Ospek, dan Kepura-Puraan
Oleh : Riska Yulyana
Kegelapan masih menyelimuti kota. Angin malam masih
dingin terasa. Dengan mata yang sayu aku berjalan menyeberang menuju kampus.
Hari itu aku mengenakan kemeja warna putih dengan rok berwarna hitam senada dengan
jilbab. Berjalan sendirian penuh semangat mengikuti ospek.
Dari kejauhan terlihat beberapa orang berpakaian
hitam-hitam, berjaga di pintu gerbang. Raut wajahnya terlihat menyeramkan.
Mereka sebagian panitia ospek yang biasa disebut tatib. Teriakan pertama aku
terima dari mereka karena ternyata aku datang terlambat lima menit dari waktu
yang ditentukan. Salah satu tatib menanyaiku dengan nada tinggi, mengapa aku
bisa datang terlambat. Cukup lama aku diinterogasi.
Tak lama kemudian mereka menyuruhku pergi. Aku mulai
meninggalkan tatib dan berjalan agak takut di hadapannya. Sesegera mungkin aku
masuk dalam kerumunan mahasiswa baru untuk berbaris. Kami yang tak saling kenal
hanya bisa diam, entah karena malas untuk berkenalan atau pun menahan dinginya
angin fajar.
Teriakan keras kembali terdengar dari para tatib untuk
menertibkan barisan kami. Dengan suara lantang mereka memberi komando. Kami
yang bisa dibilang masih junior hanya bisa mengikuti semua perintah yang ada.
Rangkaian demi rangkaian acara ospek aku jalani. Banyak
hal yang aku pelajari. Para panitia ospek banyak menanamkan nilai disini. Peserta
ospek diharuskan datang tepat waktu. Hal tersebut mengajarkan akan
kedisiplinan. Dalam diskusi peserta diwajibkan mengeluarkan pendapat hal itu dimaksudkan
agar nantinya aku dan peserta lain mampu menjadi mahasiswa yang berani dalam
mengungkapkan pendapat. Hingga kami diajarkan untuk saling peduli, merekatkan
pertemanan kami.
Aku dan para peserta lain terlihat antusias mengikuti
ospek. Saling bersaut-sautan saat diminta berpendapat. Para pendamping pun
terlihat bersemangat dalam menyampaikan materi diskusi kepada kami.
Memperkenalkan berbagai macam sudut, dan sisi-sisi kampus. Terkadang mereka
juga sedikit memperkenalkan sedikit dari segudang teori. Aku pun
terkagum-kagum, dengan kampus yang mereka kenalakan kepada kami.
Namun, kekaguman itu hanya bertahan sesaat. Segala
gambaranku akan mereka yang berturut serta menjadi panitia ospek sirna.
***
‘Aku kesiangan ni. Udah ngebahas apa aja ?’ Celetuk
salah seorang kakak angkatan yang akan
duduk di sampingku.
Perkataan itu membangunkanku dari lamunan panjang akan
ingatan masa ospek tahun lalu. Kakak angkatan ini lah yang dulu membentakku dan
memarahiku karena terlambat mengikuti ospek. Dengan santainya dia masuk
terlambat tanpa rasa canggung. Seraya tidak ingat kata-kata yang pernah ia
lontarkan, mengejek keterlambatanku dan mengumpatku.
Ada, beberapa dari mereka yang mendampingi saya.
Mengarahkan forum dalam sebuah kelompok diskusi ospek. Bercuap seolah paling
mengerti kampus. Nyatanya, dalam diskusi-diskusi pasca ospek, mereka malah mbuntut, bungkam mulut tanpa memberi
secuil pendapat.
Banyak juga pemandangan kakak angkatan yang berjajar
duduk di bangku paling belakang. Ada yang tidur hingga ada yang membaca komik.
Mereka itu juga yang setahun lalu menjadi panitia ospek.
Hanya berdiam ketika dosen melontarkan pertanyaan kepada para mahasiswa. Secuil
dari mereka yang mencerminkan mahasiswa, dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu.
Di mana rasa malu mereka. Mengajarkan hal
yang menurut mereka benar namun kebenaran itu hanya sekedar topeng. Mengajarkan
kebenaran untuk sekedar ditransformasikan kepada orang lain namun hal itu tidak
di praktekkan dalam kehidupan mereka sendiri. Mungkin bisa dihitung dengan
jari-jemari tangan, mereka-mereka yang konsisten mengemban nilai dan membangun
dinamisasi kampus ini.
“Ah,
sudahlah, mungkin itu hanya omong kosong kakak angkatan, Atau mungkin memang
semua hanya pura-pura?” gumamku iba.
Posting Komentar untuk "Ospek, dan Kepura-Puraan"