Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Proses Hukum Dipertanyakan, Kondisi Psikis Korban Dikesampingkan: Kasus Perundungan KPI yang Belum Terselesaikan

 

Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia tak sedikit yang belum terselesaikan. Menolak lupa salah satu kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan hingga kini, yaitu perundungan yang terjadi di Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Seperti yang diketahui, bahwa penyintas (MSA) yang baru mengawali karirnya di tempat tersebut langsung mendapat perlakuan tidak menyenangkan berupa perundungan dari seniornya yang berjumlah 7 orang.

Tahun 2011, korban mengawali karirnya di Kantor KPI Pusat, tak disangka kantor yang ia tempati memiliki lingkungan yang tidak sehat. Hal itu membuat ia mulai menerima pengucilan dari ketiga seniornya dalam bentuk verbal maupun nonverbal selama bertahun-tahun. Namun dengan alasan ekonomi, korban tetap mengadu nasibnya di kantor tersebut. Tak jarang ditemui, mereka yang lebih senior daripada karyawan lain biasanya segan untuk memberikan tekanan tinggi kepada bawahannya dengan dalih agar mereka dapat meningkatkan kinerja perusahaan dengan menyelesaikan pekerjaan lebih efektif dan efisien.

Senioritas Sebagai Budaya Bullying

Senioritas yang terjadi seperti tindakan bullying bahkan hingga mengalami gangguan PTSD jelas akan menghambat pengembangan diri dan mematahkan motivasi berprestasi bagi korban. Pada prinsipnya, framing sosial budaya dan hubungan industrial yang berbeda antar lintas generasi mengakibatkan adanya konseptualisasi subjektivitas di dunia kerja. Seperti yang dinyatakan oleh Ilmuwan Amerika, Neuman dan Baron (1998) dalam penelitiannya menyatakan bahwa budaya industrial yang tidak sehat seperti kekuatan (power) yang tidak seimbang antara pelaku dan target perundungan membuat budaya bullying semakin mengakar. Alih-alih melakukan pembiasaan kultur dunia kerja agar pekerja baru terbiasa dengan tuntutan yang diberikan, justru melemahkan mental lawan. Penggunaan kekuatan yang tidak sah tersebut dapat berasal dari struktur politis organisasi sehingga dapat mengganggu atau melebihi batas perilaku di tempat kerja.

Kejadian perundungan ini mengakibatkan korban divonis mengalami Hipersekresi di tahun 2016. Tiga tahun berselang, tepatnya di tahun 2019 korban divonis mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) oleh psikolog di Puskesmas Taman Sari, Jakarta.

Penanganan Kasus Masih Lemah

Berbagai cara dilakukan korban agar mendapat keadilan untuk dirinya, mulai dari melaporkan kasusnya kepada Komnas HAM hingga kepolisian. Namun sayangnya, respon yang diberikan kedua belah pihak yaitu Komnas HAM dan Kepolisian terkesan hanya formalitas belaka dan kasusnya tidak ditangani dengan serius, korban malah dituntut untuk penyelesaian secara internal dan kekeluargaan. Namun hal itu tak membuat korban berhenti menuntut keadilan. Meskipun sudah mendapat perhatian khusus dari KPI hingga terbentuk tim investigasi kasus ini, usaha yang dilakukan tidak sepadan dengan hasil yang didapatkan. Alih-alih mendapat perlindungan, korban justru dilaporkan atas pencemaran nama baik dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terhadap pelaku.

Lebih banyak, korban juga diminta untuk menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan hingga diminta mencabut laporan. Namun, korban tidak akan tunduk dengan ancaman tersebut dan akan terus menyeret kasusnya hingga ke meja hijau. Menurut pihaknya, kasus ini bukan semata-mata untuk diselesaikan, tetapi juga sebagai edukasi masyarakat terutama korban pelecehan seksual khususnya laki-laki yang tidak berani membuka suara.

Banyaknya lembaga perlindungan di Indonesia yang secara praktis lebih khusus menangani kasus bullying di ranah pendidikan dan remaja membuat mereka para pelaku kejahatan diluar kedua ranah utama tersebut semakin banyak bak jamur di musim penghujan.

  Paradigma dan prinsip penegakkan hukum negeri ini yang lebih identik dengan sanksi penjara dan materil namun tidak terlalu menegakkan sanksi sosial kepada pelaku turut menghambat pemulihan psikis korban. Nyatanya, hukuman dalam bentuk kurungan penjara bisa sangat mudah ‘dibeli’ pelaku kejahatan sehingga mereka bisa dengan bebas tanpa merasa bersalah atas perbuatannya.

Hal itu menunjukkan betapa lemahnya lembaga pemasyarakatan kita dalam menangani kondisi kesehatan mental yang sama pentingnya dengan kondisi kesehatan fisik. Dilansir dari Indozone News (25/10) KPI justru menyarankan MSA untuk pergi ke psikolog Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) saja. Padahal, kondisi mental MSA saat ini bukan hanya membutuhkan dukungan moral yang layak namun ia juga membutuhkan obat-obatan sebagai penanganan terhadap rasa cemasnya. KPI juga enggan untuk membiayai korban (MSA) agar ditangani oleh psikiater pilihannya.

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi lah yang dapat memberikan kewenangan melalui lembaga dibawahnya. Hal itu bertujuan memasifkan pembangunan lembaga pemasyarakatan guna menciptakan rasa aman terhadap rakyat tanpa terkecuali. Perkembangan kesehatan mental masyarakat masih perlu diperhatikan, karena merupakan salah satu indeks keberhasilan pemberdayaan masyarakat. Di sisi lain, kesehatan mental yang diperhatikan oleh pemerintah perlahan dapat memupuk kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama dalam menuntaskan berbagai kasus yang belum terselesaikan.

Harapan tertinggi masyarakat berada di tangan pemerintah, maka lembaga yang dibentuk harus bisa memecahkan masalah secara jangka panjang. Berbagai permasalahan juga harus diselesaikan secara adil, proses hukum perlu dilaksanakan sebenar-benarnya tanpa mengesampingkan kondisi korban. Terlebih dengan kemampuan negara yang ada, salah satunya dengan cara membangun lembaga pemasyarakatan secara masif agar perlindungan terhadap korban perundungan lebih terjaga.

Penulis: Zada Fadhila A

Editor: Anisa P M C

Referensi:

https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/download/38028/pdf

https://zonabanten.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-232520916/kronologi-terlengkap-pelecehan-pegawai-kpi-mulai-dari-melapor-di-kepolisian-sampai-dm-instagram-hotman-paris?page=4

https://www.tvonenews.com/berita/hukum/6311-korban-pelecehan-seksual-di-kpi-diminta-cabut-laporan-polisi-oleh-terlapor?page=2

https://www.google.co.id/amp/s/www.indozone.id/amp/AqseWvB/kpi-tolak-biayai-pengobatan-psikater-terduga-korban-pelecehan-dan-bullying

Posting Komentar untuk "Proses Hukum Dipertanyakan, Kondisi Psikis Korban Dikesampingkan: Kasus Perundungan KPI yang Belum Terselesaikan"