Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cita-cita, Milik Siapa?

Oleh: Erlina Fury Santika*

Source: Bhinnekaceria.com
Pagi itu saya hendak bersiap untuk pergi ke Desa Cumbut, Purbalingga, tempat dimana saya dan komunitas yang saya ikuti, Bhinneka Ceria, melakukan kegiatan belajar bersama. Pada hari itu agendanya tidak hanya mengajar, ada juga bersosialisasi ke rumah-rumah warga. Berangkatlah saya bersama dua orang rekan saya menuju salah satu rumah warga, Ibu Surtini. Ibu Surtini memiliki dua orang anak, salah satunya perempuan yang masih berusia kurang lebih 9 tahun. Mulailah kami menciptakan suasana hangat dengan berbincang-bincang seputar sekolah Tina, anak Ibu Surtini ini. Pada saat aku bertanya apa cita-citanya, sesaat Tina diam dan ibunya lah yang langsung menjawabnya, “Cita-cita cuma buat orang kaya.” Sejenak saya tertegun dan terpaku akan kata-kata yang dikeluarkan langsung dari Ibu Surtini. Saya tak tahu harus merespon apa atas pernyataannya.

Pernyataan tersebut harusnya menjadi renungan untuk kita semua, khususnya pemerintah. Apakah orang yang bisa menggapai cita-citanya hanya mereka yang kaya dan dengan mudahnya mengakses pendidikan? Apakah dengan mahalnya pendidikan menjadi salah satu faktor pengubur impian anak-anak yang sudah mereka buat sejak lama? sungguh menyedihkan, sekolah yang menjadi sarana untuk menggapai impian ternyata kurang bisa dirasakan kehadirannya oleh masyarakat di negerinya sendiri. Sekolah sebagai sarana pembentuk karakter anak dan dan dengan harapan akan menjadi ‘seseorang’ di tempat lain, tak sedikit yang masih belum bisa merasakannya karna hambatan ekonomi. Tak berhenti sampai disitu, nasib yang berada di daerah terpencil atau pedesaan akses untuk memperoleh pendidikan pun hampir tidak diperhatikan oleh pemerintah.

Perkara ini diantaranya masih banyak disebabkan karena kebijakan pemerintah yang masih bermasalah, sehingga masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Dana pendidikan, misalnya. Untuk alokasi dana sektor pendidikan memang masih terbilang sangat kecil. Kalau didanai 20% dari APBN, seharusnya sektor pendidikan mendapat anggaran sebesar Rp 80 triliun dari total APBN sebesar RP 300 triliun. Namun pada kenyataannya, sektor pendidikan hanya mendapat Rp 13,6 triliun atau hanya sekitar 4% dari APBN. Bahkan dengan berbagai alasan, alokasi 20% ini akan dicicil dan pada tahun  2009 baru terealisir. Padahal dalam amandemen UUD 45 pasal 31 ayat 2 ditetapkan bahwa kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar yang wajib tiap warga negara dan pasal 31 ayat 4 diterangkan bahwa kewajiban bagi pemerintah dan DPR memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dari anggaran APBN  dan APBD. Jika ternyata ditemukan bahwa pemerintah ‘mencicil’ anggaran tersebut, maka secara tak langsung pemerintah sudah menciderai salah satu pasal dalam UUD ‘45. Padahal dalam ketentuan ini, jika dilihat pada ketentuan UUD ‘45, sudah jelas tercantum bahwa pendidikan dari tingkat dasar hingga SMP, gratis dalam artian tidak dipungut bayaran sedikitpun. Karena hal itu memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah. Tetapi realitanya selain dipungut bayaran juga ketentuan pembayaran itu seenaknya ditetapkan oleh pihak sekolah, bukan diatur UU. Ketidakjelasan inilah yang membuat pendidikan negeri tak terarah seperti saat ini.
‘Pekerjaan rumah’ pemerintah tak hanya sampai disitu. Seperti yang saya sebutkan di awal, nasib yang berada di daerah terpencil atau pedesaan mengalami kesulitan untuk mengakses, memperoleh pendidikan ternyata masih belum mampu untuk mengundang perhatian pemerintah. Di beberapa daerah terpencil, sekolah menjadi tempat yang sangat berharga karena tempat ini jarang sekali ditemukan. Minimnya jumlah sekolah dan jarak yang jauh membuat masyarakat di daerah terpencil itu harus berjuang untuk memperoleh secercah ilmu untuk masa depan.  Sebagai contoh, sekolah di Dusun Siwarak, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas. Sekolah di dusun tersebut hanya ada satu dan itu hanya cukup untuk sekolah dasar. Jarak rumah yang jauh dan jalanan yang terjal membuat mereka—para penyala harapan bangsa—datang terlambat ke sekolah dan hal itu sudah menjadi hal yang lazim. Bukannya lazim menolerir kesalahan, tetapi memang dapat dilihat jarak dari rumah ke sekolah yang mereka tempuh dengan berjalan kaki jaraknya bisa mencapai lebih dari 3 kilometer dengan medan yang terjal. Coba kalau kita bandingkan dengan yang di kota, akses menuju sekolah sangatlah mudah. Adanya kendaraan seperti angkutan umum bahkan ada bis sekolah. Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan: apakah sekolah memang diciptakan untuk mereka yang berada di perkotaan?

Beginilah wajah pendidikan di Indonesia. Masih banyak permasalahan yang perlu dibenahi. Apabila seluruh masyarakat Indonesia sudah bisa dan dengan mudahnya mampu mengakses pendidikan, maka pernyataan Ibu Surtini tentang “Cita-cita hanya untuk orang kaya” tak mungkin keluar dari ucapannya begitu saja. Karena sesungguhnya cita-cita tak pernah memandang siapapun dan berhak dimiliki oleh setiap insan yang hidup di dunia.

 *) Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unsoed, Angkatan 2012

Posting Komentar untuk "Cita-cita, Milik Siapa?"