Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sepasang Sepatu


Oleh Mugianto

source : google
Istana dilanda keributan. Sepatu kaca sebelah kanan Cinderella hilang. Putri menawan itu menangis di dalam WC. Jadi, selain sepatu hilang, penghuni istana terkejut kenapa Cinderella ada di WC. Bukan seharusnya di kamar. Mungkinkah di tengah kepanikan itu Cinderella terserang mencret, tidak ada yang tahu.

Aku adalah sepatu kaca sebelah kiri. Kini aku sendirian di kaki kiri Cinderella. Ingin rasanya aku mengikuti saudara kembarku—sepatu kaca sebelah kanan—yang menghilang. Meski ada di kaki mulus dan wangi Cinderella, tapi aku lebih tertarik pada kebebasan. Terlebih, aku berhak tahu darimana asal-usulku dan keluargaku.

Saudara kembarku telah pergi tanpa sepengetahuanku. Aku meratap kesepian. Lagi pula aku kesal dengan kebodohan Cinderella. Kenapa harus menangis di WC yang pesing dan bau berak kering. Baru kali ini aku melihat sisi ‘lain’ putri cantik yang banyak dipuja lelaki itu. Ternyata, menyiram berak pun tidak pernah bersih. 

Harapanku semakin besar supaya ada orang yang mencuriku. Aku tidak tahan dengan kelakuan Cinderella bahkan seluruh punggawa istana. Para kaum ningrat, borjuis sampai penjilat yang tiap hari hanya makan, tidur, seks dan menghitung uang. Aku memang terlalu bodoh untuk tahu bagaimana sistem mereka berjalan. Tapi, aku mengantongi firasat bahwa hal yang mustahil, tanpa kerja, mereka bisa hidup mewah dan berlebihan.

Pencuri, datanglah padaku. Bawalah aku kepada saudara kembarku. Tentu kau memiliki keadilan sekalipun moral enggan membenarkanmu. Kau pasti butuh uang untuk makan, membesarkan anak-anakmu, menyenangkan istrimu, dan menjaga kesehatan keluargamu. Aku rela berada di pasar untuk kau jual jika nalurimu hanya bertahan hidup. Daripada keberadaanku cuma ajang kegenitan putri Cinderella untuk memainkan birahi lelaki. Biarkan kami menjadi sepasang sepatu karena tidak mungkin kau menjual hanya sebelah saja. Aku merenung dan berharap, sendiri.

Setelah berhenti menangis, Cinderella mendesah-desah. Membuatku jadi geli. Di luar para pembantu menggedor-gedor pintu. Sepertinya begitu khawatir keadaan putri. Sedangkan, di dalam Cinderella mendesah nikmat. Tubuhnya menggelinjang-gelinjang, bahkan aku sendiri dibuat pontang-panting seiring gerak kakinya. Tiba-tiba tubuhnya bergetar, lendir putih hangat memuncrat mengenaiku. Sialan. Lalu, aku dilepaskan dari kakinya, dilap dengan tisu basah.

Cinderella keluar. Orang-orang berbusana indah, muka berbedak tebal dan bibir merah cerah mengelilinginya. Diikuti pembantu-pembantunya yang pucat, kurang tidur dan makan, berlomba-lomba menanyakan keadaannya. Cinderella mengambil parfum yang harum menyengat disemprot-semprotkan ke arahku. Bajingan, aku seperti tidak berguna, apalagi bermartabat.

            “Tenanglah putri, sepatu sebelahnya sedang dicari prajurit,” ujar bibi Anitte menenangkan. Istri pangeran Charlie yang gemar berbelanja cincin itu merapikan rambut Cinderella.

            “Pokoknya tuan putri jangan sedih. Biar nanti sahaya bikinkan sup biji peler kesukaan tuan putri,” sela pembantunya, bekas budak, yang telah dibeli ayah Cinderella.

Aku berharap prajurit tidak menemukan saudara kembarku. Biarkan dia hidup di luar dan berguna bagi orang lain. Setidaknya bagi pencuri yang membutuhkan makanan. Mudahan-mudahan dia menemukan keluargaku dan mendapat pengetahuan asal-usul kelahiran kami berdua. Aku sangsi bila harus percaya pencipta kami adalah Tuhan seperti yang disembah manusia. Apalagi setelah melihat Tuhan sesembahan manusia itu sering dipakai kedok tindakan keji dan menindas orang lain. Aku pahami Tuhan adalah kekosongan masing-masing.

