Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keselamatan yang Tak Punya Jaminan

Cahunsoedcom/Nur Zakiyatul Lail

Semburat jingga memancar malu-malu di balik pepohonan yang tumbuh subur di sekeliling rumah sederhana milik keluarga Arin. Angin khas pedesaan berhembus lembut, membelai daun-daun pohon kelapa yang telah bertahun-tahun berdiri kokoh sebagai penyokong kehidupan keluarga. Namun, pohon-pohon itu tak lagi menghasilkan nira seperti biasanya akibat musim kemarau yang melanda terlalu lama.

“Nak, lusa Bapak mau berangkat ke Jakarta, ikut Om Doni kerja bangunan,” ucap Andi, ayah Arin.

Remaja perempuan yang saat itu tengah memasak makan malam bersama ibunya seketika terkejut mendengar ucapan ayahnya. Gerakan tangannya yang sedang membolak-balik masakan terhenti. “Bapak serius?” tanyanya memastikan.

“Iya, Nak. Kamu tahu kan gula yang kita hasilkan semakin sedikit, nggak akan cukup buat sekolah kamu,” jawabnya.

Arin terdiam selama beberapa detik, mendengarkan suara-suara di dalam kepalanya. Arin tahu selama ini ayahnya bekerja sangat keras mencari nafkah. Dalam pikiran Arin, bekerja menjadi kuli bangunan mungkin akan sedikit lebih baik, tidak seperti pekerjaan sekarang yang sangat berisiko. Tapi ayahnya akan jauh darinya, ditambah … bukankah pekerjaan kuli bangunan juga memiliki risiko tinggi?

Dari jarak beberapa meter, Andi berhasil menangkap perubahan ekspresi Arin. Ia paham betul apa yang anaknya pikirkan. “Tenang aja, nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujarnya berusaha meyakinkan Arin.

“Ya sudah, yang penting Bapak hati-hati ya di sana, jangan sampai kenapa-napa,” tuntut Arin.

Sebulan berlalu, ayah Arin sudah bekerja di proyek pembangunan. Tiap hari, ayahnya menyempatkan waktu untuk berbicara lewat telepon dengannya. Nada gembira selalu terdengar dari sang ayah ketika bercerita tentang suasana Kota Jakarta, kota dengan sejuta gedung pencakar langitnya, kota yang menjadi tujuan orang-orang kecil mengubah nasib. Tidak disangka, kini ayahnya pun menempuh jalur yang sama.

Setetes cairan bening tanpa terasa meluncur di pipi Arin. Pikirannya melayang, memutar kembali imaji saat pundak ayahnya memikul sejumlah kaleng berisi air nira kelapa, celana pendek, kaos oblong, dan topi hitam andalan melekat di tubuhnya. Wajahnya penuh keringat dan napasnya memburu karena berjalan terlampau jauh.

“Mm. Aku lanjut ngerjain tugas dulu ya, Pak. Bapak jangan lupa makan malam,” ucap Arin.

“Iya, iya, nanti Bapak makan, dah sana,” balas Andi dari sambungan telepon. Selang beberapa detik, panggilan itu dimatikan.

Keesokan harinya, di dalam ruang kelas yang dindingnya bercat hijau muda, Arin bersama teman sebangkunya sedang menyantap bekal makan siang mereka. Tidak ada percakapan berarti, hanya suara dari film horor yang diputar lewat layar monitor di depan kelas mereka.

“Rin, aku takut deh,” ujar Dinda tiba-tiba.

“Takut apaan? Hantu?”

“Err, takut nggak bisa lanjut kuliah …”

Kalimat Dinda membuat Arin berhenti mengunyah. Kalimat itu terdengar lebih menyeramkan dari film horor di depan mereka.

“Jangan gitu dong, Din. Kita harus optimis, kita pasti bisa lanjut kuliah,” ujar Arin meskipun ada sedikit keraguan dalam hatinya, entah kenapa.

