Nelayan Indonesia: Sejahtera atau Menderita?
Oleh: Asep Saripudin
Staf Penelitian dan Pengembangan LPM Solidaritas FISIP UNSOED
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah
garis pantai yang mencapai 95.181 km menjadikan Indonesia kaya
akan sumber daya alam, khususnya sektor laut bagi masyarakat yang tinggal di
pesisir pantai. Sejarah mencatat bahwa kejayaan Indonesia pada masa Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit tidak lepas dari penguasaan laut yang merupakan bagian terpenting
dalam perputaran roda ekonomi. Namun, paska kemerdekaan hingga orde baru sektor
kelautan tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah yang berkuasa. Keluruhan
dari seorang Gus Dur lah yang menyadari bahwa sektor kelautan menjadi bagian
penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dia menggagas berdirinya
Departemen Eskplorasi Kelautan sebagai cikal bakal Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI.
Wacana dari Pemerintah Indonesia untuk
menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia membawa angin segar bagi
perekonomian Indonesia. Apalagi, hal ini akan berdampak baik pada nelayan yang
semakin diperhatikan selaku penyedia protein bagi masyarakat Indonesia. Ironisnya,
wacana pemerintah terkait menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
masih jauh panggang dari api. Tidak ada dampak yang signifikan terhadap
perkembangan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesisir
yang mata pencaharian utamanya sebagai nelayan yang selalu identik dengan
kemiskinan. Tentu saja hal ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, berdasarkan data poverty headcount index (PHI),
kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan mencapai 32,4%. Selain itu, Menteri
Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa jumlah nelayan di
Indonesia selama 10 tahun terakhir mengalami penurunan dari 1,6 juta menjadi
800 ribu KK (Detik, 3 Februari 2017).
Penurunan jumlah nelayan ini juga
tentunya tidak lepas dari berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang tidak pro terhadap nelayan. Baru-baru ini pelarangan penggunaan
cantrang menuai berbagai polemik. Kebijakan larangan cantrang tercantum dalam
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 Tahun 2015. Kebijakan ini
dikeluarkan mengingat bahwa penggunaan cantrang sebagai alat tangkap ikan dianggap
merusak ekosistem laut. Dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan, justru menimbulkan masalah baru bagi para nelayan.
Namun, permasalahan mengenai pelarangan cantrang tidak akan dibahas dalam
tulisan ini. Tulisan ini akan berfokus pada kebijakan reklamasi pantai yang
hingga hari ini masih menuai banyak permasalahan. Selama ini yang diketahui dan
menjadi konsumsi publik dari media hanya mengenai reklamasi di Teluk Jakarta.
Apalagi isu reklamasi Teluk Pantai Jakarta Utara tersebut menjadi komoditas
politik dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta Tahun 2017. Tidak hanya
di Teluk Pantai Jakarta Utara, berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2016 Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) ada beberapa wilayah yang menjadi
proyek reklamasi pantai di Indonesia, diantaranya Pantai
Swering, Ternate; Pantai Marina, Semarang; Pesisir Manado; Teluk Benoa, Bali;
Pantai Balikpapan; Ajungan Pantai Losari, Makassar; Pantai Talise, Palu; Pantai
Kenjeran, Surabaya; Pesisir Lamongan; Pulau Serangan, Denpasar; Pantai Tanjung
Merah, Pantai Bitung, Pantai Boulevard, Manado; Teluk Tangerang; dan Teluk
Kupang (Kompas, 16 Januari 2017).
Pembangunan proyek reklamasi ini tentunya menjadi keresahan bagi para nelayan.
Pasalnya, proyek reklamasi ini akan membuat nelayan terusir dari pesisir dan kehilangan
mata pencaharian pokoknya. Tulisan ini akan membahas mengenai posisi negara
dalam proyek reklamasi dan dampak bagi kehidupan nelayan yang ada di Indonesia.
Reklamasi adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan
atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi
lahan berguna dengan cara dikeringkan. Pada dasarnya reklamasi merupakan
kegiatan merubah wilayah perairan pantai menjadi daratan (Rahadjo, 1981:183). Chapman
dalam Asballah (2003:10) menjelaskan bahwa reklamasi merupakan proses untuk
membuat lahan cocok untuk pemanfaatan tertentu. Bila dilihat dari penggunaan
lahan kota yang sudah sangat mendesak, tindakan ini positif lebih strategis
bila kawasan tersebut telah, sedang atau akan dikembangkan untuk menunjang
ekonomi kota atau daerah. Reklamasi Pantai menurut Suhud (1998), dilakukan
dengan tujuan 1) memperoleh lahan baru yang dapat mengurangi tekanan atas
kebutuhan lahan di bagian kota yang sudah padat; 2) menghidupkan kembali
transportasi air sehingga beban transportasi darat berkurang; 3) membuka
peluang pembangunan nilai tinggi; 4) meningkatkan pariwisata bahari; 5)
meningkatkan pendapatan daerah; 6) meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat
di sekitar kawasan pantai maupun ekonomi perkotaan; dan 7) meningkatkan sosial
ekonomi masyarakat. Dalam meyakinkan masyarakat, pemerintah mewacanakan bahwa
reklamasi berdampak baik bagi lingkungan, ekonomi masyarakat, mengatasi
berbagai masalah sosial, dan sebagainya. Tentunya hal ini secara terus menerus
direproduksi oleh penguasa agar masyarakat secara umum percaya dan akhirnya
menjadi suatu wacana dominan (doxa)
(Suyatna, 2013: 101).
