lagi akan segera menghantui kalangan kaum setengah beriman di Indonesia.



Mendapatkan Pahala dengan Bahasa “Saru”

Dari hasil penelitian mengenai kecendrungan kaum setengah beriman dan bahasa tadi, terlihat bahwa mode of production absurdum tidak memberikan ruang pada bahasa “saru’ untuk berproduksi dan beredar. Infiltrasi bahasa islami di bulan ramadhan mampu merasuki tayangan televisi, iklan, hingga infotaimen, padahal konsumen terhadap bahasa “saru” cukup tinggi, jika hanya bahasa islami saja yang bereda, maka pemasaran jadi terbatas dan hanya bisa di konsumsi oleh kelas dan kalangan tertentu, jikapun modal bertambah hanya di dapat pada hasil pasar yang terbatas tersebut. Jika menilik lebih dekat mode of production absurdum ini rentan sekali konflik sebab bahasa islami hanya berproduksi di sekitaran kaum beriman maksimal, disamping itu bahasa islami terlalu sektarian, maka jika bahasa lain menginviltrasi bahasa ini maka situasi panas segera menghampiri, sebab bahasa hegemonik sadar atau tidak sedang menjalankan misi ideologisnya yang tak kenal kompromi yang berkosenkuensi pada rentannya terhadap reduksi dan doktrinasi, mengaburkan bahasa pada titik universalitasnya. Inilah yang kemudian menjadi kelemahan dari model produksi absurd (lihat kamus besar bahasa Indonesia). Artinya model produksi absurd ini tidak dapat melampaui titik absurditasnya sendiri, ia akhirnya menjadi sangat empirik dan idealistik. Absurd karena pencapainya adalah pahala namun dalam ranah aktualnya menjadi baku atau idealistik.



Berbeda halnya dengan mode of production proletarium, dimana bahasa dikembalikan pada titik subjektifnya. Dimana manusia, si pemilik bahasa memiliki otoritas untuk merekontruski bahasanya sendiri, menjernihkannya sesuai dengan ideologi yang diyakini, dengan refleksi keberpikirannya sendiri atau dengan konsensus pada komunitasnya sendiri, meminjam istilah barthes “membongkar mitos membentuk mitos baru”, dari hal ini maka bahasa tidak lagi bisa di mengerti sebagai bentuknya yang pasif, namun terus berdialektis dan bergerak.




Cara kerja mekanisme ini sangat praktis (sederhana) atau dengan beberapa tips yang penulis coba rinci satu per satu. Pertama, pengklasifikasian terhadap bahasa “saru” yang sering digunakan misalnya : celek, asu, tai, jamban, anjing, kirik, jembut dan babi. Kedua, pengkontruksian kembali kata-kata tersebut, hal ini bisa dilakukan dengan radikal atau hanya sebatas penambahan makna, misalnya kata “babi” diradikalkan maknanya menjadi “bangus banget ih…” atau sesuai dengan fungsi ideologis, ambil contoh misalnya, kata “babi” berubah maknanya menjadi “barisan bangsawan imperialis” atau “jembut” menjadi “jeratan imperialisme, borjuasi dan kaum teknokrat”. Dalam bahasa yang punya muatan islam kata “tai” di rubah saja menjadi “takwa, amal dan iman”. Dari hal ini makna yang terkandung dalam bahasa “saru” tidak bisa lagi di justifikasi menjadi “saru”, kemungkinan dalam percakapan keseharian bisa terjadi percakapan seperti ini:

Asu                        : “jembut” koe’ lah!
Bajingan    : siap komandan, terima kasih sudah diingatkan, komandan sangat “tai” sekali terhadap tujuan kita!

Dengan hal ini pula kaum beriman maksimal di bulan ramadhan tidak perlu repot-repot membentak atau mencemooh kalau-kalau sampai di jalan bertemu orang yang berbahasa “saru”. Yang terpenting dan sangat diajurkan ketika menghadapi situasi dimana bahasa “saru” terlontar adalah “khusnudzon” (berperasangka baik).
Kayaknya akan lebih indah jika pada siang hari yang panas di bulan ramadhan ada percakapan seperti ini:

Supir angkot         : “kirik” panas temen, haus kiye lah!
Pak kiyai   : alhamdulillah, subhanallah sekali, kiye temenan “kirik” apa?  "kirik” kuwe “kuatkan iman, kuatkan ihsan dan ketabahan”, semoga Alloh selalu merahmati para supir angkot sekalian.

Munculnya percakapan yang penuh dengan cinta dan kasih sayang tersebut, kehidupan di bulan ramadhan akan terasa sangat menyejukkan, dari percakapan ini pula terlihat bahwa mode production proletarium yang berbasiskan pada bahasa-bahasa rakyat bukan hanya bicara soal peran bahasa dalam memperbanyak kapital, namun lebih jauh mode production proletarium memberikan sebuah metodologi dakw’ah yang lebih manusiawi dan dapat dimengerti semua kalangan, tidak terbatas pada ruang-ruang formal dan agamis, namun ia begitu dekat dengan realitas keseharian, pangsa pasar bahasa islamis yang sudah mahal bisa goyah dengan sendirinya atau bagi sebagian kalangan, seleberitis kata-kata mutiara tidak banyak dikagumi lagi. Melalui mode production proletarium ini pula fungsi-fungsi keberagamaan bisa terasa dalam keseharian, mengambalikan ulama pada kursi kayu kesederhanaan hidup, memulangkan ustadz pada kalimat-kalimat kejujuran, sebab melalui bahasa “saru” kita masih bisa punya pahala.

Penutup.
Tulisan ini hanya untuk mengetuk pintu, bahwa keberagamaan yang hakiki hanya bisa dicapai dengan titik sublimasi yang mengembalikan orientasi pada kesejatiannya. Maka bahasa bukan lagi menjadi persoalan yang begitu penting ketika ramadhan kita jadikan sebagai titik hilangnya orientasi keduawian. Marhaban ya Ramadhan.
 

1 komentar untuk "Bahasa “Saru” di Bulan Ramadhan "

  1. kawan Sahid sungguh "Pejuh" yang sering sekali "Ngentot".

    Penjuh = Pejuang Tangguh
    Ngentot = Ngelawan Total

    hehehe

    BalasHapus