Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rumah Itu


Oleh: Nadia Halim*

Source: Donarsketch.wordpress.com
Majikanku pemilik rumah itu. Ya, “rumah itu”. Sebuah rumah yang memiliki pilar-pilar kuat mencengkram bumi. Pilarnya terbuat dari kayu ulin yang didatangkan dari pedalaman hutan Kalimantan. Kayu ulin dipilih karena hujan kabut sering turun di sini. Konon, kayu khas borneo ini tidak lapuk dimakan air, malah justru makin kuat. Konon pula, kayu ulin adalah bahan baku bahtera Nabi Nuh yang keperkasaannya membuat orang terus mencari bangkainya.

            Rumah itu terletak di tepian tanah perkebunan seluas dua belas hektar. Dari kejauhan, rumah itu seperti berada di ujung tanduk karena terletak di bibir bukit. Di sisi kanan rumah ada jendela besar dan teras kecil yang menghadap ke lembah. Usai bekerja aku biasanya duduk-duduk di sana menikmati secangkir clebek dan panorama sungai jernih penuh bebatuan besar yang meliuk-liuk mengikuti kontur lembah.

            Udara segar mengepung wajahku. Jika aku tak mengedipkan mata untuk waktu yang lama, bulu mataku akan basah terkena kabut dingin. Dan jika terlalu lama duduk melamun di sini, aku lupa tentang siapa diriku. Jadi aku  bersikap sewajarnya saja. Jika cangkirku telah kosong, maka aku beranjak, melakukan apa saja yang bisa kulakukan, meski pekerjaanku di hari itu sudah selesai.

            Aku biasanya memilih berjalan ke kebun jeruk. Oleh karena hari sudah senja, para pekerja kebun sudah pulang ke rumah masing-masing. Di sana aku berdiri sendirian, mengamati dedaunan dan ranting yang berserak. Aku selalu menemukan satu atau dua jeruk tergeletak di tanah. Namun biasanya mentah atau busuk. Kadang-kadang aku menemukan buah yang masih bagus, namun begitu kumakan ternyata asam.

            Aku tidak berharap para pekerja akan menyisakan satu atau dua  jeruk bagus dan enak di sini. Tidak ada alasan untuk mereka sengaja menyisakan, karena besok pagi mereka yang akan kembali memungut dan memasukkan ke keranjang buah. Sebab tidak ada satu orang pun jalan-jalan melintasi kebun, apalagi melihat-lihat, seperti yang kulakukan.

              Usai melihat-lihat kebun jeruk, aku berjalan ke tenggara. Di sana kutemui seorang gadis pemetik bunga bersama Ibunya. Mereka adalah Salini dan Bu Rodiyah. Mereka tersenyum dan menganggukkan kepala padaku. Kemudian Salini menghampiriku seraya menyodorkan Snakeroot, seonggok bunga rumput yang mengandung racun ternak.

            Sewaktu aku kecil, bunga ini sering dipegang anak-anak gadis yang sedang bermain dodolan. Dengan imajinasi tinggi, mereka menganggap bunga ini sebagai bawang putih dan bawang merah. Sebab, warna bunganya memang ada dua: putih dan merah.

            Aku tidak kesal Salini memberiku Snakeroot karena senyumnya menyiratkan bahwa ia tidak menganggapku binatang ternak. Atau aku yang terlalu optimis dan berpikiran positif. Senyum lebar Salini bisa saja topeng. Gigi gingsul yang menyembul manis bersama dekik di pipinya bisa saja topeng. Maksudku, mungkin saja Salini menganggapku binatang ternak. Ia berharap aku yang sebatang kara sedang kelaparan, mendadak bodoh memakan bunga rumput ini, kemudian mati kejang-kejang.

            “Untukku?” Begitulah kata yang pertama kali terucap tiap Salini menyodorkan bunga.
            “Iya, bapak!” Ujarnya, masih mempertahankan senyum.

            Seketika aku sadar sesuatu. Salini ternyata masih kanak-kanak. Ia gadis remaja awal umur belasan tahun.  Dan aku, walau belum menikah dan punya anak, tetaplah laki-laki dewasa berumur, yang ke-bapak-an secara fisik.