Cinderella tidur terlelap tanpa sehelai busana. Di malam yang hening bersama rembulan yang sedang kelelahan. Cahayanya lemah melawan kegelapan. Aku tiba-tiba masuk ke dalam karung. Aku terbang dengan kecepatan yang luar biasa. Beberapa kali terbentur benda di luar hingga membuatku pusing. Wah, jangan-jangan pencuri itu datang. Ia lari terbirit-birit, dugaku. Antara senang dan takut menyergapku.

            “Sepatu kiri…,” aku kaget mendengarnya setelah tangan menarikku keluar dari dalam karung. Setelah aku diletakkan di sebuah meja datar kusam baru aku melihat sekeliling.

            “Woi! Haha…sepatu kanan…,” sambutku riang, hatiku berjingkrak-jingkrak.

            “Haha…akhirnya kita bertemu.”
 
            “Tapi, dimana kita?”

            “Hmhehe…kita di tempat buruh pabrik miskin.”

            “Ha! Tak apa. Kita dapat bersama lagi. Harapanku terkabulkan. Semoga kita dapat bermanfaat bagi penghuni rumah ini. Bukan orang-orang istana yang menjijikan.”

Aku dibuat mainan oleh anak-anak keluarga buruh miskin itu. Di lemparnya aku ke segala penjuru, masing-masing berlomba untuk menangkap. Mereka tidak tahu betapa berharganya aku di mata Cinderella dan seluruh penghuni istana. Seluruh prajurit dikerahkan hanya untuk mencariku dan saudara kembarku. Apalagi setelah tahu kedua sepatu kaca Cinderella hilang, raja dan pangeran pasti bertambah murka, dan anak-anak miskin ini tidak tahu bahaya sedang mengancamnya. Tapi, bagaimana pun aku merasa lebih senang di sini, jadi bahan hiburan dan pelupa lapar anak-anak yang kekurangan makanan.

            “Sini, sini, sepatunya. Jangan buat lempar-lemparan nanti pecah,” seru ayah anak-anak itu, yang tidak lain adalah pencurinya.

            “Ah, ayah…,” sesal anak-anaknya.

            “Eh, itu sepatu mau ayah jual buat membeli makanan musim dingin nanti.”

Anak-anak diam. Masing-masing saling pandang dengan mata sedih. Melihat anak-anaknya kehilangan keceriaan, ibunya datang menenangkan suaminya.

            “Sudahlah ayah, biarkan mereka menikmati barang mewah putri Cinderella dulu. Toh, mereka masih anak-anak, nanti kalau sudah bosan juga ditinggal.”

Aku melirik saudara kembarku. Kemudian berpikir, kami akan dijual, kemana? Andai bisa memilih, biarkan kami melindungi kaki dari salah satu anak-anak itu. Walaupun kakinya rata-rata bau busuk koreng karena menapaki jalanan lumpur bercampur limbah dan asap pabrik, tapi aku merasa berarti. Daripada di kaki Cinderella yang putih, wangi dan mulus, tapi menghadapkan pada sebuah kehidupan yang dibuat-buat, nafsu membuta dan penuh tipu-daya. Aku hanya butuh kehidupan yang polos dan sederhana.

Keesokan harinya, aku dan saudara kembarku dikejutkan oleh ramainya sepatu. Mereka saling bercanda, berdiskusi dan ada yang menyanyi. Siapa itu?

            “Bawa sepatu dari pabrik mau dilembur di rumah?” tanya istri kepada suaminya yang baru pulang dari pabrik membawa sekarung sepatu.

            “Iya, pabrik banyak permintaan, pekerja diwajibkan lembur?

            “Ah, hitungan gajinya, meski lembur, tetap.”

Suara-suara sepatu itu tambah gaduh. Akhirnya, mereka menemukanku terlebih dulu tepat pada saat aku berusaha mengenali mereka satu per satu.

