Revisi kilat UU Pemira Unsoed menuai kritik, Komisi IV DLM akui prosedur legislasi belum transparan
![]() |
| Cahunsoedcom/Rijata Fijar |
Purwokerto, cahunsoedcom – Proses revisi Undang-Undang Pemilihan Raya Mahasiswa (UU Pemira) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) tengah menjadi sorotan publik kampus. Polemik muncul bukan hanya karena substansi revisinya, tetapi juga karena cara proses legislasi mahasiswa itu dijalankan.
BEM Pertanyakan Transparansi Revisi UU Pemira
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed, Muhammad Hafidz, mengungkapkan bahwa sejak awal, revisi UU Pemira telah menunjukkan banyak kejanggalan. Surat pembahasan diterima BEM pada 26 September, padahal surat itu dibuat sehari sebelumnya, 25 September. Ironisnya, pembahasan dilakukan pada 27 September dan pengesahan dilakukan dua hari kemudian, 29 September hanya dalam rentang empat hari.
“Surat baru kami terima tanggal 26 pagi, padahal pembahasan dilakukan tanggal 27 dan pengesahan tanggal 29. Ini sangat terburu-buru,” ujar Hafidz, Kamis (2/10/2025).
Menurutnya, keterbatasan waktu tersebut menutup ruang dialog publik.
“Kami sudah menyampaikan keberatan ke ketua DLM, tapi pembahasan tetap dilanjutkan,” tambahnya.
Dua poin revisi menjadi sorotan tajam:
Syarat jabatan strategis, yakni calon Presiden BEM harus pernah menjabat posisi strategis atau menjadi ketua panitia acara besar.
Syarat IPK minimal 3,51 sebagai prasyarat pencalonan.
Bagi BEM, kedua aturan ini berpotensi mempersempit partisipasi mahasiswa.
“Pasal jabatan strategis bisa menciptakan oligarki organisasi hanya kelompok tertentu yang bisa naik. Sementara IPK 3,51 itu diskriminatif bagi mahasiswa dari berbagai fakultas,” jelas Hafidz.
BEM sempat mengusulkan agar batas IPK diturunkan menjadi 3,25 agar lebih proporsional antara prestasi akademik dan kesempatan berpartisipasi.
Hak Prerogatif dan Legitimasi yang Dipertanyakan
Hafidz juga menyoroti bahwa tiga dari empat komisi Dewan Legislatif Mahasiswa (DLM) tidak menyetujui revisi UU Pemira. Namun, undang-undang tersebut tetap disahkan dengan alasan hak prerogatif Ketua DLM.
“Ini aneh, karena hak prerogatif tidak dijelaskan dalam AD/ART KBMU. Secara etika, ini menyalahi prinsip lembaga legislatif mahasiswa,” tegasnya.
Ia menilai langkah tersebut menunjukkan lemahnya akuntabilitas lembaga pembuat kebijakan dan membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang.
Pandangan Komisi IV DLM
Syafi Abdurrahman, anggota Komisi IV DLM, mengakui adanya kelemahan prosedur dalam revisi UU Pemira.
“Harusnya dimulai dari agenda setting, ngundang KBM dulu, baru ahli, baru formulasi kebijakan. Tapi waktu itu enggak ada agenda setting sama sekali, langsung ke formulasi. Itu memang kesalahan kita,” ujarnya, Minggu (12/10/2025).
Ketiadaan agenda setting dan rapat dengar pendapat (RDP) menyebabkan mahasiswa secara luas tidak mengetahui arah revisi UU Pemira. Padahal, menurut Syafi, forum semacam itu penting untuk memastikan bahwa regulasi lahir dari partisipasi publik kampus, bukan ruang tertutup.
Perdebatan soal syarat IPK 3,51 juga dijelaskan berbeda oleh Syafi. Menurutnya, semua komisi awalnya sepakat di angka 3,25, namun ada arahan dari Ketua DLM untuk menaikkannya.
“Awalnya kita semua sepakat di 3,25. Tapi sebelum paripurna, dari Ketum (Ketua umum) ada arahan naik jadi 3,51. Kupikir sudah dikomunikasikan, jadi cuma Komisi IV yang setuju,” katanya.
Tiga komisi lainnya menolak keputusan itu saat paripurna, bukan sejak awal. Bagi Syafi, hal ini mencerminkan miskomunikasi yang terjadi di internal DLM, bukan bentuk manipulasi.
Menepis Pasal Titipan dan Upaya Berbenah
Salah satu tuduhan publik terhadap DLM adalah adanya pasal titipan. Syafi membantah hal tersebut dengan tegas.
“Wajar kalau KBMU bilang itu pasal titipan, karena yang bahas cuma internal. Tapi kami sama sekali enggak ada pasal titipan. Siapa juga yang mau nitip, untungnya juga buat apa,” katanya.
Bagi Syafi, tudingan itu muncul karena proses revisi yang tidak terbuka, bukan karena adanya niat buruk atau intervensi eksternal.
Syafi juga tidak menampik bahwa polemik ini menurunkan citra DLM di mata mahasiswa. Ia menilai, ke depan DLM perlu melakukan refleksi dan memperbaiki pola kerja.
“Kita coba berbenah dulu. Perbaiki citra DLM, dan ke depan lebih ngerangkul fakultas-fakultas lewat DLM fakultas. Supaya mahasiswa lebih aktif ikut dalam proses,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa hak prerogatif Ketua DLM memang tidak diatur dalam AD/ART, sehingga perlu ada pembenahan struktural agar lembaga legislatif kampus kembali berjalan sesuai prinsip konstitusionalnya.
Reporter: Sofiya Huda, Salwa Nurlatifah, Kheisya Khoirunissa
Penulis: Rafly Husna Abrar
Editor: Anyalla Felisa

yah sayang banget ketua DLMnya ga di repotase
BalasHapusiya sayang ya, sudah di follow up beberapa kali, tapi belum ada respon
Hapus