Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tidak Ditolong Mati, Ditolong Masuk Bui

Oleh: Zahra Ibadina Silmi*

            Tidak pernah terbayang di pikiran saya jika profesi dokter di bawah naungan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) akan melakukan hal-hal seperti yang terjadi pada tanggal 27 November 2013 lalu. Beberapa dari kami menyebut aksi di jalan sebagai aksi solidaritas, beberapa lainnya menyebut sebagai demonstrasi. Bermula dari putusan kepada dr. Ayu, dkk di Manado mengenai kasus malapraktik. Cibiran mulai terdengar, kata mereka profesi yang begitu intelek tidak pantas menyuarakan apirasi di jalan. Tanpa mereka tahu, sebelum aksi di jalan kami laksanakan, ketua PB POGI (Pengurus Besar Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia) telah mengajukan peninjauan kembali semenjak berbulan lalu namun tidak ada tanggapan. Peninjauan kembali ini adalah hak setiap warga negara dan sekali lagi, yang diminta adalah izin PK, bukan untuk langsung dibebaskan hukuman atau dikebalhukumkan. Lagipula demonstrasi adalah sah di mata hukum, kami sudah melakukan prosedur perizinan demonstrasi sesuai aturan, tidak ada anarkisme, dan yang jelas kami semua tahu apa yang kami perjuangkan.

pist source :realsimple.com
            Tuduhan malpraktik dikenakan kepada dr. Ayu, dkk dengan alasan yang simpang siur. Sempat tersebar jika dr. Ayu, dkk memalsukan tanda tangan di informed consent (lembar persetujuan tindakan medis), namun hal ini sebenarnya sudah disangkal oleh Ibu dari pasien. Beliau mengatakan bahwa memang beliau lah yang menandatangani. 

       Kemudian, tersiar juga kabar bahwa dr. Ayu, dkk melakukan tindakan yang mengakibatkan pasien meninggal. Menurut kesaksian dan verifikasi dari para ahli kedokteran di Majelis Komite Kode Etik Kedokteran dr. Ayu, dkk sudah melakukan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) disertai dengan dokumen rekam medik dan informed consent yang lengkap pula. Selain itu, dari hasil otopsi didapatkan bahwa meninggalnya pasien adalah karena emboli di mana kondisi tersebut adalah risiko medis pasca operasi yang tidak dapat diprediksi oleh ilmu medis. Beberapa pihak menyangsikan kesaksian dari Majelis Komite Kode Etik Kedokteran karena dianggap tidak netral dan memihak profesi. 

Saya tidak paham dengan orang yang menyangsikan, apakah mereka memiliki ide lebih baik? Apakah menurut mereka orang berlatar belakang pendidikan hukum lebih berkompeten untuk menentukan salah tidaknya seorang dokter saat melakukan praktik kedokteran? Posisi Majelis Komite Kode Etik Kedokteran sebenarnya sama persis dengan posisi Majelis Militer. Keberadaan Majelis Komite Kode Etik Kedokteran selama ini pun tidak kemudian menjadi pembela mutlak para dokter, bahkan Majelis Komite Kode Etik Kedokteran pernah dalam posisi menegur, menyalahkan, dan menghukum dokter jika terbukti benar melakukan malpraktik atau kelalaian medis. 

Jujur, saya merasa ngeri dengan kasus dr. Ayu, dkk.Mereka sudah terbukti melakukan pekerjaan sesuai SOP serta dikatakan tidak bersalah oleh Majelis Komite Kode Etik Kedokteran dan terlebih, meninggalnya pasien adalah karena kondisi yang tidak bisa diprediksi, namun dr. Ayu, dkk. masih saja mendapat hukuman pidana layaknya seorang kriminal yang melakukan pembunuhan. Hal ini membuat saya mempertanyakan fungsi dari disahkannya UU Praktik Kedokteran No.29 tahun 2004 terutama pada pasal 50, pasal 51, dan bab X. Sedikit atau banyak hal ini sebenarnya bukannya membuat dokter lebih berhati – hati dalam bekerja namun justru menakuti para dokter. Ya, menakuti. Bagaimana tidak, risiko bui menanti jika pasien mati walaupun sebenarnya sudah melaksanakan tugas sesuai SOP. Padahal setiap penyakit dapat mengakibatkan komplikasi jika tidak ditangani. Jika diberi obat pun, obat memiliki efek samping. Jika dioperasi, operasi memiliki komplikasi juga. Ini adalah risiko medis, bukan malpraktik. Lebih dilematis lagi jika dihadapkan pada pasien yang jika ditolong mati, tidak ditolong pasti mati. Jika kriminalisasi dokter terus bergulir, bisa jadi dokter tidak ada yang mau berpraktik.

Tidak hanya aksi solidaritas atau demonstrasi di jalan, pada tanggal 27 November 2013 kami juga melakukan aksi mogok kerja. Aksi mogok kerja memang tidak dilakukan serempak oleh seluruh RS di Indonesia, beberapa masih secara penuh memberikan pelayanan. Aksi mogok kami lakukan menuai banyak kontroversi, pemberitaan negatif terpampang di banyak media. Padahal sebenarnya, aksi mogok tidak dilakukan secara total 100% tidak bekerja. Sesuai dengan surat edaran PB IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia), pelayanan seperti IGD, ICU, ICCU, ruang bersalin, dan fasilitas kesehatan primer yang menangani kegawatdaruratan masih dibuka untuk para pasien.

Kondisi seperti ini sebenarnya sama persis dengan kondisi hari Minggu atau tanggal merah perayaan kebesaran namun lagi-lagi pemberitaan yang tersebar begitu menyudutkan dokter, beberapa berita bahkan sangat berlebihan. Misalnya, dipersalahkannya dokter karena ada pasien tidak bisa CT-Scan. Padahal, CT Scan memang tidak dikerjakan oleh seorang dokter. Di bidang radiologi, dokter hanya melayani USG dan pembacaan hasil. Tersebar pula kabar bahwa ditemukan penelantaran di IGD, padahal sebenarnya pasien sedang diobservasi perkembangan kondisinya.Dan masih banyak contoh berita lain yang menyudutkan dan membesar – besarkan ketidakhadiran kami pada tanggal 27 November 2013 tersebut. Selain itu , kritik bahkan cacian terungkap dari banyak pihak. Padahal kami masih menjaga sumpah kami, kami tidak akan mengorbankan nyawa pasien karena aksi mogok ini. Jika tidak urgent, kami tidak akan melakukan aksi sekeras ini. Banyak hal yang kami tidak berkenan namun tidak kemudian membuat kami bergerak  Kriminalisasi sungguh menjadi buah simalakama bagi kami.Tidak ditolong pasti mati, ditolong masuk bui.

*Mahasiswa Jurusan Kedokteran Unsoed, Dokter Muda di RS Margono 

Posting Komentar untuk "Tidak Ditolong Mati, Ditolong Masuk Bui"