Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Robot Polisi di Tengah Ketimpangan dan Pelayanan yang Rapuh

Cahunsoedcom/Kayla Syafira

Peringatan Hari Bhayangkara ke-79 seharusnya menjadi momentum refleksi bagi institusi kepolisian: sejauh mana polisi hadir sebagai pelindung dan pengayom masyarakat? Namun sangat disayangkan, momen tersebut menimbulkan kontroversi. Bukan soal keberhasilan penegakan hukum, melainkan tentang pengadaan robot polisi, robot anjing, dan kemunculan platform digital bernama PoliceTube. Di tengah euforia teknologi, apakah ini bentuk kemajuan? Atau justru bentuk lain dari pemborosan anggaran yang tidak menyentuh kebutuhan riil di lapangan?

Melansir dari dataindonesia.id, anggaran Polri mengalami peningkatan 10 tahun terakhir. Namun peningkatan ini sering kali tidak dibersamai dengan kualitas pelayanan maupun citra institusi. Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah pengadaan perangkat teknologi seperti robot polisi, robot anjing, atau kanal digital PoliceTube, yang disebut-sebut sebagai upaya memperkuat pengawasan dan membantu kinerja kepolisian. Pertanyaannya, apakah betul alat-alat ini mendesak untuk dibeli? Atau sekadar belanja simbolik? Ketika masyarakat menuntut peningkatan integritas dan pelayanan dasar, Polri justru sibuk mempercantik citra dengan teknologi yang belum jelas urgensinya.

Teknologi bisa bermanfaat jika digunakan secara tepat. Namun, di tengah upaya efisiensi yang digaungkan pemerintah di berbagai sektor, justru muncul pembengkakan anggaran dalam bentuk pengadaan alat canggih seperti robot yang ditaksir mencapai miliaran rupiah per unitnya. Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari modernisasi hingga peningkatan layanan. Apa fungsi sebenarnya, bagaimana efektivitasnya, dan sejauh mana dampaknya terhadap pelayanan publik? Di Indonesia, proyek semacam ini rawan menjadi sekadar etalase digital yang mahal dan mencolok, tapi jauh dari menyelesaikan persoalan pelayanan serta kepercayaan masyarakat.

Kekhawatiran publik bukan hanya soal urgensi, tetapi juga potensi penyimpangan. Belanja teknologi canggih kerap menjadi ladang empuk untuk mark-up, proyek titipan, dan pengadaan yang tidak transparan. Minimnya keterlibatan DPR dalam pengawasan dan lemahnya laporan terbuka kepada publik memperburuk situasi ini. Keterbukaan anggaran dan audit menyeluruh terhadap belanja teknologi Polri sangat penting agar uang rakyat tidak hilang dalam proyek-proyek ambigu.

Apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dari Polri? Jawabannya sederhana: kehadiran, ketegasan, dan keadilan. Bukan robot, tapi polisi manusiawi yang memahami persoalan sosial. Masyarakat tidak butuh kecanggihan jika pelayanan dasar seperti respons cepat, penanganan kasus, dan etika aparat masih jauh dari harapan. Polri seharusnya memperkuat anggotanya dengan pelatihan, integritas personnel, dan memperkuat Polsek di pelosok, bukan sibuk bermain gadget.

Pemerintah dan Polri perlu membuka dokumen pengadaan secara publik. Audit independen wajib dilakukan terhadap seluruh proyek pengadaan robot dan teknologi tinggi. Jika terbukti tidak relevan, proyek seperti ini harus dihentikan atau dialihkan untuk kebutuhan yang lebih nyata. Anggaran seharusnya berpihak pada pelatihan sumber daya manusia (SDM), reformasi internal, dan pelayanan berbasis masyarakat.

Robot bisa membantu, tapi tidak bisa menggantikan integritas. Pembaruan institusi seperti Polri harus dimulai dari hal paling mendasar, yaitu kepercayaan rakyat. Citra yang dibangun dengan teknologi tanpa moral dan sosial hanya akan menjadi topeng. Saatnya Polri berpijak pada realitas, bukan sekadar memburu simbol modernitas.


Penulis: Carlina Ayu Wulandari

Posting Komentar untuk "Robot Polisi di Tengah Ketimpangan dan Pelayanan yang Rapuh"