Pendidikan Tanpa Arah, Indonesia Emas Masih Jauh dari Nyata
![]() |
Cahunsoedcom/Nurfadilla Alya |
Najwa Shihab pernah berkata, “Hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan, tanpa pendidikan Indonesia tak mungkin bertahan.” Kutipan ini layak kita renungkan, sebab hingga kini kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan.
Miris, kualitas pendidikan negara ini masih jauh dari kata baik. Indonesia Emas hanya terdengar seperti kelakar yang spontan terucap dari mulut seseorang. Hingga kini, pendidikan seolah tak memiliki arah yang jelas. Sistem terus berganti tanpa evaluasi menyeluruh, sementara kesejahteraan guru terabaikan dan akses pendidikan bagi rakyat miskin tetap terbatas.
Pergantian kurikulum menciptakan keresahan bagi guru maupun siswa. Di sisi lain, begitu banyak anak-anak yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa justru putus sekolah. Tercatat sebanyak 4 juta anak tidak lagi melanjutkan pendidikannya, angka yang tentu tidak bisa dianggap remeh. Guru, yang sepatutnya menjadi tulang punggung pendidikan, sering kali justru terasingkan dari kesejahteraan yang layak.
Pemerintah ingin menjadikan sistem pendidikan Finlandia sebagai kiblat, dengan kurikulum yang fleksibel, penghapusan Ujian Nasional, guru berkualitas, serta pendidikan gratis dan merata. Namun faktanya, banyak guru belum siap dengan Kurikulum Merdeka. Tekanan akademik masih tinggi, pendidikan masih berorientasi pada nilai dan peringkat, ketimpangan distribusi kualitas guru terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) tetap nyata, belum lagi banyak sekolah yang rusak, fasilitas terbatas, hingga kekurangan tenaga pengajar.
Ironisnya, Indonesia tidak bisa begitu saja meniru sistem pendidikan negara seribu danau itu. Konteks sosial dan ekonomi kita berbeda, sehingga meniru tanpa membenahi kondisi struktural dan kultural sama saja dengan menjalankan kebijakan setengah-setengah yang berpotensi tidak tepat sasaran. Pemerintah selama ini lebih menekankan output-nya saja, fokus pada pencapaian akademik semata dan angka-angka di atas kertas. Padahal, kualitas karakter, keterampilan, dan daya kritis anak bangsa justru semakin terpinggirkan.
Anak yang berprestasi akademik tinggi tetapi tidak memiliki keterampilan menghadapi masalah sehari-hari berpotensi kesulitan beradaptasi di dunia kerja maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak boleh berhenti pada sekadar menghasilkan lulusan dengan nilai sempurna. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia.” Sayangnya, hingga kini sebagian masyarakat Indonesia masih memandang sekolah semata-mata sebagai jalan untuk mencari uang, bukan sebagai proses untuk menjadi manusia seutuhnya.
Pemerintah pun sering lupa bahwa pendidikan memerlukan payung jaminan yang jelas, dukungan penuh terhadap guru, serta pemerataan akses yang nyata, bukan sekadar wacana. Kurangnya pemerataan pendidikan telah membuat kita abai terhadap dampak sosial yang harus ditanggung generasi penerus. Banyak anak-anak yang seharusnya mengenyam pendidikan terpaksa membagi fokusnya untuk membantu orang tua mencari sesuap nasi karena ekonomi yang tidak stabil dan biaya pendidikan yang tidak murah.
Jika ingin benar-benar memperbaiki pendidikan, pemerintah perlu melibatkan guru dalam setiap pengembangan kebijakan, melakukan evaluasi kurikulum secara transparan, serta memastikan sarana pendidikan di daerah terpencil ikut terjamah, bukan hanya mempercantik gedung-gedung sekolah di kota. Tanpa langkah konkret itu, janji #IndonesiaEmas bisa saja berubah menjadi #IndonesiaCemas.
Penulis: Salwa Nurlatifah
Posting Komentar untuk "Pendidikan Tanpa Arah, Indonesia Emas Masih Jauh dari Nyata"