Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lawan UKT dan Uang Pangkal

Oleh: Lutfi Ramdani*

Rasanya sudah bosan kita berbicara tentang UKT kawan. Para senior kita di Unsoed dahulu juga sudah banyak yang mengupas tuntas dan memblejeti permasalahan UKT ini. UKT hanyalah turunan dari permasalahan pendidikan di Indonesia yang berakar pada ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola kekayaan negeri ini. Kondisi “salah urus” negara ini seakan merupakan penyakit akut yang terus diwariskan dari satu rezim ke rezim selanjutnya, yang tak jauh berbeda dan tak mampu melepaskan diri dari jerat pengaruh asing yang merampok, memonopoli, dan menguasai kekayaan alam negeri ini. Padahal, mungkin para pendiri negara ini sepakat dengan ekonom Fisiokratis Francis Quesnay bahwa kemakmuran sebuah bangsa tergantung kekayaan alam yang dimiliki bangsa tersebut. Keyakinan tersebut melahirkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”.

Kenyatannya, negara saat ini tak mampu mengelolanya. Kondisi tersebut membuat negara tak mampu memenuhi janjinya sebagaimana tertera dalam amanat konstitusi sebagai “Konsensus tertinggi” bangsa ini yang salah satunya ialah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.  Negera tak mampu membiayai, menyediakan, dan membuka pintu seluas luasnya kepada anak negeri untuk menempuh dan mengenyam pendidikan setinggi tingginya. Rantai yang menutup pintu pendidikan tinggi saat ini terwujud dalam UKT (Uang Kuliah Tunggal). Dari tahun ke tahun cengkeraman rantai tersebut semakin erat karena nominal UKT setiap tahun semakin naik.

Selama kita mungkin diantara kita belum banyak yang tahu sebenarnya untuk apa sih anggaran UKT itu? Sebagaimana kita ketahui UKT adalah sebagian BKT yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya [1] (penting disini: kemampuan ekonomi). Sedangkan apa itu BKT, BKT adalah keseluruhan biaya operasional mahasiswa per semester pada program studi di PTN [2]. Besaran BKT itu ditentukan dari unit cost operasional mahasiswa yang berkaitan dengan kegiatan belajar mahasiswa.

Prinsip UKT ialah dibayar satu pintu atau dibayar sekali oleh mahasiswa dalam satu semester artinya tidak boleh ada pungutan lain di luar UKT yang berkaitan dengana kegiatan belajar mahasiswa. Kegiatan belajar mahasiswa termasuk didalamnya belajar di luar kelas seperti praktikum, tutorial, skripsi, bahkan KKL dan KKN. Seluruh anggaran tersebut sudah masuk kedalam rincian BKT atau Biaya Kuliah Tunggal. BKT juga digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada Pemerintah melalui BOPTN [3]. Subsidi atau bantuan pemerintah untuk membiayai dan membantu kuliah mahasiswa berwujud BOPTN atau Bantuan Operasional Pendidikan Tinggi Negeri.

Disini harus digaris bawahi bahwa  kenyataannya terdapat ketidakadilan dalam distribusi bantuan pemerintah antar PTN di Indonesia. PTN yang dianggap sudah maju dan berkualitas mendapat BOPTN yang tinggi dibanding PTN lain yang dianggap masih belum berkualitas. Padahal tugas pemerintah adalah mengadakan peningkatan penjaminan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan [4]. Kanyataannya, tidak ada peningkatan penjaminan mutu dan pemerataan pendidikan yang berkeadilan karena toh masih ada pembedaan dalam hal pemberian bantuan antar PTN di Indonesia.

Perbedaan dalam distribusi BOPTN tentu mempengaruhi kualitas pembelajaran mahasiswa sehingga hal ini menyebabkan pemerataan antar PTN sulit tercapai meskipun sama sama Negeri. Ini merupakan contoh nyata praktek diskriminatif yang dilakukan oleh institusi pendidikan pemerintah yang bertugas mendidik masyarakat yang seharusnnya bersikap anti diskriminatif.

