Menggugat Sejarah BEM Unsoed : Lembaga Mahasiswa Simsalabim Abrakadabra
Oleh: Yahya Zakaria
“..Eh,
denger-denger mau ada BEM universitas ya?..”, pertanyaan ini menjadi
populer dan kerap terlontar di awal tahun 2006. Memang, isu berhembus cukup kencang, bahwa
sebuah kelompok mahasiswa sedang mengusahakan pendirian lembaga pemerintahan
mahasiswa tingkat universitas, yang kini dikenal luas sebagai BEM U. Entah ada
angin apa, BEM U yang sejak dulu tidak ada, akan dibentuk pada tahun tersebut.
Padahal, BEM Fakultas sudah terbiasa melakukan aliansi BEM se-Unsoed untuk
menyikapi berbagai permasalahan tingkat universitas.
Akhirnya, berbekal rasa
penasaran, saya berinisiatif untuk mencari informasi mengenai BEM U. Sedikit
demi sedikit, dibantu insting bergosip, saya menemukan beberapa alasan pendirian
BEM U, alasan pertama, yang agak normatif, BEM U dibentuk untuk semakin
mengintensifkan gerakan mahasiswa dalam menyikapi permasalahan di tingkat
universitas, alasan kedua, juga masih sedikit normatif, sebagai wadah formal
mahasiswa jika akan berhadapan dengan birokrasi di universitas, sebab,
birokrasi kerap tidak mengakui lembaga-lembaga semacam aliansi atau
perkumpulan, apalagi ormas mahasiwa. Alasan ketiga, agak politis, BEM U
dibentuk sebagai persiapan Unsoed menuju Badan Hukum Pendidikan (BHP) kala itu,
karena sebelum BHP digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), setiap universitas
didorong untuk membentuk BEM U, sebagai lembaga formal perwakilan mahasiswa
tingkat universitas, dimana BEM U akan menjadi salah satu delegasi untuk
mengisi majelis wali amanah, sebagaimana tertulis dalam UU BHP. Entah kebetulan
atau tidak, saat BEM U akan dibentuk, isu hangat lain yang sedang mencuat
adalah mengenai UU BHP.
Terlepas dari apapun
motif atau alasan pendirian BEM U, dalam kenyataannya terdapat banyak
kejanggalan dalam proses pendirian BEM U di awal tahun 2006. Kejanggalan yang
paling terlihat adalah saat diselenggarakan musyawarah mahasiswa Unsoed, banyak
elemen mahasiswa yang tidak diundang secara formal, bahkan undangan secara
informal pun, tidak ada. UKM di tingkat fakultas, HMJ, komunitas, ormas
mahasiswa, hanya menjadi penonton, tanpa pelibatan. Tak hanya itu, musyawarah
mahasiswa Unsoed kala itu juga terkesan sangat tertutup, apalagi untuk mereka
yang memiliki opini kontra terhadap pendirian BEM U. Dengan kondisi ini, banyak
UKM fakultas, HMJ, komunitas dan ormas mahasiswa menolak proses pendirian BEM U
karena melewati musyawarah mahasiswa yang sangat tertutup dan tidak demokratis.
UKM Universitas juga memiliki
sikap yang sama, mereka menolak untuk dikoordinasikan dibawah BEM U, sehingga UKM
di tingkat universitas tidak berada di bawah koordinasi BEM U, UKM Universitas
merupakan lembaga tersendiri di luar BEM U. Integrasi antara UKM, baik di
tingkat fakultas maupun universitas, dengan BEM U tidak terjadi, masing-masing
lembaga cenderung mempertahankan sistem lembaga yang lama, sebelum berdirinya
BEM U. Pada titik ini, BEM U terlihat tidak mendapatkan dukungan secara formal
dari lembaga mahasiswa lainnya, yang sudah berdiri jauh lebih lama, bahkan
tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa BEM U tidak memiliki basis legitimasi
untuk “mewakili” mahasiswa Unsoed.
Di tengah penolakan dan
kekaburan basis legitimasi, proses musyawarah mahasiswa untuk mendirikan BEM U
tetap dilanjutkan, dan tentunya, tanpa melibatkan elemen mahasiswa lainnya.
Musyawarah yang aneh. Sepertinya, musyawarah tersebut merupakan musyawarah
untuk kalangan terbatas yang memiliki sikap serta pemikiran yang seragam. Sejujurnya,
proses tersebut sangat tidak layak disebut sebagai musyawarah, apalagi dilabeli
mahasiswa Unsoed, jelas tidak layak. Namun, nasi telah menjadi bubur, apa daya,
anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan presidium akhirnya terlahir dari
proses tersebut. Mau tidak mau, pendirian BEM U telah bergerak menuju fase
selanjutnya, yakni fase sosialisasi dan pemilihan presiden.