            “Hai..hai..lihat! Itukan sepatu kaca,” ucap sepatu dengan tato “N”.

            “Benar. Itu sepatu kaca. Haloo…,” sapa sepatu bertato “Ad”.

Aku menyahut sapaan mereka semua. “Hai…kawan-kawan. Apa kabar semuanya? Baik-baik, bukan? Haha…”

            “Ya, kami baru saja diciptakan. Kami semua tinggal dijahit. Huuhu…”

            “Siapa yang menciptakan kalian? Darimana asal-usul kita semua? Apakah kita semua bersaudara dan berkeluarga?” tanyaku penasaran.

            “Dasar kau sepatu yang manja. Mentang-mentang sepatu kesayangan Cinderella, lantas kau lupa siapa dirimu. Pencipta jasad kita adalah para buruh miskin itu. Roh kita atau saripati kita adalah tenaga mereka. Ya, berkat tenaga merekalah kita ada. Jangan lupa itu. Para borjuis yang kau kenal di istana itulah penyihir kegelapan. Menutup-nutupi asal kita dengan segenap tipu-daya. Demi keuntungan yang sebesar-besarnya, mereka berlatih mantra sihir tiap waktu, tanpa harus menciptakan kita semua. Kita bangsa sepatu semua bersaudara karena dari asal yang sama, begitu pun pencipta kita, kelas buruh, semua bersaudara dan berkeluarga karena mempunyai nasib yang sama.”

            “Kenapa sang pencipta kita bisa miskin sedemikian rupa?”

            “Lagi-lagi karena kita semua terkena sihir kegelapan kaum borjuis. Kita lupa pencipta kita, sama halnya pencipta lupa apa yang telah diciptakan. Persis, seperti anak lupa dengan kedua orang tuanya, sementara orang tua pun lupa terhadap anaknya sendiri. Anehkan. Sihirnya memang demikian, kita dijauhkan dari pencipta, agar pencipta dapat dikelabui, kehilangan cinta, dan tergadaikan dengan upah. Ia berpeluh keringat menciptakan kita semua selama berjam-jam, kadang lembur, tapi paling hanya kerja dua jam yang dibayar. Selebihnya kerja membudak menumpuk kekayaan borjuis. Pencipta tidak tahu bahwa ia telah kecurian tenaganya oleh ‘tangan tak terlihat’.”

            “Oh, tidak…ternyata pencipta kita adalah ayah dari anak-anak kecil malang itu.”

            “Ya, dia pemberi roh kita. Tanpanya kita tidak akan tercipta. Nama ordo kita adalah komoditi. Kita memuaskan nafsu dan kebutuhan manusia. Kita dipertukarkan di pasar, karena itu manusia hanya mengenal kenampakan fisik kita saja. Mereka tidak tahu, atau kalau pun tahu sengaja menutup-nutupi, bahwa roh kita adalah kumpulan tenaga kelas buruh. Keindahan kamu, hai sepatu kaca, tidak akan ada dan tetap jadi pasir kuarsa di tepi lautan yang sepi jika tidak ada roh dari pencipta kita.”

Brakkk! Prajurit istana mendobrak pintu dengan kasar hingga roboh.

            “Angkat tangan!” bentak seorang komandan pasukan.

Tanpa pikir panjang, buruh miskin itu diseret keluar yang tadinya sedang menjahit sepatu. Aku dan saudara kembarku ikut dibawa. Seluruh kota beranjak ramai menyaksikan buruh miskin itu serta aku dan saudara kembarku—sepatu kaca yang berhasil ditemukan.

Sesampai di istana, kami berdua segera diciumi oleh Cinderella. Kehangatan bibirnya membuatku mual. Pikiranku hanya tertuju pada buruh miskin itu yang terdengar akan segera dihukum gantung. Bagaimana dengan anak-anaknya yang masih kecil? Aku hanya sepatu, tidak dapat berbuat apa-apa, selain kembali menghiasi kaki Cinderella. Akhirnya, aku dan saudara kembarku tahu siapa kami sesungguhnya, asal-usul kami dan keluarga kami. Dan…apa itu ‘pencuri’.

Purwokerto, 5 September 2013.

Posting Komentar untuk "Sepasang Sepatu"