Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjaga Kejernihan dalam Kemelimpahan


Oleh:
Edi Santoso*

Tak diragukan lagi, kini kita hidup dalam kemelimpahan informasi. Awalnya adalah kehadiran internet yang mengkoneksikan orang di segenap penjuru dunia. Ramalan tentang kampung global (global village) atau dunia tak berbatas (borderless world) sungguh-sungguh terjadi. Hambatan ruang dan waktu tak lagi relevan dalam komunikasi global. Akses yang nyaris tak berbatas itu akhirnya merubah secara fundamental cara berkomunikasi kita. Media sosial yang hadir kemudian misalnya, memaksa kita untuk mendefinisikan ulang hakikat komunikasi massa.

Era media sosial menegaskan adigium ‘media adalah kita’. Media sebagai produsen informasi bukan lagi mewakili kelembagaan yang hanya bisa dimiliki mereka yang bermodal. Di sinilah kemelimpahan itu makin menjadi-jadi, karena semua netizen berkicau di Twitter land, berekspresi di berbagai web blog, atau bernarsis ria di Facebook atau Instagram. Semua merayakan (euphoria) kebebasan berekspresi.

Tapi tiba-tiba kita merasakan kebebasan itu mulai mengganggu, seiring dengan semakin menjamurnya perangkat yang memungkinkan semua orang bercakap, baik lewat media sosial atau instant messenger. Berbagai grup perbincangan muncul, baik yang diikat oleh kesamaan asal sekolah, ormas, atau asal daerah. Semangat ‘berbagi’ informasi tiba-tiba melonjak tinggi. Bahkan istilah ‘share’ atau ‘broadcast’ kini identik dengan berbagai media tersebut.

Kemelimpahan itu mulai terasa sebagai sampah, ketika informasi itu datang terlalu banyak (overload). Terasa mengganggu ketika informasi itu kita terima berulang-ulang, karena yang mengirimkan sekadar meneruskan dari orang lain. Lebih parah lagi jika posting-an itu sangat panjang. Bahkan tulisan-tulisan baik seperti motivasi atau nasihat agama kadang bikin mual jika kita terima tak terhitung banyaknya. Sebelum kita betul-betul memahami maknanya, sudah datang informasi lainnya. Begitu seterusnya, hingga menumpuk-numpuk. Sebagai sampah, nasibnya akan selalu sama: dibuang dan dibersihkan. Clear chat telah menjadi standar baku, agar smartphone kita tak menjadi lelet karena kebebanan memori.

Kemelimpahan itu sungguh-sungguh merupakan sampah, ketika informasi yang datang isinya tak lebih dari cercaan, gosip, lelucon tak bermutu, atau kabar bohong (hoax). Ini problem yang lebih serius dari kebebasan berekspresi di dunia maya. Seorang kolega dosen berujar, “Kecepatan dan kemudahan dalam dunia online hanya melahirkan budaya ejek-ejekan.” Mungkin ini ekspresi kejengkelan yang mendalam, melihat bagaimana orang saling serang dan menjelakkan, sehingga istilah ‘hater’ menjadi begitu popular. Sampai-sampai kepolisian pun merasa perlu membuat aturan untuk mengendakian ujaran kebencian (hate speech).

Jika itu yang terjadi, lalu apa makna kebebasan? Sungguhkah media sosial merupakan wujud nyata dari demokratisasi informasi? Apakah ini seperti demokrasi yang kita praktikkan di dunia politik, yang kemudian hanya menyisakan masalah-masalah baru?

Tentang relevansi kebebasan rasa-rasanya tak perlu lagi diperdebatkan. Tapi kebebasan minus etika sungguh-sungguh merisaukan. Demokratisasi informasi di dunia online telah melahirkan ‘citizen journalism’ dengan segala impian indah. Ketika semua orang bisa menjadi jurnalis, maka dominasi informasi oleh seglintir orang (pemilik modal) bisa kita lawan. Informasi tak lagi tunggal atau monolitik, tetapi tersebar dengan berbagai varian alternatifnya. Kisah sukses ohmynews di Korsel di awal tahun 2000 an memberikan optimisme itu.   

Tapi jika yang tersaji kini informasi tak bermutu apalagi berita bohong, maka nasib citizen journalism mengkhawatirkan. Orang semakin sulit percaya berita yang disampaikan pewarta warga (bukan wartawan profesional). Gejala ketidakpercayaan (distrust) ini akan kembali mengukuhkan posisi media mainstream.  Orang akan kembali kepada media lama, karena media baru sulit dipercaya.

Akhirnya, kemauan kita untuk menegakkan etika pada dasarnya merupakan upaya untuk merawat kebebasan, agar lebih banyak membawa manfaat dan bukan sebaliknya. Hanya dengan kejernihan dalam memproduksi dan mereproduksi pesan, demokratisasi informasi akan bermuara pada kemaslahatan.


*) Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed

Posting Komentar untuk "Menjaga Kejernihan dalam Kemelimpahan"