Pukul 15.30, Arin sampai di rumah. Terlihat beberapa pasang sandal jepit di depan pintu, pemandangan yang tampak biasa. Namun, sore itu berbeda. Arin mendengar suara tangisan perempuan dewasa. Suara ibunya.

“Bu??? Ibu kenapa???” Dengan tergesa, Arin menghampiri dan berlutut di samping ibunya yang wajahnya sudah sembab karena air mata.

“Arin … cah ayu, Bapakmu jatuh dari lantai tiga …” ucap istri Om Doni yang juga berlinang air mata.

Mendengar itu, Arin terkejut bukan main. Petir seolah menyambar di telinganya. Otaknya butuh beberapa waktu untuk memproses. Ayahnya … jatuh … dari lantai tiga …. Arin tidak sanggup bertanya ataupun mendengar lebih jauh. Ayahnya … jatuh ….

“Nggak mungkin! Bapak pasti hati-hati kalau kerja. Ini nggak bener, kan, Bu??”

“Tadi Om Doni yang ngabarin, Rin. Sekarang Bapakmu lagi ditangani di rumah sakit terdekat,” ujar tetangganya.

Arin tidak sanggup lagi menahan tangisannya. Ia memeluk erat tubuh ibunya, meluapkan kesedihan sekaligus ingin menguatkan. Hatinya berbisik, Ya Tuhan, jika ini adalah mimpi buruk, tolong bangunkan aku …

Andi menjalani operasi akibat cedera parah di tulang pinggulnya, dan dirawat di rumah sakit di Jakarta selama dua minggu sebelum akhirnya dipulangkan ke rumah. Satu fakta pahit yang baru Arin ketahui, ayahnya tidak mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan ataupun jaminan keselamatan di tempat kerjanya. Pun dari pemerintah, BPJS kesehatan tidak mereka dapatkan. Terpaksa, semua biaya ditanggung sendiri. Dokter juga berkata Andi harus melakukan pengobatan rutin selama beberapa bulan agar cederanya pulih dan bisa beraktivitas dengan normal kembali.

Sejak kejadian itu, Ratih, ibu Arin, sering murung dan menangis diam-diam. Mereka itu … tergolong keluarga kurang mampu, tapi keadaan saat ini justru tidak bersahabat dengan mereka. Meskipun beberapa tetangga dan keluarga telah mengulurkan bantuan, tetapi tidak menutup. Belum lagi Arin yang tiap hari memerlukan uang saku dan transport ke sekolahnya. Keadaan itu membuat Ratih kembali banting tulang, bekerja di ladang milik salah satu bos pertanian di desanya yang jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari rumah, dengan upah yang tidak seberapa.

Selama Ratih bekerja di ladang dari pagi hingga sore, adik ipar perempuannya membantu merawat suaminya di rumah, sementara Arin belajar di sekolah.

“Bu, besok kita coba ke pemerintah desa ya, siapa tahu Bapak bisa dibikinin BPJS buat berobat,” usul Arin.

“Iya, Nak. Besok kita ke balai desa, ya,” sahutnya.

Keesokannya, Arin dan Ratih tiba di balai desa dan menunjukkan beberapa bukti bahwa mereka benar-benar membutuhkan bantuan. Naas, respons pegawai di kantor itu di luar harapan mereka.

“Mohon maaf, Bu. Kalau untuk bisa dapat BPJS yang dibiayai pemerintah, prosesnya paling cepat enam bulan. Nggak bisa langsung jadi,” ujar salah satu pegawai.

Mendengar itu, rasa sesak memenuhi dada Arin. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan perasaan ibunya saat ini. Segalanya terasa dipersulit. Kepala Arin dipenuhi suara-suara yang menyayat batinnya. Apakah pemerintah tidak bisa melihat keadaan mereka? Apakah ia harus menuntut perusahaan tempat ayahnya bekerja? Atau menyalahkan dirinya sendiri yang telah membiarkan ayahnya pergi? Apakah pemerintah begitu mudahnya menggantungkan nyawa manusia pada selembar kertas tipis? Lantas, dimanakah keadilan yang selalu mereka gaungkan dalam kontestasi perebutan kekuasaan?