            Aku sekarang paham mengapa Bu Rodiyah meski tersenyum dan terkesan hormat padaku, wajahnya menyimpan kegetiran. Ia tidak suka anak gadisnya berbicara dengan lelaki sepuh sepertiku. Ia kecewa, anak gadisnya memberikan bunga padaku, padahal hanya Snakeroot, si bunga rumput yang baunya tak sedap dan mengandung racun ternak.
*          *          *
            Rumah itu milik majikanku. Mereka sepasang suami-istri. Mereka telah meninggal tanpa surat wasiat, namun mereka memiliki satu anak laki-laki yang otomatis memiliki hak waris. Harta mereka melimpah, tapi tidak ada satu pun orang yang datang mengklaim diri sebagai anggota keluarga Tuan Birawa dan Nyonya Sadhara. Selama belasan tahun, semenjak mereka meninggal, tidak ada cerita tentang perebutan warisan.

            Anak laki-laki mereka kini telah beranjak remaja tanpa sosok Ayah dan Ibu. Ia sejak  balita dirawat oleh mendiang Romo dan Simbok, pembantu di rumah itu. Ceritanya panjang, dan aku malas menceritakannya karena Romo dan Simbokku sudah meninggal juga. Jadi lebih baik kuceritakan tentang diriku dan anak laki-laki itu saja. Lagipula aku tidak banyak tahu bagaimana kehidupan keluarga di rumah itu. Karena sebelum tuan dan nyonya majikan meninggal, aku masih terombang-ambing di laut, bekerja di kapal pesiar Jar Franco.

            Ia bernama Atilarsyah. Sungguh nama yang aneh. Artinya raja yang tidak pernah mati. Ia memiliki perawakan kurus, namun wajahnya sangat rupawan bak pangeran. Ia kini berumur 14 tahun. Ia memiliki kenangan yang begitu lama dan kuat bersama orang tuaku. Ia menganggap orang tuaku adalah orang tuanya. Dan baginya, kami adalah kaki-beradik.

            Padahal aku sudah menceritakan kebenaran, bahwa orang tuanya telah meninggal. Ia tampak sedih namun segera tersenyum lagi dan berkata, “apa Kakak tidak mau berbagi Ayah dan Ibu pada anak yatim-piatu, ini?” Aku pun menjawab, “aku sekarang juga anak yatim-piatu. Tidak ada yang bisa kubagi denganmu.”

            “Kalau begitu, mulai sekarang kita jadi saudara yang rukun! Kita jaga rumah ini, peninggalan orang tua kita.” Ucapnya seraya memegang pundakku.

            “Baiklah… Tapi tidak akan lama Dik! Aku juga punya kehidupan sendiri. Toh kamu 
sudah besar, bisa menjaga rumah ini, dan mengurus perkebunan! Aku sudah minta tolong Pak Karmin untuk membuka lowongan pekerjaan sebagai asisten pribadimu.”

            “Jadi, kabar tentang Kakak akan pergi, benar?”
            ‘Iya.” Kataku sembari melepas tangannya dari pundakku.
            “Kenapa?”

            “Apa tidak bisa kau jadikan aku budak saja! Aku tidak kuat Dik, berada di sini, terus-menerus dicibir orang. Dikira mereka, aku akan membunuhmu dan merebut harta Tuan Birawa dan Nyonya Sadhara.”
            “Siapa yang mengatakan? Biar kupecat saja dia, bicara lancang!”

            Aku tertegun mendengar perkataan Atil. Pada tiap diksi yang keluar dari bibirnya, serta raut wajahnya menyiratkan masa lalu. Mengingatkanku pada lamunanku di sore hari tentang bagaimana watak mendiang tuan dan nyonya majikan. Romo dan Simbok memang bungkam soal mereka, tapi setiap lekuk benda di rumah itu seakan-akan menyimpan energi mereka: energi watak mereka yang begitu absurd. Aku suka berimajinasi tentang mereka.

            Aku kembali menatap wajah Atil. Kuberkata lagi dengan lebih lembut “tidak bisakah kau melepasku saja? Aku pikir kau sudah cukup mampu untuk berdiri sendiri! Lagipula banyak sekali pelindungmu di sini. Ratusan orang. Mereka loyal padamu dan berani mati untukmu.”

