Kisah Selembar Uang
Oleh: Afrianti Eka Pratiwi*
Aku
selembar kertas dengan nilai. Aku mampu membuat orang menjadi gila. Aku dikejar
banyak orang, dijadikan sebuah alat penentu kehidupan masa kini.
Source: Google.com |
Pengap.
Gelap. Aku bersama teman-temanku terjebak di sebuah tempat yang sempit ini.
Beberapa detik kemudian cahaya lampu neon entah berapa watt menerangi seluruh
tubuhku. Di depanku kini berdiri seorang laki-laki bertubuh tambun, berpakaian
rapi, berdasi, lengkap dengan senyumnya yang mengerikan.
“Ini
belum seberapa, aku akan mendapatkannya sisa uangnya besok pagi,” ujar lelaki
itu.
Aku
tidak mengerti apa yang dibicarakannya. Tiba-tiba saja ia menggenggam tubuhku,
mengibaskan aku bersama teman-temanku, kemudian menerbangkan aku hingga tubuhku
terlempar nyaris menyentuh lampu neon itu. Aku jatuh ke lantai, terhimpit di tepi
sepatunya yang mengilap. Aku yakin, sepatu itu sepatu yang amat mahal harganya.
Lelaki
itu mengambil teman-temanku yang tadi jatuh bersamaku di lantai. Ia
memasukkannya ke tempat semula dengan terburu-buru, tapi ia lupa mengambilku.
Kakinya menendangku hingga masuk ke kolong meja tanpa sengaja. Dari sini aku
bisa melihat, ia mendekati brankas di ruangan itu, membuka kunci pengamannya
dan memasukkan teman-temanku yang berada di dalam koper ke dalam brankas
tersebut.
Aku
bisa mendengar derap langkah kaki dari luar pintu. Beberapa detik kemudian,
pintu itu terbuka tanpa izin dari si pemilik ruangan.
“Sedang
apa kau?” tanya seorang yang ada di balik pintu. Aku tidak bisa melihat
wajahnya, hanya melihat bagian kakinya. Sepatu yang dipakainya sama mengilapnya
dengan sepatu pemilik ruangan ini.
“Tidak
melakukan apa-apa,” Aku tahu ia berbohong. “Ada apa kau ke sini?”
“Proyek
baru kita berhasil. Tiga hari lagi bagian kita bisa dicairkan,” laki-laki itu
menyebutkan sejumlah angka yang fantastis. Aku sendiri tidak mengerti proyek
apa yang mereka maksud.
Bip…
Bip… Suara ponsel salah seorang dari kedua orang itu berdering disusul suara
halus layar televisi yang menyala perlahan. Kini salah seorang itu sibuk
mencari channel yang tepat, kemudian
suara khas pembawa acara breaking news
mulai terdengar.
Aku
tidak mendengar seluruh isi berita tersebut karena kedua orang itu sudah sibuk
memaki dan saling menyalahkan satu sama lain.
“Apa
kubilang, mereka pasti akan tertangkap. Dasar bodoh!” seru orang pertama.
“Lalu,
apa yang harus kita lakukan?” suaranya terdengar panik.
“Kita
harus segera pergi dari sini, kota ini, atau bahkan Negara ini. Aku tidak mau
jejakku tercium oleh publik bahkan oleh anjing pelacak milik aparat polisi
sialan itu!” serunya lagi. “Kau pergi duluan! Aku menyusul.”
Setelah
si orang kedua meninggalkan ruangan, si pemilik pertama membuka brankas itu
kembali dengan terburu-buru. Memasukkan semua isinya ke dalam satu koper dan
menguncinya, kemudian ia bergegas pergi.
Hening.
Tersisa desau dari pendingin ruangan. Kini aku mengerti. Mereka adalah dua dari
sekian banyak oknum yang menggelapkan uang rakyat. Membunuh harapan-harapan
rakyat pada mereka. Mereka pengkhianat.
Ah,
ingin rasanya aku kembali pada zaman dahulu. Saat aku belum menjadi candu bagi
rakyat. Saat aku masih menjadi barang alternatif untuk kebutuhan rakyat. Aku
benci zaman ini. Aku dan teman-temanku hanya jadi bahan permainan. Menjadi
tumpukan yang diagung-agungkan segala umat. Berbagai cara mereka lakukan untuk
mendapatkan aku bahkan dengan cara kotor sekalipun. Aku yakin, gambar
Soekarno-Hatta yang menempel di tubuhku pasti menangis melihat kelakuan para
generasinya yang sudah sekarat.#
*) Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed, Angkatan 2013
Posting Komentar untuk "Kisah Selembar Uang"