Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Selamat Datang di Iring-Iringan Tak Berujung

 

Cahunsoedcom/Rijata Fijar Karunia

Kota siang itu berbau keringat dan cat murahan yang mengelupas dari spanduk-spanduk protes, seperti kulit yang terkelupas terbakar matahari. Arya, bocah sepuluh tahun, menggenggam erat tangan ayahnya yang kapalan. Jari-jarinya yang kecil menelusuri bekas luka di buku-buku jari sang ayah, kenang-kenangan dari dermaga: tempat peti kemas mengerang seperti raksasa kelelahan, dan peluit mandor membelah udara seperti sebilah pisau tajam.

"Ini bukan kerusuhan, Nak," ucap ayahnya. Suaranya serak, berat, seperti beludru yang berserabut. Di hadapan mereka, kerumunan manusia menyerupai makhluk hidup: dibentuk dari kepalan tangan dan semangat yang meledak-ledak. Suara-suara berpadu menjadi gemuruh yang mengguncang dada. "Siapa yang makan nasi? Kita yang menanam!" Arya belum memahami makna kata-kata itu, tetapi ia merasakan getaran dalam genggaman ayahnya. Rahang sang ayah mengencang, seolah sedang menahan badai yang tak terlihat.

Tahun-tahun berlalu. Surat pemutusan hubungan kerja itu kini berkerut di tangan sang ayah, seperti serangga yang sekarat. Ia duduk di teras rumah. Tubuhnya yang berat menekan kayu-kayu yang mulai melorot. Ia menatap langit yang memar: bercak-bercak jingga dan ungu dari matahari terbenam seolah menyimpan luka yang tak disuarakan.

“Aku takkan mewariskanmu tanah atau emas,” katanya, menempelkan telapak tangannya ke pipi Arya. Kulitnya berbau garam dan solar. “Tapi keberanian? Itu adalah api yang tak bisa dipadamkan oleh hujan.”

Ayahnya wafat pada hari Kamis. Surat kabar mencatatnya dalam rubrik kecil bertajuk Insiden Kecil di Tempat Kerja, terhimpit di antara laporan lalu lintas dan iklan penanak nasi dengan diskon besar.

Kini, di usia dua puluh tiga dan tanpa pekerjaan, Arya menumpang angkot yang melaju di jalan-jalan penuh demonstran. Sopir angkot mendecakkan lidah, memutar kemudi ketika melewati seorang perempuan yang berteriak lantang melalui megafon. Suaranya kasar, seperti luka terbuka.

“Setiap demo, ceritanya sama,” gumam si sopir. “Jalan-jalan diblokir, penumpang hilang. Bagaimana bisa kita makan kalau begini terus?”

Arya, dengan tas ransel lusuh berisi surat lamaran kerja di pangkuannya, menanggapi gumaman itu. “Pernahkah kamu berpikir,” katanya pelan, sembari melirik ke arah seorang pedagang gado-gado yang melipat gerobaknya untuk bergabung dalam barisan protes, “bahwa kemacetan bukanlah masalahnya? Itu hanya gejalanya saja.”

Mata si sopir menatap kaca spion yang tergantung di atasnya. Dua kolam gelap itu memantulkan wajah seorang laki-laki yang terlalu muda untuk merasa seletih itu.

Di lampu merah, seorang pria tua naik ke dalam angkot. Punggungnya membungkuk seperti tanda tanya. Pakaiannya bertambal di siku. Ia adalah penjaga sekolah yang dipecat bulan lalu setelah manajemen mengganti kunci gerbang dengan teknologi digital.

“Mereka menyebutnya ‘pintar’,” ujarnya, sambil menggoyangkan gantungan kunci yang bergemerincing seperti lonceng angin dari besi tua. “Tapi tak ada teknologi yang tahu, bahwa siswa kelas tiga yang duduk di kursi roda butuh gerbang naik yang harus dilumasi setiap musim hujan. Atau orang tua mana yang bekerja lembur, sementara anaknya bermain di bawah pohon jambu selepas kelas.”

Suaranya pecah-pecah seperti lantai linoleum yang tua. Ia meludah ke lantai. “Kunci yang dibuka dengan sidik jari takkan pernah meninggalkan jejak di kehidupan siapa pun.”

Arya tanpa sadar menatap layar ponselnya. Pukul 15.15. Waktu pulang sekolah. Dada Arya terasa sesak. Kerja keras tak selalu tentang otot; ia juga tentang ingatan.

Ia turun dari angkot di pinggir jalan, tempat iring-iringan massa berdesakan: para buruh pabrik dengan kaus lusuh, pengendara sepeda dengan tali helm menjuntai seperti jerat, dan pria-pria tua yang melangkah tertatih dengan cincin kunci yang sudah berkarat.

Seorang wartawan menyodorkan mikrofon kepada seorang perempuan muda yang memegang papan bertuliskan Kami bukan robot, kami berdarah!

“Apa tuntutan kalian?” tanya wartawan itu.

Perempuan itu tersenyum lelah. “Untuk dilihat lebih dari sekadar item-item yang mengisi kantong mereka.”

Arya tidak ikut meneriakkan yel-yel. Belum. Tapi ingatannya kembali ke masa kecil, ketika ayahnya menggandengnya menyaksikan pawai pertama. “Suatu hari aku akan meninggalkanmu untuk menuntunmu bergabung dalam iring-iringan tanpa akhir.” Kota itu, seperti menahan napas.


Penulis: Annisa Nur Rahmawati

2 komentar untuk "Selamat Datang di Iring-Iringan Tak Berujung"