Usaha Kecil dan Menengah ; Pilihan Kemandirian Bagi Banyumas
Oleh : Ade Yulia dan Wiwit Putra
Ratusan pegiat UKM meramaikan perekonomian Banyumas. Namun hanya segelintir yang punya kekuatan dan menghasilkan omset menggiurkan. Sisanya jalan di tempat dengan nafas tercekat di kerongkongan, bahkan ada yang menunggu gulung tikar
Siang itu matahari terlihat kaku dengan sesekali sembunyi di balik awan mendung musim penghujan. Kadang tanpa enggan, hujan tanggung pun turun sekedar membasahi jalan-jalan kampung yang tenang. Musim seperti ini memang menjadi pekerjaan tambahan bagi Toyo, salah seorang pekerja pembuat Mie Raket yang jika sudah masak sering disebut mireng, “Mie Goreng,” katanya. Bukan hanya nama-nama instansi yang biasa diakronim, makanan dari aci ini pun ikut-ikutan disingkat.
Usaha pembuatan mireng milik Hj. Kamsiah ini baru berdiri awal September
lalu. Laba sebesar 560.000 rupiah per minggu, harus dengan pintar di-manage agar terus berputar dan
dikurangi gaji bagi lima orang pekerjanya.
Tak jauh dari usaha mireng di desa Kedung Ringin, Jatilawang ini, berdiri
pula usaha pembuatan kerupuk soto milik Tarsudi. Usaha yang telah digeluti
selama hampir 30 tahun ini, menghasilkan laba 600.000 rupiah. Bukan laba bersih
tentunya, karena dengan laba tersebut ke-delapan pekerjanya harus digaji.
Kuantitas dan Kualitas
Ini hanya sepenggal cerita dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Banyumas,
yang masih harus mengatur napas agar bisa bertahan. Masalah demi masalah terus
menjangkiti mereka. Berkali-kali membuat tersengal, sesak napas, bahkan gulung
tikar. Salah satunya adalah permasalahan Sumber Daya Manusia (SDM) baik dari
segi kuantitas maupun kualitas.
Segi kuantitas sendiri terkait dengan jumlah orang yang mau bekerja dan
tetap tinggal di daerah. Namun, kenyataan berbicara lain. Sulitnya mencari
orang yang mau bekerja di daerah menjadi salah satu kendala utama. Realita
kebanyakan orang lebih suka bekerja di
luar daerah, menjadi lazim. Kota besar seperti Jakarta lah tujuannnya.
Menganggap kota besar memiliki gudang uang yang siap dibagikan kepada siapa
saja yang mau pergi ke sana.
Kendala inilah yang dialami oleh
para pemilik usaha mireng dan kerupuk soto. Di tahun 90-an, mireng dan kerupuk
soto masih menjadi pilihan usaha favorit warga desa Kedung Ringin, Jatilawang,
Banyumas ini. Seiring berjalannya waktu, warga desa lebih memilih hengkang ke
kota besar, dibanding menggeluti usaha di desanya sendiri. Seperti yang
diungkap Toyo bahwa dulu mayoritas penduduk desa memiliki usaha kecil seperti mireng
dan kerupuk soto. Ia pun mengakui, dirinya dulu juga mempunyai usaha yang sama,
tapi akhirnya harus gulung tikar dan bekerja pada orang lain, memproduksi
mireng milik Kamsiah. Bapak ini juga menambahkan bahwa di daerahnya tidak
banyak usaha mireng yang bisa bertahan.
Hanya tersisa sekitar sepuluh usaha kecil seperti itu sekarang.
Kesulitan untuk mendapatkan warga
desa yang mau bekerja inilah yang dirasakan Kamsiah dan Tarsudi. Padahal
Kamsiah, pemilik usaha mireng mengaku, bahwa usahanya hanya sekedar menciptakan
lahan pekerjaan bagi warga desa, tapi toh hanya sedikit yang mau ikut bekerja.
Tak jauh berbeda, usaha kerupuk soto
pun sepi peminat. Banyaknya warga yang enggan menekuni usaha di desanya
sendiri, membuat Tarsudi, sang pemilik lebih memilih untuk merangkul sanak
keluarganya. Entah kenapa, usaha di desa tampak seperti pilihan terakhir warga
desa. Sayang, jika kondisi ini terus berlanjut. Desa sebagai sentra usaha bisa
jadi hanya tinggal angan-angan.