Anggaran BOPTN tahun ini tidak bisa lagi diakses publik (tidak ada transparansi), sebagai gambaran, anggaran BOPTN 2013 yang masih bisa diakses publik memperlihatkan bahwa UI mendapat 226 miliar, UGM mendapat 170  miliar, ITB mendapat 176 miliar. Sedangkan UNJ mendapat 25 miliar, Unnes 23 miliar, dan Unsoed 16 milliar [5].  Data tahun 2013 diatas setidaknya dapat dijadikan acuan karena saat inipun tentu posisinya tak jauh berbeda.  
Pada tahun 2013 Kemendikbud dalam konferensi persnya tanggal 23 Mei 2013 menyatakan bahwa prinsip penetapan BOPTN, BKT, dan UKT ialah bahwa “uang kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa diusahakan semakin lama semakin kecil dengan memperhatikan masyarakat yang tidak mampu (afirmasi), subsidi silang (yang kaya mensubsidi yang miskin), dan pengendalian biaya yang tepat” ternyata tidak terbukti dan tidak berjalan.
Kenyataannya, besaran UKT setiap  tahun selalu naik. Dalam dialek banyumas, pemerintah telah ngapusi rakyatnya dan membodohi mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang masih punya hati nurani dan marah karena telah dibohongi dan dibodohi tentu kita tidak bisa diam saja, kita harus melawan!
UKT yang sebelumnya digadang gadang merupakan upaya untuk memperluas akses seluas luasnya untuk seluruh masyarakat tak peduli berasal dari kalangan petani, nelayan, buruh, pedagang kecil, dan kaum miskin kota kenyataannya dikhianati kembali melaui kebijakan pemerintah yang diatur dalam Permendikti No 22 tahun 2015 yang membolehkan adanya pungutan di luar UKT yang berwujud Uang Pangkal atau Sumbangan Pengembangan Institusi sebanyak 20 % dari total jumlah mahasiswa.
Penarikan Uang Pangkal tersebut diberlakukan kepada: (a) mahasiswa mahasiswa asing; (b) mahasiswa kelas internasional; (c) mahasiswa yang melalui jalur kerja sama; dan/atau (d) mahasiswa yang melalui seleksi jalur mandiri (Pasal 9 Ayat 1). Tidak jelas berapa besaran biaya yang ditarik dari uang pangkal ini karena tak ada patokan tertentu.
Kebijakan ini hakikatnya hanyalah upaya pelepasan tanggung jawab negara untuk mendanai dan membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal tersebut akan meyebabkan terjadinya praktek jual beli kursi, pemerasan terhadap mahasiswa, dan mempersulit bahkan menutup pintu bagi mahasiswa yang mampu secara akademik namun tak mampu secara ekonomi. Tapi kan masih ada beasiswa seperti bidik misi misalnya? kawan kawan kenyataanya anggaran bidik misi tahun 2016 ini sama dengan bidik misi tahun 2015 yakni sebanyak 2, 9 Miliar untuk 60.000 mahasiswa.
Hal tersebut menyebabkan kuota bidik misi setiap PTN dikurangi karena ada penambahan PTN baru. Dulu anggaran sebesar itu dibagi untuk 98 PTN namun sekarang dibagi untuk 128 PTN [6]. Sungguh aneh, keberanian penambahan PTN tak dibarengi dengan penambahan biaya kuliah untuk mahasiswa. Akhirnya, masyarakatlah kembali yang menjadi korban.
Lalu bagaiman kondisi di Unsoed saat ini? sebagai perguruan tinggi yang juga berada dibawah naungan pemerintah Unsoed juga berencana untuk mengikuti, mewarisi, dan menerapkan setiap kebijakan yang cacat dari pusat tersebut. Unsoed saat ini sudah menaikan level UKT untuk mahasiswa tahun 2016 pada jalur SNMPTN menjadi 8 level. Padahal Rektor sendiri belum mengeluarkan SK yang mengatur kenaikan level UKT. Kenaikan level ini sudah jelas merupakan cacat hukum.

Range kenaikan level juga terlihat tidak rasional jika dibandingkan dengan nominal tahun lalu. Sebagai contoh, untuk mahasiswa baru Fakultas Hukum misalnya, tahun lalu besaran tertinggi (level 7) hanya 3 juta, sedangkan tahun 2016 ini tercatat mahasiswa Fakultas Hukum ada yang harus membayar 6 juta (level 8). Terjadi duakali lipat kenaikan dari nominal tertinggi dari tahun lalu. Jika Unsoed berdalih bahwa kenaikan biaya kuliah Unsoed tahun ini adalah untuk membiayai fakultas dan jurusan baru yang dibangun, pertanyaannya, kenapa pembiayaan tersebut harus dibebankan kepada mahasiswa dan mayarakat? dimanakah peran negara dan pemerintah dalam perluasan, pengembangan, dan penyelenggaraan pendidikan? mengapa mahasiswa dan masyarakat yang harus dikorbankan untuk menutupi pembiayaan pendidikan tersebut dengan menaikan biaya kuliah?

Itulah pertanyaan pertanyaan yang menurut hemat penulis merupakan landasan utama mengapa kita harus menolak kenaikan UKT dan Uang Pangkal saat ini. Jika kenaikan UKT dan penarikan Uang Pangkal terjadi, maka akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang tak mampu mengakses pendidikan tinggi meskipun mampu secara akademik. Jika kenaikan UKT dan penarikan Uang Pangkal terjadi maka pemerintah telah berlepas tangan dan mengkhianati tugasnya sendiri yang diamanatkan konstitusi untuk memberikan hak pendidikan bagi seluruh warga negara. Dan Jika kenaikan UKT dan penarikan Uang Pangkal terjadi maka siap siap pendidikan akan menjadi barang mewah dan komoditas yang diperjual belikan, yang bisa dijadikan lahan bisnis untuk mengeruh keuntungan, dan mainan penguasa sedangkan rakyat sendiri sengara. Maka dari itu, melawan kenaikan UKT dan Uang Pangkal adalah sebuah kewajiban!

*)Menteri Sosial Politik BEM FISIP Unsoed

Referensi :
[1] Pasal 1 Ayat 6 Permenristek Dikti No 22 Tahun 2015
[2] Pasal 1 Ayat 5 Permenristek Dikti No 22 Tahun 2015
[3] Pasal 2 Ayat 1 Permenristek Dikti No 22 Tahun 2015
[4] Pasal 7 ayat 3 UU Perguruan Tinggi No 12 tahun 2012
[5] Draft Kajian dan tuntutan Audiensi 20 Mei 2016

[6]Http://surabayanews.net/jumlah-ptn-bertambahkuota-bidikmisi-tahun-ini-dikurangi/

Posting Komentar untuk "Lawan UKT dan Uang Pangkal"