Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemkab Korbankan Pensiunan Rawat Museum Jenderal Soedirman

Oleh: Alexander Agus Santosa


“Pemerintah Purbalingga bangga dengan julukan kota perwira sebagai daya tarik wisatawan, namun mereka lupa membenahi kesejahteraan para pahlawan yang turut melestarikan warisan kota ini”



Angin segar berhembus dari barisan bukit yang berjajar tepat dihadapan bangunan tempat lahirnya sang jenderal bintang lima di Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga.
Di halamannya yang luas berseliweran kendaran bermotor maupun mobil memarkirkan kendaraan. Anak-anak kecil, remaja, hingga orang dewasa satu-persatu memasuki pintu gerbang yang kebetulan hanya dibuka satu pintu itu. Persis di depan pintu masuk, berdiri seorang pria paruh baya yang sesekali duduk sambil menyodorkan tiket masuk dan tiket parkir kepada setiap pengunjung.


“Nama Saya Tohar,” demikian pak tua menyebutkan namanya sambil terus memberikan tiket ke pengunjung yang mulai ramai berdesakan masuk melewati pintu mungil itu. Matahari masih tinggi, Pak Tohar masih semangat berdiri disana. Sesekali Ia berteriak mengarahkan pengunjung yang memarkirkan kendaraannya sembarangan.

Waktu terus berjalan, anak Pak Tohar datang menghampirinya, Ia berpindah untuk beristirahat sejenak di bawah pohon beringin. Kami pun bergegas menghampirinya untuk memulai perbincangan dengan pria asli warga Rembang ini.

“Saya sudah 36 tahun menjadi penjaga di museum ini sejak didirikan 1977 hingga saya pensiun di tahun 2012,” ungkap pria berusia 56 tahun ini. Ia banyak bercerita tentang asal usul kelahiran Jenderal Soedirman yang sempat diperdebatkan di tiga daerah. Museum ini digagas oleh Bupati Purbalingga kala itu Goentoer Darjono. Walupun Pak Tohar tidak punya ikatan keluarga dengan Jenderal Soedirman, Ia tetap dipercaya oleh bupati selanjutnya untuk menjaga museum Jenderal Soedirman hingga saat ini.

Secara legalitas, Pak Tohar sekarang sudah masuk pada masa pensiun, semestinya ia sudah tak punya kewajiban untuk berjaga di museum tersebut. “Setiap hari selama 36 tahun saya selalu kesini, selalu saya rawat dan bersihkan, tapi kalau saya pergi sehari saja museum ini berubah kotor dan tidak terawat,” kata pria yang memiliki empat anak itu. Hanya Pak Tohar seorang yang rela menjaga museum seluas itu.

Sambil menghisap sebatang rokok ia menceritakan kegalauannya meninggalkan museum ini. Disatu sisi ia ingin beristirahat menikmati masa tuanya, namun sampai sekarang pemerintah daerah belum menetapkan penggantinnya, ia khawatir museum ini tidak terawat dan terlantarkan.

“Saya senang kalau pemda bisa mendapat pengganti yang ditugaskan untuk merawat museum ini, tapi Saya lebih senang jika Trisno anak saya yang ke-4 menjadi penerus saya disini,” kata Pak Tohar sambil menunjuk kearah anaknya yang sedang menggantikan dirinya berjaga di depan pintu.

Meskipun telah memasuki masa pensiun, Pak Tohar tetap setia berjaga meski tak diberi bayaran lebih oleh pemda.

Masih di bawah rindangnya pohon beringin, Pak tohar banyak bercerita tentang suka & duka merawat museum ini, mulai dari sepinya pengunjung, renovasi gedung, hingga kunjungan rutin dari pemerintah dan aparat TNI. Ia masih ingat betul tugas pertamanya dari mantan Bupati Goentor sebelum menjadi penjaga yaitu memasang katrol tiang bendera dengan bayaran 500.000 di tahun 1976. Ia juga sangat mengagumi dan meneladani sosok Jenderal Soedirman yang berjiwa pantang menyerah dan rela berkorban.


Di akhir perbincangan ia mengajak tim Cahunsoed.com menyaksikan film drama kolosal Pertempuran Ambarawa yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman. Kunjungan ke museum pun kami tutup dengan foto bersama di depan patung Soedirman saat mengenakan pakaian Pandu (Pramuka) yang masih lugu. Sosok anak pramuka dari rakyat biasa yang tanpa diketahui jika dikemudian hari anak pramuka itu justru menjadi panglima besar bagi rakyat Indonesia.

Posting Komentar untuk "Pemkab Korbankan Pensiunan Rawat Museum Jenderal Soedirman"