Kurang lebih dua bulan
setelah musyawarah mahasiswa selesai, beberapa mahasiswa yang mengatasnamakan
dirinya sebagai presidium, melakukan sosialisasi ke fakultas-fakultas. Tak
pelak, berbagai UKM fakultas, komunitas, hingga ormas mahasiswa mempertanyakan
proses awal pembentukan, serta banyak juga yang mempertanyakan mengapa banyak
elemen mahasiswa tidak diundang dalam proses musyawarah mahasiswa. Sayangnya,
pihak presidium tidak mampu secara jelas menjawab, akhirnya gelombang penolakan
menguat. Pihak-pihak yang terlanjur “sakit hati” semakin lantang untuk menolak.
Pendirian
BEM U menjadi sumber konflik, parahnya lagi, konflik tersebut tidak kunjung
diselesaikan, malah cenderung tidak ada itikad baik dari pihak presidium untuk
menyelesaikan konflik, hal ini terbukti dari tidak diselenggarakannya
forum-forum terbuka dan demokratis untuk melakukan evaluasi ataupun sekedar sharing, semua celah tertutup. Di satu
sisi, sekelompok mahasiswa tetap bersikeras untuk melanggengkan otoritas BEM U,
di sisi yang lain, sekelompok mahasiswa terus bergerilya melakukan penggembosan
dan penolakan terhadap otoritas BEM U. Perlu juga diketahui, pihak yang menolak
BEM U, kerap menawarkan adanya forum-forum terbuka untuk mempertemukan dua
kepentingan tersebut, namun tidak juga mendapat tanggapan yang positif,
sehingga tidak ada titik temu, terus berseteru.
Setelah
sosialisasi berlangsung, lahirlah komisi pemilihan raya (KPR) untuk memilih
calon presiden dan wakil presiden BEM U. Beberapa kandidat sudah bersiap-siap
untuk berpesta dalam naungan demokrasi prosedural (baca: voting). KPR mulai
sibuk melakukan kerja-kerjanya, sementara di pihak lain, sekelompok mahasiswa
yang tetap menolak pendirian BEM U cenderung tidak mau tahu dengan segala
aktivitas tersebut. Ibarat minyak dan air, keduanya sulit menyatu.
Tak
berselang lama, seorang presiden dan wakil presiden terlahir. Bilik-bilik suara
mengantarkan kelahiran seorang pemimpin bagi mahasiswa Unsoed. Kini, seorang
presiden memiliki klaim sebagai perwakilan “suara mahasiswa unsoed”, karena
telah menang dalam pemira, berdasarkan banyaknya suara. Di titik inilah
permasalahannya, mungkinkah seorang presiden yang dilahirkan dari rahim yang
cacat, mampu menjadi seseorang yang kuat? Atau mungkinkah mekanisme yang tidak
demokratis mampu melahirkan pemimpin yang demokratis?. Saya rasa, kita semua
punya jawaban yang sama.
BEM U memang layak dicurigai, selain proses
kelahiran yang tidak demokratis, juga kita patut mempertanyakan, ada
kepentingan apa didalamnya?. Kenapa BEM U harus terlahir saat UU BHP bergulir?.
Oke, mungkin dengan mudah kita akan menjawab, bahwa itu suatu kebetulan, namun
mengapa BEM U yang sudah jelas ditolak, bahkan oleh UKM sendiri, masih saja
ngotot untuk berdiri?. Jika dianalogikan, BEM U layaknya angkutan kota atau bis
yang kejar setoran, main seruduk sana-sini asal jadi, melaju dengan kecepatan
tinggi, asal setoran tinggi. Nah, mungkinkah BEM U kejar “setoran”? Mengejar
sebuah target yang telah “dipesan”?.
Analogi
lainnya, BEM U itu layaknya sulap atau kantong ajaib doraemon. Simsalabim
abrakadabra!, tanpa banyak kerja, usaha, lahirlah lembaga. Memang sudah
seharusnya, lembaga yang menaungi puluhan ribu mahasiswa di Unsoed, tidak bisa
dilahirkan secara instan, apalagi tanpa pelibatan. Terlalu banyak ruang-ruang
aspirasi mahasiswa, layaknya UKM, HMJ, komunitas, ormas, hingga paguyuban
kedaerahan yang seharusnya secara aktif dilibatkan. Melelahkan? Ya, memang.
Namun, sebuah lembaga yang kuat akan lahir dari banyak pengorbanan.
Pada
titik ini, sejarah menunjukan bahwa tidak ada lagi alasan untuk mengakui dan menerima
keberadaan BEM U, karena BEM U terlahir dengan alasan dan motif yang tidak
jelas, rancu, bahkan cenderung seperti “pesanan”, selain itu, kelahiran BEM U
juga tidak melibatkan banyak elemen mahasiswa di Unsoed. Jadi, masihkan kita
akan percaya dan mendukung keberadaan BEM U, setelah sejarah memberikan
jawabannya?
Kalau masih ragu,
ucapkan mantra; simsalabim abrakadbra! Dan kita akan menemukan jawabannya..
Posting Komentar untuk "Menggugat Sejarah BEM Unsoed : Lembaga Mahasiswa Simsalabim Abrakadabra"