            “Tidak! Bukan soal itu, Kakak akan tinggal di mana? Bagaimana Kakak makan?”
            “Aku bukan makhluk yang hanya dengan diberi makan bisa hidup. Lagipula tanpa hadirku di sini, segalanya tetap berjalan.” Sembari dongkol aku mengatakan ini. Sudah enam tahun aku menahan gejolak kebebasanku.
*          *          *
            Aku berpikir sejarah  sedang mengulangi dirinya. Bocah ini adalah tuan yang tak mau dianggap tuan. Sama seperti mendiang bapaknya. Tapi aku takut ia bertingkah melampaui batas. Jangan sampai hanya karena membelaku, ia memecat mereka yang mencibirku. Bukankah ini tidak adil?

             Meski sejarah sedang mengulangi dirinya. Tak pantaslah seorang raja yang tidak dapat mati, mendadak mati secara misterius. Maksudku aku tak ingin Atilarsyah bernasib sama dengan orang tuanya: mendadak mati. Aku curiga jangan-jangan dulu hanya karena membela Romo dan Simbok, Tuan dan Nyonya jadi memecat pekerja kebun.

            Akhirnya mereka meninggal, mungkin setelah minum jus jeruk yang mengandung racun. Ah, tapi tidak mungkin. Pikiranku ini tampaknya hanya mengada-ngada karena terlalu banyak membaca berita tentang kasus kematian pejuang HAM.

            Lagipula pada setiap peperangan besar, tidak boleh panglima perang menghentikan langkah rombongan prajuritnya hanya karena seorang prajurit tertinggal di belakang. Aku mendengar cerita ini dari seorang musafir asal Madinah yang kutemui di Jar Franco. Ia bercerita tentang perang antara timur dengan barat, di mana ada seorang prajurit tertinggal di belakang karena kudanya kelelahan.

            “Panglima, si anu tertinggal di belakang?” tanya beberapa prajurit pada panglima.
            “Mengapa demikian?” Panglima perang bertanya.
            “Kudanya kelelahan. Haruskah kita jemput dia?” Prajurit bertanya lagi.
            “Tidak usah. Kalau memang dia bertekad kuat turut serta dalam peperangan ini, dia akan mampu mengejar kita walau tanpa kuda.”
*          *          *
            Namun sebenarnya ada yang mengganjal di hatiku. Aku tidak tahu mengapa aku bisa bertahan begitu lama di rumah itu. Dalam hari-hari pemberontakanku pada Atil, ketika ingin minta pergi. Rasanya kakiku justru semakin lengket memijak rumah itu.

            Aku merasakan naluri yang tidak pernah kurasakan. Tanggung jawab dan kasih sayang pada sosok sebatang kara yang kebetulan terlahir sebagai raja.

            Apa hatiku sudah beku dalam merasakan kekangan? Apa aku bukan lagi pemuja kebebasan? Aku masih belum memahaminya.

            Yang jelas, rumah itu selalu menjadi misteri bagiku. Sebongkah rumah bernuansa kayu yang berdiri megah dan kokoh di bibir bukit. Yang di sekitarnya ada lembah luas nan asri. Yang dekat dengannya adalah jurang kesunyian, di mana aku biasa berdiri dan berteriak mempertanyakan takdir kehidupan: apa peranku?

PROFIL PENULIS

            Saya adalah mahasiswi Ilmu Politik Unsoed, angkatan 2012. Saya lahir di Banyumas, 21 tahun yang lalu. Cerpen “Rumah Itu” saya dedikasikan untuk dosen saya: Ibu T.A, yang pernah menanyakan: Nadia suka nulis, ya? Saya memang suka menulis, tapi butuh waktu lama untuk berdamai dengan tulisan sendiri.

            Cerpen ini ditulis hampir dua tahun yang lalu. Namun hanya mengendap di komputer, editing terakhir pada 21 Oktober 2015. Hari ini, 22 April 2016, bertepatan dengan perayaan Hari Bumi, akhirnya saya bisa berdamai dengan tulisan ini. Semoga bisa menjadi bahan kontemplasi…! Saya pun masih berkontemplasi terhadap naskah ini, karena ada sesuatu di dalamnya.

Posting Komentar untuk "Rumah Itu"