Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Review Film Penyalin Cahaya: Suryani, Medusa yang Tak Menyadari Petaka Jelita

Ilustrasi (Cahunsoedcom / Nadinta Zulfa) 


Judul Film       : Penyalin Cahaya/Photocopier

Sutradara         : Wregas Bhanuteja

Produser          : Adi Ekatama, Ajish Dibyo

Penulis            : Wregas Bhanuteja

Produksi          : Rekata Studio, Kaninga Pictures

Durasi             : 130 menit

Genre              : Drama thriller misteri

Rilis                : 8 Oktober 2021

 

            Suryani adalah seorang mahasiswi semester satu. Berlatar belakang keluarga sederhana dan berkat kepintarannya, ia dapat berkuliah dengan beasiswa yang diterimanya. Sebagai mahasiswi baru, perempuan yang kerap disapa Sur ini mulai bergabung dalam organisasi kampus yakni Teater Matahari. Guna merayakan kemenangan dari proyek teater tersebut, diadakanlah pesta disalah satu rumah seniornya yang bernama Rama. Masalah mulai terjadi tatkala Sur larut dalam acara “minum-minum” itu. Sejak hari itu, petualangannya dimulai untuk memecahkan kasus besar yang telah menimpanya.

            Secara garis besar film ini membawa penonton dengan hidup diantara fiktif dan realitas. Di awal film, kita disuguhkan dengan tayangan teater yang sebenarnya sudah memberikan petunjuk terhadap alur cerita. Pada sisi fiktif, film ini mengambil sedikit gambaran dari mitologi Yunani yakni kisah Medusa. Medusa digambarkan sebagai Sur yang merupakan seorang anak baru yang bergabung di lingkungan liar. Keluguan Sur di lingkungan Teater tersebut menjadi ranjau di kemudian hari, seperti Medusa yang tidak menyangka bahwa kecantikannya akan membawa malapetaka bagi dirinya. Di sisi lain, Rama sebagai Perseus sukses digambarkan begitu licik yang sebenarnya merupakan cerminan bahwa penampilan tidak cukup membuktikan jati diri seseorang.   

            Pada sisi realitas, film ini merupakan refleksi dari berbagai permasalahan sosial yang terjadi hari ini. Dimulai dari kesenjangan sosial yang menyebabkan gesekan budaya antara pola pikir keluarga Sur dengan kehidupan teman-temannya di kampus. Selain itu, proses adaptasi seseorang yang berada di lingkungan baru pun dirasakan Sur yang mana tidak jarang di film ini digambarkan sebagai gadis lugu yang sedang berusaha berbaur dengan teman-teman teaternya. Kemudian, isu besar dalam film ini yakni kekerasan seksual. Apa yang dialami oleh Sur sebagai korban merupakan kenyataan pahit yang tidak jarang dihadapi para korban kekerasan seksual. Di lingkungan yang masih konservatif hambatan tidak hanya datang dari luar tetapi juga dari keluarga. Tokoh ayah Suryani dan para petinggi kampus dalam film ini merepresentasikan para laki-laki yang masih mengamini pola pikir patriarki, mereka dengan tegas menyalahkan korban tanpa mau mendengar lebih lanjut dan menawarkan bantuan. Korban kekerasan seksual seolah menghadapi satu dunia yang mana ia sendiri juga terjebak di dalamnya. Dominasi kelas yang dimiliki oleh pelaku menjadi senjata untuk menekan korban yang sedang berjuang menegakkan keadilan. Pada beberapa adegan dengan jelas digambarkan bagaimana kekuatan yang dimiliki oleh keluarga Rama dan hal tersebut dimanfaatkan dengan baik olehnya untuk melindungi diri. Pengaruh stratifikasi sosial di hadapan hukum juga berhasil membuat Sur terjebak dalam kasusnya sendiri, sedangkan pelaku seolah playing victim dengan bersikap ‘baik’ dihadapan hukum. 

            Wregas Bhanuteja sukses membuat refleksi yang mendalam dan kompleks dalam film ini. Banyak simbol-simbol dalam film sebagai bumbu yang memperkuat arah jalannya cerita, seperti fogging yang hadir dalam situasi mencekam dan slogan 3M “menguras, menutup, mengubur” yang juga menggambarkan bagaimana penyelesaian kasus kekerasan seksual yang umumnya terjadi di masyarakat. Di akhir cerita, adegan difokuskan pada penyebaran kertas berisi bukti-bukti dari kasus tersebut. Kemudian, setelah membaca kertas tersebut banyak orang yang akhirnya bersimpati dengan turut menyebarluaskannya. Adegan ini mengambil bagian penting, bahwa pada akhirnya people power dijadikan sebagai senjata terakhir untuk dapat menegakkan keadilan. Seperti pada banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi hari ini, penyelesaian kasus dengan benar baru akan dilakukan setelah viral dan menjadi perbincangan dimana-mana yang tentu akan mencoreng citra dari pihak terkait.  

 

Penulis: Hafiza Ardani Setyadi

Editor: Anisa P M C




Posting Komentar untuk "Review Film Penyalin Cahaya: Suryani, Medusa yang Tak Menyadari Petaka Jelita"