Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Balada Bardin dan Joko

‘Mending kamu pikirin lagi deh mau lanjut kuliah apa ngga,’ Bardin, Katak Sawah, punya pitak dipunggung.

Oleh: Agus Maulana


Alkisah, tersebutlah dua ekor katak yang sedang berpegangan tangan berbincang-bincang disudut sawah sana, disudut dekat tumpukan jerami basah bekas panen padi sebulan yang lalu. Mereka terlihat serius membicarakan suatu hal.

‘Din, kuliah ngga?’ tanya Joko. Nama panjangnya Jokowi.

Sambil melompat lunglai, Bardin berujar, ‘pengen sih din, tapi aku kayanya ngga sanggup bayar kuliah,’ jawabnya singkat dan lemas.

Joko dan Bardin memang dua sosok katak yang berbeda. Joko, yang ekonominya tingkat dewa, yang orang tuanya serba berkecukupan, yang tiap hari ngga pernah absen makan serangga nikmat, ngga pernah kesulitan untuk memenuhi kebutuhan apapun, termasuk kebutuhan akan pendidikannya. Berbeda dengan Bardin yang ekonominya serba pas-pasan.

‘Sebenernya aku pengen banget kaya katak-katak itu tuh,’ Bardin mengajak Joko untuk melihat poster yang terpampang di sebrang sawah sana.

***

Menerima Mahakatak Baru Tahun Ajaran 2012/2013

Wujudkan Mimpimu menjadi Katak-Katak Terbaik

Tunggu Apa Lagi, Daftarkan Segera Sebelum Kehabisan!

Tersedia Mug Cantik lho..

***

‘Nah liat’

Bardin menunjukkan salahsatu katak yang menjadi impiannya. Katak dari keluarga Dendrobatidae. Katak dengan warna biru cantik nan eksotis ini merupakan salah satu katak beracun asal Amerika Tengah.

‘Biar aku bisa kerja di tambang serangga sana, kan membutuhkan katak-katak beracun tuh. Kali aja abis masuk Perguruan Tinggi ini, ilmuku bisa nambah. Ngga sekedar lompat sama nangkep serangga aja. Tapi harapannya sih bisa jadi model iklan sampul Majalah Katak Idaman’

Joko mendengarkan dengan seksama ucapan si Bardin. Dirinya memang dari awal sudah berniat untuk kuliah di Perguruan Tinggi tersebut. Tujuannya pun sama seperti kawannya, untuk mendapatkan kerja, bukan untuk membaktikan diri menyalurkan ilmunya kepada masyarakat katak disekitarnya.

‘Din, kalau aku kasih pinjaman modal kuliah buat kamu, kamu siap buat balikin lagi ngga?’ Tanya Joko dengan tawaran yang menggiurkan.

‘Serius, Ko?’ Bardin mencoba menampar pipi tirusnya sendiri, seolah tak percaya.

‘Iya serius, mau ngga?’

‘Mau doong! Kalo aku udah kuliah kan jalan rejeki bakal terbuka lebar. Hahaha’ ujarnya sambil tertawa meyakinkan. Padahal dihati masih ragu.

***

Hari registrasi mahasiswa baru pun tiba.

‘Ciyee mahasiswa baru niyee, ciyee,’ ledek Joko. Bardin pun tidak mau kalah untuk meledek balik kawannya itu. Dengan mengenakan almamater kuning kekusam-kusaman, mereka melompat jumawa menuju universitas idamannya, UNGSUD.

Katak dari berbagai penjuru berkumpul di UNGSUD, tepatnya di lapangan itu, lapangan pacuan kuda tempat registrasi mahakatak. Ada yang membawa map orange yang diberi kode O, abu-abu dengan kode A, dan biru dengan kode B (Maklum, katak hanya bisa melihat warna hitam dan putih saja, jadi mereka memakai kode). Yang menandakan bahwa mereka dari berbagai jurusan yang berbeda.

