Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tindak Lanjut Kasus Pelecehan Seksual di Unsoed: Peraturan Rektor Belum Disahkan, Tunggu Apa Lagi?

Ilustrasi (Cahunsoedcom / Nurul Fattimah)

Penyelesaian dan penanganan kasus pelecehan seksual di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) masih dirasa belum maksimal sehingga membutuhkan kejelasan yang pasti. Atas ramainya kasus yang terjadi sebelumnya, tanggapan dari berbagai pihak akhirnya bermunculan. Salah satunya seorang alumni mahasiswi Unsoed yang juga seorang aktivis gender, Amalia Nur Ramadhani, mengemukakan dalam sesi wawancara (3/2/2022) “Ramainya kasus tersebut memicu banyak korban lain yang mulai speak up terkait pelecehan seksual yang dialami. Namun, penanganan dan komitmen dari kampus belum maksimal, banyak kasus yang belum terselesaikan karena prosedur dari universitas tidak jelas”.

Pihak Unsoed perlu gencar dalam memperbaiki masalah sistematis tentang penanganan pelecehan seksual di kampus. Sedikit kasus yang terungkap ke publik bukan berarti kampus aman dari pelecehan seksual. Beberapa survei yang dilakukan secara mandiri oleh LPM Solidaritas menunjukkan di lingkungan Unsoed cukup banyak yang mengalami pelecehan seksual namun tidak terekspos. Seperti data yang diperoleh dari survei LPM Solidaritas Fisip baru-baru ini, tercatat banyak sekali kasus pelecehan seksual dengan mayoritas dilakukan secara verbal dengan persentase 56,09%, fisik 30,53%, dan isyarat 13,38%.

Dalam survei tersebut, diperoleh data persentase ketersediaan melapor sebanyak 57%.  Mayoritas responden yang tidak ingin melapor disebabkan permintaan korban yang merasa malu dan takut apabila kasusnya terungkap ke publik. Selain itu, alasan lain tidak ingin melapor yaitu bentuk pelecehan seksual dianggap ringan oleh pihak lain, seperti catcalling yang kerap kali dianggap sebagai candaan belaka. Permintaan korban yang ingin menutup kasus juga menyebabkan penanganannya dilakukan secara privat. Di sisi lain, beberapa responden berharap pelaku juga mendapatkan sanksi sosial yang tidak menguap begitu saja.

“Sebelumnya kita harus tau orang yang ikut meramaikan berita itu hanya penasaran atau benar-benar peduli terhadap kasus yang ada. Jadi, kalau kasus itu gampang meredup bisa dijabarkan kalau mereka hanya kepo dan ikut-ikutan hype saja. Di sisi lain kita harus mengedepankan perspektif korban ingin bagaimana” Ujar Menteri Adkesma BEM 2021 yang menuangkan pandangannya terkait kasus pelecehan seksual yang mudah menguap di media.

Sementara itu Istiqomah, S.E., M.Sc., Ph.D selaku Wakil Dekan FEB Bidang Kemahasiswaan menyatakan bahwa terdapat solusi yang lebih efektif daripada mem-blow up di media. “Saya pikir dengan mem-blow up ke media itu bukan solusi, biasanya mahasiswa takut akan konsekuensi kalau terungkap bagaimana. Yang penting bahwa pribadi si pelaku bisa di recovery dan disembuhkan”.

Penanganan kasus pelecehan seksual di Unsoed sebelumnya hanya berpedoman pada kode etik. Hal itu menandakan bahwa berbagai kasus serupa masih memerlukan regulasi yang jelas guna mengatur keseluruhan penyelesaiannya. “Tindak lanjut untuk kasus sebelumnya yang pernah terjadi, dari FEB dilakukan mediasi. Hukuman diberikan berdasarkan kode etik universitas yang diturunkan ke fakultas-fakultas, disesuaikan dengan level pelecehan yang diperbuat,” ucap Istiqomah, S.E., M.Sc., Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FEB Unsoed (4/2/2022).

Sedangkan tanggapan dari Dr. Agus Haryanto, M.Si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional saat sesi wawancara (3/2/2022) mengatakan bahwa penanganan dari jurusan sebatas memanggil pelaku untuk dimintai klarifikasi atas desas-desus kasus yang ramai. “Kapabilitas jurusan tidak sampai berwenang memberikan hukuman kepada pelaku atau menangani trauma korban, karena kita juga belum memiliki tim investigator dan bekal semacam itu. Kita serahkan ke lembaga pusat yaitu ULPK (Unit Layanan Pengaduan Kekerasan), lalu menunggu kepastiannya,” ujarnya. “Harapannya ada aturan jelas yang mengatur bagaimana prosedur untuk jurusan ketika menangani kasus pelecehan seksual di kampus,” tambahnya lagi.