Tak hanya soal jumlah tenaga kerja,
dari segi kualitas SDM yang ada pun sangat minim. Seperti yang dialami oleh
Umar, pemilik usaha tongkol dan bandeng presto Desa Adisara, Jatilawang. Selama 18 tahun usahanya berdiri tidak pernah mendapat pelatihan, baik
dari pihak swasta maupun pemerintah.
“Dulu sempat ada pelatihan, malah
ada mahasiswanya juga. Tapi yang dilatih cuma bos-bos bandengnya tok,” sesal perempuan yang biasanya
dipanggil Bu Umar. Keterampilan Bu Umar soal pengolahan ikan memang cukup
mumpuni. Namun kurang dalam hal pengelolaan dan pemasaran produk. Padahal dalam
usaha, kemampuan yang dibutuhkan bukan hanya soal produksi. Manajemen dan
pemasaran produk menjadi wajib untuk dikuasainya.
Inilah yang seringkali membuat usaha
Bu Umar kalah dengan para bos. Si bos yang telah mendapat pelatihan, lebih
cakap dalam me-manage usahanya. Maka
tak heran, akhirnya Bu Umar mencoba bertahan dengan mencuri ilmu dari
tetangganya mulai dari manajemen pengelolaan hingga pemasarannya. Ya, mencuri
ilmu tak jadi soal. Apa boleh buat, pelatihan memang tak kunjung tiba.
Perhatian dari pemerintah daerah memang masih
sangat minim. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop)
Kab. Banyumas yang berwenang dalam pengembangan UKM, juga belum terdengar
gaungnya. Salah satu staf Kasi Pengembangan UKM yang enggan disebutkan namanya,
menerangkan bahwa pelatihan sudah seringkali dilakukan. “Tapi bukan untuk
pelaku usaha, tapi masyarakat luas agar mau mendirikan usaha,” jelasnya.
Apa yang dilakukan oleh Disperindagkop, justru
terdengar aneh. Pelatihan ditujukan kepada masyarakat agar mau mendirikan
usaha, namun setelah usaha itu berdiri, malah dicuekin. Tak ada kontinuitas, praktek pun mandek. Bahayanya ketika rintisan usaha baru jadi mentah dan usaha
yang sudah berdiri hanya jalan di tempat.
Tampak dari usaha Bu Umar, walaupun sudah bertahan
hingga 18 tahun, hanya menghasilkan laba kotor 2.250.000 rupiah per bulan.
“Yang penting selama ini bisa buat menyekolahkan anak,” ujar perempuan berambut
ikal ini. Sayang bukan, jika usaha yang digeluti belasan tahun hanya menjadi
sandaran hidup dan tidak punya prospek ke depan?
Pegiat UKM lain bernama Eni Andayani mencoba
menanggapi persoalan yang banyak dialami oleh UKM. “Harusnya kita (UKM) dikasih
pelatihan bagaimana menjalankan usaha bisnis yang inovatif,” papar pemilik
usaha mendoan dan tempe kripik Sawangan No. 1. Manajemen dan inovasi bisnis pun
menjadi barang langka. Para pegiat UKM terpaksa harus mencari sendiri. Karena
jika hanya menunggu pemerintah, entah sampai kapan usaha itu akan tetap jalan
di tempat.
Modal, Dimana Engkau Berada?
Tidak hanya soal SDM yang
jadi kendala, permasalahan modal pun sering membuat UKM ngos-ngosan. Modal yang tidak besar, membuat untung pun tidak
besar. Inilah yang dialami oleh Kamsiah,
Tarsudi, dan Umar. Mereka harus berhutang untuk menambal biaya produksi. Bisa
pinjam sana-sini, mulai dari tetangga kaya sampai pinjam pada saudara.
Lihat saja Tarsudi si
pemilik usaha kerupuk soto. “Saya ya, modalnya pinjem,” cerita lelaki bertubuh kekar ini. Modal yang dimiliki
Tarsudi memang kurang memadai. Ini berakibat pada keuntungan yang nanti
diperoleh. Apalagi produksinya pun membutuhkan waktu yang lumayan lama.
Satu kali produksi hingga
proses pemasaran, kerupuk soto membutuhkan waktu seminggu. Untuk satu kali
produksi, menghasilkan laba sebesar 150.000 rupiah. Berarti dalam sebulan, ada
600.000 rupiah, yang akan digunakan untuk kembali membeli bahan baku dan
membayar pekerja.
Padahal usaha ini sudah
berjalan selama kurang lebih 30 tahun, namun omset yang dihasilkan masih saja
pas-pasan. “Sing (yang-red) penting telaten lah,” katanya dengan logat
Banyumas yang kental. Ketelatenan inilah yang membuat Tarsudi bertahan. Padahal
keuntungan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Oleh karenanya, Tarsudi harus bekerja sekaligus
sebagai petani. Karena bekal ketelatenan saja tidaklah cukup. Lagi-lagi, selain
terbentur masalah SDM, UKM harus terbentur masalah modal yang membuat prospek
usahanya menjadi tak jelas.