Berbulan-bulan Andi menjalani pengobatan dan perawatan dengan biaya pribadi. Selama itu juga, Ratih berusaha keras mencari uang untuk pergi check up ke rumah sakit tiap dua minggu hingga sebulan sekali. Sayangnya, penghasilan Ratih tidak cukup untuk membiayai semuanya sehingga mereka terlilit utang. Arin jelas mengetahui semuanya, seberapa besar penghasilan ibunya, biaya ayahnya, dan juga hutang mereka. Arin tahu semuanya. Arin ingin menyerah. Meskipun sudah kelas dua belas, ia sempat berpikir untuk berhenti sekolah dan meninggalkan cita-citanya sejak kecil — menjadi dokter.

Arin tidak sanggup melihat ibunya yang bekerja sendirian untuk mereka bertiga. “Bu, Arin berhenti sekolah aja, ya, biar bisa bantu Ibu,” tuturnya pada suatu malam.

“Kamu kok gitu ngomongnya. Kamu tuh harapan satu-satunya Ibu sama Ayah, Nak,” sahut Ratih. Air matanya luruh bersama beban yang selama ini ia pendam. “Kamu kan udah kelas dua belas, bentar lagi lulus. Selesaikan aja, ya. Tapi … maaf, kayaknya kalau buat lanjut kuliah Ibu nggak sanggup, Rin …”

Arin tak kuasa menahan isakannya. Ia memeluk ibunya dari samping, pikirannya melayang memutar kembali alur hidup keluarganya selama beberapa bulan terakhir ini. Ayahnya yang masih harus rutin berobat, utang keluarga yang menumpuk, sekolahnya yang terancam putus, dan harapannya untuk kuliah yang baru saja pupus.

Arin terisak semakin keras. “Iya, Bu, aku juga nggak mungkin maksain buat kuliah kalau keadaannya masih kayak gini ….”

“Ibu minta maaf ya, Rin. Kamu pinter, tapi orang tuamu ini nggak mampu ngasih yang terbaik buat kamu,” ujar Ratih yang hanya dibalas gelengan oleh Arin.

Tangis pilu mengisi keheningan di rumah mereka selama beberapa waktu. Mereka tidak tahu, di kamarnya, Andi juga diam-diam menangis. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Andi terus membatin, andaikan dia tidak bodoh. Andaikan dia lebih berhati-hati ketika bekerja, andaikan dia menanyakan terlebih dulu fasilitas dan jaminan keselamatan sebelum menerima pekerjaan itu. Mungkin anak dan istrinya tidak akan kesulitan. Sayangnya, semua sudah terjadi.

Setelah malam itu, setiap detik yang Arin lalui terasa begitu lambat dan berat. Kampus dan jurusan impian Arin tidak pergi ke mana-mana, tapi ialah yang kehilangan kendaraan untuk menjemputnya. Meskipun Arin bisa mendaftar beasiswa, tapi kebutuhan tugas kuliah dan biaya hidup pastilah banyak. Ia tidak mampu melihat ibunya semakin kesusahan. Terpaksa, cita-citanya ia lepaskan.

Di waktu yang sama, di hati yang berbeda, kesedihan Arin juga Ratih rasakan. Ratih khawatir dengan masa depan mereka, tidak hanya tentang pendidikan Arin. Ia tidak tahu kapan suaminya sembuh total, ia tidak tahu apakah suaminya bisa menjalani hidup dengan normal dan kembali bekerja nantinya, ia tidak tahu kapan hutangnya bisa terlunasi. Yang ia tahu, semua ini terjadi karena seorang tulang punggung keluarga tidak diberikan jaminan keselamatan dalam pekerjaannya. Dinding berlapis ketidakadilan itu kini menjulang tinggi di antara harapan dan masa depan mereka.


Posting Komentar untuk "Keselamatan yang Tak Punya Jaminan"