Seperti yang dikatakan oleh Dr. Agus Haryanto, sebetulnya Unsoed sudah memiliki layanan pengaduan bagi para penyintas yang ingin melapor, mendapatkan advokasi dan layanan psikologis. Terdapat Unit Layanan Pengaduan Kekerasan (ULPK) yang dinaungi oleh PPGAPM (Pusat Penelitian, Gender, Anak, dan Pelayanan Masyarakat). Tak hanya pendampingan pada korban, ULPK juga mengadakan sosialisasi agar lebih banyak civitas akademika Unsoed yang mengenali ULPK serta berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pelaporan kekerasan yang dialami warga Unsoed. Selain ULPK, masih ada pihak lain yang bisa dipercaya penyintas untuk pengaduan atas pelecehan yang dialami, seperti forum yang terdapat dalam layanan Kementerian Adkesma BEM Unsoed yaitu ‘Batir Perhatian’ dan ‘Aduan Cerita’, serta lembaga atau himpunan yang terhubung di dalamnya.

Tersedianya lembaga pengaduan tersebut seharusnya didukung dengan pembentukan satgas dan regulasi yang diatur secara resmi dan bersifat komprehensif. Pembentukan satgas dimaksudkan agar pengawalan kasus pelecehan seksual bisa berjalan efektif. Selain itu, kejelasan regulasi saat ini menjadi desakan utama agar prosedur penanganan, pencegahan, dan penentuan kebijakan diambil secara tepat.

Pihak universitas memang sebenarnya sudah dalam proses mengesahkan peraturan rektor untuk menindaklanjuti Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. “Karena peraturan ini masih baru jadi butuh proses untuk membuat Peraturan Rektor. Target bulan Februari pengesahannya,” ucap Dr. Tri Wahyuningsih, M.Si, Wakil Dekan FISIP Unsoed yang terlibat dalam perumusan Peraturan Rektor tersebut.

Wakil Rektor 3 Unsoed juga memberikan keterangan yang serupa, “Untuk targetnya Februari ini. Draft sudah jadi, tinggal finalisasi oleh tim hukum. Isi peraturan tersebut yaitu 1) Tentang rumusan perbuatan yang ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh civitas akademika. 2) Prosedur kemudian pemberian sanksi.”

Dr. Kartono, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan FH Bidang Kemahasiswaan memberikan pandangannya perihal perumusan peraturan rektor tersebut pada (3/2/2022). Beliau mengungkapkan bahwa peraturan rektor terkait kasus pelecehan seksual merupakan hal yang penting dan diharapkan peraturan tersebut memberikan perlindungan yang menyeluruh terhadap korban. Tentunya harus ada prosedur yang jelas mengenai tahap-tahapan pengaduan, siapa saja pihak yang harus didengarkan, kemudian peraturan tersebut harus dikonstruksikan untuk dirumuskan tindak lanjutnya.

“Tentu saja itu SK tersebut penting dan relevan dengan Permendikbudristek. Saya menganggap bahwa itu penting dan perlu dipertegas,” ujar Dr. Kartono yang menegaskan ulang pandangannya.

Terlepas dari peraturan rektor yang sampai saat ini masih sangat dinantikan pengesahannya, Unsoed sudah melakukan upaya dalam penanganan dan pencegahan kasus pelecehan seksual melalui penyediaan layanan pengaduan dan advokasi yang patut diapresiasi. Peraturan rektor terkait tindak lanjut kasus pelecehan seksual perlu segera disahkan dan disosialisasikan secara maksimal agar tidak hanya sekedar menjadi peraturan saja. Penerapan aturan tersebut semestinya benar-benar menjadi pedoman warga Unsoed, harapannya akan memperkuat kinerja dari ULPK dan lainnya. 

 

Penulis: Mg-Hafidha Trinur Ilmi

Reporter: Mg-Dewi Sri Raahayu, Mg- Nurul Fattimah, Mg-Hafidha Trinur Ilmi

Editor: Anisa P M C

Posting Komentar untuk "Tindak Lanjut Kasus Pelecehan Seksual di Unsoed: Peraturan Rektor Belum Disahkan, Tunggu Apa Lagi?"