Sirine di Kota Nataron
![]() |
Cahunsoedcom/Nurfadilla Alya Kirana |
Di kota yang tak pernah benar-benar tidur bernama Nataron, sirine adalah suara yang akrab. Kadang ia meraung seperti tangis bayi, kadang nyaring seperti perintah tak sabar. Entah dari ambulans yang menembus kemacetan, pemadam kebakaran yang menyalakan harapan, atau mobil polisi yang melintas seperti hantu lewat tengah malam.
Tapi di Nataron, suara sirine punya makna berbeda. Ia bukan selalu lambang keselamatan. Kadang justru menjadi pengingat getir, bahwa dalam keadaan darurat pun, tak semua pertolongan bisa diandalkan.
Aku, Reva, mengelola akun Instagram @InfoNataron. Bukan media resmi, hanya ruang digital tempat warga bisa mengadu: lampu jalan mati, jalan rusak, tumpukan sampah di pasar, bahkan kadang kehilangan sandal jepit. Dulu aku pikir ini hanya kegiatan sampingan. Tapi makin kesini, aku sadar warga lebih percaya akun ini ketimbang lembaga yang seharusnya mereka andalkan.
“Reva, tolong post-in video ini ya. Ada maling motor di daerah Turonggo. Polisi belum kesini padahal udah sejam,” begitu bunyi salah satu DM malam itu.
Kupandangi video dari CCTV. Seorang pemuda, cekatan membobol kunci motor, lalu kabur. Aku unggah, lengkap dengan tagar #WaspadaTuronggo. Lima belas menit kemudian, ribuan orang menontonnya. Dan seperti biasa, komentar muncul cepat.
“Polisi mana?”
“Lapor doang percuma.”
“Kalau udah viral baru gerak.”
Aku tidak ingin menghakimi. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal, kata-kata mereka terasa benar. Pengalaman pribadi pun membenarkannya. Tahun lalu, adikku dijambret di pasar. Kami melapor. Petugas mencatat, berjanji akan menindaklanjuti. Tapi setelah itu, diam. Laporan itu menghilang seperti uap pagi yang enggan menetap.
Lucunya, beberapa waktu setelah kejadian itu, aku unggah video lain. Seorang petugas damkar membantu nenek tua yang pingsan karena dehidrasi di tengah pasar. Tanpa diminta, tanpa berkas, tanpa birokrasi. Viral. Ribuan orang memuji.
“Mereka damkar, bukan polisi,” tulis seseorang di kolom komentar. “Tapi mereka tahu cara jadi manusia.”
Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, kenapa warga malah lari ke pemadam kebakaran, bukan ke polisi?
Penasaran, aku unggah survei kecil di story “Kalau butuh bantuan cepat, hubungi siapa? Polisi, Damkar, atau Media Sosial?”
Hasilnya mengejutkan. Mayoritas memilih media sosial dan damkar. Polisi? Jauh tertinggal.
Esoknya, seorang warga mengirimkan DM kepadaku, “Anakku hilang 2 jam. Saya panik. Yang saya datangi pertama bukan kantor polisi, tapi pos damkar. Mereka bantu nyari.”
Aku makin bingung. Kenapa damkar? Apa mereka punya pelatihan untuk itu? Atau... karena mereka hadir?
Seminggu kemudian, tiga petugas damkar datang ke rumah. Bukan dalam misi resmi, hanya ingin berbincang. Salah satu dari mereka, Pak Sodiq, bilang sambil tersenyum lelah, “Mbak, warga sekarang datang ke kami untuk urusan apapun. Kami tahu itu bukan wilayah kami, tapi kalau kami nolak, siapa lagi?”
Aku terdiam. Kata-katanya menusuk. Mereka tak digaji untuk mengurus anak hilang, tetangga bertengkar, atau kucing tersesat. Tapi mereka tetap datang. Karena warga percaya, bukan karena jabatan, tapi karena respons.
Di tengah keresahan itu, seorang polisi muda bernama Raka menghubungiku. Ia mengajak bertemu di warung kopi kecil di pinggiran Nataron.
“Saya baca tulisanmu. Saya nggak mau bela institusi. Tapi saya juga nggak ingin diam. Banyak dari kami yang benar-benar ingin bantu. Tapi prosedur, atasan, dan rasa takut... semua itu bikin kami kaku.”
Matanya tidak marah. Justru sedih. “Saya datang karena ingin dengar. Dan mungkin, mulai dari sini, belajar berubah.”
Aku percaya Raka. Tapi aku juga tahu, kepercayaan bukan dibangun dari satu pertemuan atau satu janji. Ia tumbuh dari kehadiran yang konsisten. Dari keberanian untuk melangkah, bukan hanya berbicara.
Malam itu, saat perjalanan pulang, aku kembali dengar suara sirine. Dari kejauhan, nyaring dan mendesak. Tapi kali ini aku tidak otomatis merasa tenang. Aku bertanya-tanya, siapa yang datang? Ambulans? Damkar? Polisi?
Lalu aku sadar, mungkin suara itu tak lagi penting. Yang penting, siapa yang benar-benar datang.
Di Kota Nataron, warga telah belajar, sirine bisa berarti banyak. Tapi hanya kehadiran yang bisa benar-benar menenangkan.
Dan mungkin, keadilan hari ini bukan soal siapa punya kewenangan. Tapi siapa yang hadir lebih dulu, dan siapa yang masih mau mendengar.
Penulis: Hellen Tania
Posting Komentar untuk "Sirine di Kota Nataron"