Disisi lain, pemerintah telah menyediakan modal
lewat Disperindagkop. Bahkan awalnya modal dipinjamkan tanpa bunga. Namun kini
muncul bunga sebesar 0,5 %. Dari keterangan Bagian Pengembangan UKM
Disperindagkop, modal tanpa bunga malah membuat peminjam malas untuk melunasi.
Bunga pun dimunculkan untuk merangsang peminjam agar mau membayar tepat waktu.
Sayang, minimnya jumlah modal yang disediakan dan
prosesnya yang cukup rumit membuat beberapa pemilik UKM enggan mengakses dana
tersebut. “Kalau saya mending pinjam
ke bank, nggak repot!” celetuk
Daryanti, pemilik usaha Jenang Jaket Mersi. Tidak terkecuali Eni Andayani,
Kamsiah, Tarsudi, dan Umar pun enggan dan berpandangan hampir serupa.
Permodalan dan pelatihan SDM, diakui oleh staf
Pengembangan UKM Disperindagkop, sebagai tugas pokok mereka. Sialnya, tugas pokok
yang mereka emban malah serba minim.
Bahkan bagi Eni Andayani, pemilik usaha Sawangan
No. 1, Disperindagkop menganakemaskan beberapa UKM saja. “Yang diperhatikan
yang bisa melobi saja. Dinas industri ngapain
aja sih? Yang diperhatikan cuma orang-orang itu saja,” protes perempuan
yang mengenakan jilbab ini, dengan nada kecewa. “Kalau pemerintah tidak peduli,
usaha-usaha mikro bisa gulung tikar,” kritik Ibu tujuh anak ini.
Adu Saing
Imbas modal yang tidak memadai, tidak berhenti di
situ saja. Seperti yang dialami Bu Umar, dengan keterbatasan modal, akhirnya ia
memilih untuk berhutang kepada tengkulak atau yang biasa dipanggil ‘bos’.
“Nanti kalau udah untung, baru bayar
utang ke bos,” ujarnya.
Dengan keterbatasan modal
ini, akhirnya mengarah pada sebuah persaingan. Baik persaingan dengan sesama
pelaku usaha, tengkulak, maupun dengan pelaku usaha lain yang bermodal lebih
besar. Persaingan yang cukup menghimpit dialami oleh pemilik usaha tongkol dan
bandeng dengan para tengkulak di Desa Adisara, Jatilawang.
Sistem usaha tongkol
dan bandeng di Desa Adisara dapat menjadi contoh persaingan tidak sehat dengan
para tengkulak. Di desa tersebut, ada si bos sebagai agen-agen yang menyetok
ikan kepada warga yang memproduksinya. Stok ikan yang diberikan, boleh dibayar
belakangan. Tercatat ada empat agen penyetok ikan di desa ini. Si bos pun
menjatah, minimal 10kg ikan yang dibagi ke pengecer.
Kecuali
bandeng, yang memproduksi ikan ini sampai pada pemasaran adalah para pengecer.
Para bos sepertinya malas untuk mempresto bandeng, karena mempresto membutuhkan
waktu yang lumayan lama. Tidak ada permasalahan memang, malah pengecer merasa
lebih untung dengan memproduksi bandeng presto karena para bos tidak
memproduksi dan menjualnya juga. Justru persaingan ada pada produksi tongkol.
Selain menyetok ikan tongkol, si bos juga ikut memproduksinya sampai pada
pemasaran.
Persaingan
terjadi di pasar ketika harga jual ditawarkan secara berbeda. Harga agen lebih
murah dari pengecer di pasar. Jelas menurut teori ekonomi, harga lebih murah
karena biaya produksinya sedikit. Para pengecer seperti Bu Umar mendapatkan
biaya produksi tambahan ketika membeli ikan dari agen yang harganya sudah
diambil untung oleh si bos. Kasus-kasus seperti inilah yang harusnya mendapat
perhatian lebih dari pemerintah.
Tidak
hanya persaingan dengan tengkulak, persaingan dengan pelaku usaha lain yang
bermodal besar, perlu mendapat perlindungan dari pemerintah. Padahal pada
pengertian UKM dalam Keputusan Presiden RI No.99 tahun 1998, jelas disebutkan,
UKM yaitu “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan ladang usaha yang
secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk
mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.” Namun pertanyaannya kini
adalah, sudahkah UKM terlindungi?