Padahal, bisa saja
yang disampaikan pemerintah tidak sesuai dengan kenyataannya dalam menyejahterakan
masyarakat, khususnya nelayan. Pemerintah dapat saja hanya menjadi perpanjangan
tangan dari kepentingan segelintir orang atau pemilik modal untuk memuluskan
usahanya dalam proyek reklamasi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ralph
Miliband (1961: 23) bahwa “kelas
yang memerintah” dalam masyarakat kapitalis adalah kelas yang memiliki dan
mengontrol alat-alat produksi (means of
production). Lantas, dengan bersandar pada kekuasaan ekonomi yang
digenggamnya itu, mereka memanfaatkan negara sebagai alat untuk mendominasi
masyarakat. Miliband berangkat dari pernyataan Marx dalam manifesto komunis
yang menyatakan bahwa “Eksekutif negara modern adalah sebuah komite yang
mengelola kepentingan bersama kaum borjuis secara keseluruhan”. Artinya, negara
atau pemerintah hanyalah sebuah alat/instrumen bagi para pemilik modal untuk
meloloskan kepentingannya. Dalam konteks proyek reklamasi di Indonesia,
terlihat jelas bahwa proyek tersebut hanya digunakan untuk kepentingan pemilik
modal untuk menggali keuntungan sebesar-besarnya. Ketika pulau hasil reklamasi
sudah selesai dan dapat digunakan, dapat dipastikan hanya golongan-golongan
dengan tingkat ekonomi menengah ke atas saja yang dapat mengakses dan menikmati
hunian tersebut.
Apalagi, dalam proses
pembangunannya saja, proyek reklamasi pantai di beberapa daerah di Indonesia
menyebabkan berbagai permasalahan baru bagi masyarakat pesisir pantai,
khususnya bagi para nelayan. Alih-alih meningkatkan kehidupan sosial ekonomi,
proyek reklamasi justru menjadi masalah serius yang menghambat bagi kehidupan
para nelayan. Mereka harus mengeluarkan modal lebih besar dibandingkan sebelum
ada proyek reklamasi. Bahan Bakar Minyak (BBM) yang biasanya hanya 5 liter
menjadi 10 liter karena harus memutari pulau, pendapatan yang biasanya mencapai
Rp 5 juta per hari anjlok 94% menjadi Rp300.000 per hari karena tangkapan ikan
mengalami pengurangan yang drastis akibat pencemaran air. Berdasarkan data dari
Kiara (2016) menyatakan bahwa akibat dari reklamasi sebanyak lebih dari 107.361
kepala keluarga (KK) nelayan terusir dari belasan lokasi pulau buatan. Maka,
tidak heran sebagaimana yang disampaikan di awal bahwa menurunnya jumlah dan
belum sejahternya nelayan di Indonesia adalah akibat dari kebijakan Pemerintah
Indonesia itu sendiri.
Proyek reklamasi yang
sudah berjalan di beberapa pantai di Indonesia bukanlah suatu solusi bagi
permasalahan kemiskinan nelayan yang ada di Indonesia. Kebijakan reklamasi
justru merugikan nelayan Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar dan upaya
untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Pemerintah Indonesia
harus memperhatikan dan membuat kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan
nelayan dan bukan para pemilik modal. Sejatinya, kesejahteraan seluruh
masyarakat Indonesia adalah poin penting yang harus ditegakkan oleh Pemerintah
Indonesia. Hal tersebut juga sudah tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945
yang berbunyi “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat”.
Selamat
Hari Nelayan Indonesia!
Jayalah
Nelayan Indonesia!
DAFTAR
PUSTAKA
Asballah, Raja. Hubungan Reklamasi Pantai dengan Komponen Perkembangan Kawasan. Tesis.
Program Studi MPKD. Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 2003.
Dinillah,
Mukhlis. “Berapa Jumlah Nelayan RI? Ini Kata Susi”. Detik. Diakses pada tanggal
5 April 2018.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3413124/berapa-jumlah-nelayan-di-ri-ini-kata-susi.
Miliband, Ralph. The State in
Capitalist Society. London, Melbourne, and New York: Quartet Books, 1969.
Nugroho, Adrianus Bintang Hanto.
“Kekuatan Modal dan Perilaku Kekerasan Negara Pada Masa Orde Baru dan Pasca
Orde Baru: Studi Kasus Freeport”. Diakses pada tanggal 22 Maret 2018.
ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/download/ 70/65.
Rahardjo, Satjipto. Hukum Dalam
Perspektif Sosial. Penerbit Alumni, Bandung, 1981.
Ramadhiani,
Arimbi. “Data Kiara, 107.361 KK Nelayan Terusir Akibat Reklamasi”. Kompas.
Diakses pada tanggal 5 April 2018. https://properti.kompas.com/read/2017/
01/16/214941121/data.kiara.107.361.kk.nelayan.terusir.akibat.reklamasi.
Suhud, A. R., "Penanggulangan
Reklamasi yang Telah Berjalan; Dalam Benaen. D.G. dan Amiruddin (Eds V.
Prosiding Konferensi Nasional I Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Indonesia (hal C113-C119). PKSPL IPB - CRC - University of Rhode Island.
Posting Komentar untuk "Nelayan Indonesia: Sejahtera atau Menderita?"