‘Eh, aku masih penasaran lho. Kok kita malah suruh bayar telur ikan ya? Sejak kapan katak makan telur ikan? Padahal ini kan universitas khusus katak, dan yang ngepalain katak toh,’ Joko melempar tanya sembari merapihkan berkas yang sudah diurus sebelumnya.

Bardin yang sedang asiknya foto-foto alay di kolam renang depan Gedung Ruchiro menjawab enteng, ‘yaa udah ngga usah dipikirin, yang penting kan kita udah keterima disini’

Sepanjang jalan pulang, Joko masih terus memikirkan keganjilan tersebut dengan sesekali membuka-buka kembali berkas pembayaran dan registrasi yang ada di genggamannya. ‘NJIR, Baru sadar ini TKT (Telur Kuliah Tunggal) bukan pembayaran gedung yang hanya sekali selama kuliah. Kalo tiap enam bulan sekali suruh ngasih 15 juta telur ikan, bisa habis kekayaan keluargaku. NJIR!’

***

Kesibukan kuliah mulai merambat pada diri dua katak sawah ini. Seminggu, dua minggu. Sebulan, dua bulan. Mereka seperti asik dengan tempat kuliah mereka. Joko asik dengan kuliahnya di Fakultas ISIP (Ilmu Semprot dan Ilmu Pencet), sementara Bardin asoy enjoy dengan kuliahnya di Fakultas MIPA (Mari Indahkan Penampilan Anda).

Sampai enam bulan tak terasa. . .

‘Din, kayaknya aku ngga sanggup buat bantuin kamu bayaran kuliah lagi semester depan. Aku mesti bayar Duit Sumbangan Murni nih selain TKT, Ini di luar perhitunganku,’ keluh Joko sembari menepuk pundak kawannya itu. Joko sengaja datang kerumah Bardin untuk mengutarakan hal tersebut.

Bardin pun sontak kaget, siapa sangka impiannya akan berakhir satu semester saja. ‘Lho? Bukannya kita bayar TKT aja? Kok mesti bayar ini itu lagi?’

Joko memang sudah menduga pertanyaan tersebut pasti akan dilontarkan oleh kawannya itu, karena dirinya pun mempertanyakan hal yang sama. ‘Entahlah, geje banget emang’

‘Terus nasib aku gimana dong?’

‘Coba ntar kamu ke gedung rektorat, mungkin bisa membantu,’ saran Joko sambil izin pamit meninggalkan kawannya yang masih mematung di depan daun pintu rumahnya.

***

Musim panas tahun ini seakan tiada ampun menyerang sawah-sawah di area perbatasan Purwokerto-Purbalingga. Rumah Joko dan Bardin tentu menjadi salahsatu korban keganasan musim kemarau ini. Tapi disana, di hati dan pikiran Bardin, masih dicekam mendung yang tak kunjung berlalu.

‘Aku harus kesana!’

Katak dengan pitak di bagian punggung ini melompat dengan tergesa-gesa menuju kampus UNGSUD. Bukan untuk kuliah, karena hari masih libur. Tapi untuk suatu urusan, urusan soal TKT yang akan menentukan dirinya harus melanjutkan kuliah atau tidak.

‘Din, kamu dimana? Aku didepan rumahmu nih,’ Joko sms.

Mau langsung masuk rumah, ga ada siap-siapa. Bardin memang sudah yatim piatu. Ayah ibunya meninggal pas dia berumur 2 tahun, gara-gara ke injek kebonya Pa Hasan, yang punya sawah tempat si Bardin tinggal.

‘Aku dikampus. Oh iya Joko, kamu tau kenapa kita harus membayar memakai telur ikan?’

Joko tertegun sejenak mendapat jawaban sms tersebut.

‘Emang kenapa?’

‘Karena para pimpinan di UNGSUD ini ternyata ular semua. Itulah kenapa kita harus membayar dengan berjuta-juta telur ikan. Dan sekarang aku ngga bisa keluar dari kampus karena sekarang aku jadi tawanan mereka. Mending kamu pikirin lagi deh mau lanjut kuliah apa ngga.’

Joko terdiam, dan handphone terjatuh.

Posting Komentar untuk "Balada Bardin dan Joko"