Potensi Besar
Daryanti, Eni Andayani, Kamsiah, Tarsudi, dan Umar
hanyalah sebagian kecil dari pegiat UKM di Banyumas. Banyumas ternyata memiliki
578.564 unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jumlahnya begitu banyak dan
beragam sektornya. Ini jelas menjadi potensi yang seharusnya bisa dimaksimalkan
baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Bayangkan saja, jika satu unit usaha
bisa memperkerjakan minimal 20 orang, maka akan menyerap sebanyak 11.571.280
orang tenaga kerja. Itu saja jika usahanya masih bertaraf kecil dengan jumlah
tenaga kerja antara 5 – 20 orang. Padahal penduduk Banyumas saja hanya kurang
lebih 1 juta. Dengan kebutuhan tenaga kerja yang besar, bisa dipastikan
penduduk Banyumas tak perlu merantau ke kota besar ataupun negeri orang. Bahkan
para pencari kerja dari luarlah yang berduyun-duyun mendatangi Banyumas.
Fantastis bukan?
Apalagi jika omset
yang dihasilkan bisa mencapai puluhan atau ratusan juta, seperti yang
dihasilkan oleh Sawangan No.1 dan Jenang Jaket Mersi. Sawangan No.1, setiap
bulannya memproduksi sekitar 30.000 lembar kripik tempe, dengan harga 1000
rupiah per lembar. Jika dikalikan, akan menghasilkan omset sebanyak 30 juta
rupiah. Ini hanya omset penjualan kripik tempe, padahal usaha ini juga
memproduksi berbagai macam makanan.
Lain lagi dengan
Jenang Jaket Mersi. “Omset kotornya bisa mencapai 100 juta per bulan,” ungkap
Daryanti, yang memiliki 35 orang pekerja. Sebenarnya tidak hanya dua usaha di atas
yang bisa menghasilkan omset besar. UKM lain pun bisa asalkan pengelolaan dan
manajemennya dilaksanakan secara maksimal, serta mendapat perhatian penuh dari
pemerintah. Bahkan dengan pengembangan UKM yang serius, bisa menjadi solusi
masalah pengangguran dan kemiskinan di Banyumas.
Selain memberikan
permodalan dan pelatihan, pemerintah juga seharusnya gencar melancarkan promosi
produk-produk yang dihasilkan oleh UKM. Karena selama ini, produk tersebut
masih berkutat di pasar lokal. Seperti mireng, kerupuk soto, tongkol, dan
bandeng presto hanya di pasarkan ke pasar tradisional dan daerah-daerah
eks-karesidenan Banyumas.
“Untuk jenang jaket,
sempat di pasarkan ke luar kota, tapi sekarang sudah berhenti,” papar Daryanti,
Ibu lima anak ini. Padahal jenang jaket, mendoan, dan tempe kripik adalah
makanan khas Banyumas. Jika promosi dan pemasaran digencarkan, bukan tak
mungkin akan menembus pasar nasional maupun internasional.
Seperti yang
diceritakan oleh pemilik Sawangan No. 1, “Makanan Indonesia sebenarnya bisa go international. Saya sedang mencoba
agar produk saya menembus pasar internasional, lewat sahabat saya di Malaysia,”
tutur perempuan alumnus Manajemen UNSOED ini dengan penuh semangat. Baginya
menunggu gerakan pemerintah akan terlalu lama, sehingga dengan mandiri, Eni
Andayani mencoba merintis itu semua. Soal kualitas produk, jelas bisa bersaing.
Pasalnya Jenang Jaket Mersi dan Sawangan No.1 terus mengutamakan mutu dengan
tidak memakai bahan pengawet dan selalu berinovasi terhadap produk-produknya.
Hati pemerintah
mungkin belum tergugah dengan begitu besarnya potensi UKM. Namun belum terlambat
untuk terbangun dari tidur panjang. Karena bukan tak mungkin, UKM bisa menyerap
pengangguran yang merajalela dan menciptakan kemandirian ekonomi bagi
masyarakat. Bahkan jika dikelola secara maksimal, Banyumas dapat dikenal
sebagai sentra produk UKM tertentu. Dan bukan sesuatu yang mustahil pula, jika
akhirnya produk UKM Banyumas sebagai ciri khas yang mampu menembus pasar
nasional maupun internasional. (Ade, Anis, Chang, Wiwit)
Posting Komentar untuk "Usaha Kecil dan Menengah ; Pilihan Kemandirian Bagi Banyumas"