Enigma Kaca
Oleh: Nadia Halim
( Teater Si Anak)
Untuk kesekian kalinya merasa tidak berdaya dihadapan
secercah cahaya. Cahaya yang
sebetulnya tidak pernah mencoba menunjukkan wujudnya. Cahaya yang terlalu ringan dan terlalu biasa untuk standar
kami: orang-orang yang pontang-panting ditengah: terjerat moralitas.
Entah bagaimana caranya agar kami
menyukai kondisi ini. Kondisi
dimana kami tidak perlu menyadari kecongkakan yang sempat tersemat di diri kami
dan kondisi dimana kami mengingkari perasaan kami:
bahwa kami tidak tahu apa-apa.
Kami pun kembali terpontang-panting
ditengah: tersengat dampak pengetahuan. Kami
memang pernah tahu tentang sesuatu. Kami
yakin ini memang pengetahuan-bahkan lebih nyata lagi, yaitu pengalaman. Pada salah satu titik pencapaian di masa lampau, kami
bangga mendapatkan pengalaman. Pengalaman
yang membawa kami semakin dekat dengan cahaya kebenaran. Cahaya yang kami kira telah memanifestasikan wujudnya
demi peningkatan kesadaran. Kami sorak-sorai
memberitakan dengan syair-syair absurd. Padahal
kami mengetahui isi kitab di padang Shambala bahwa manifestasi ruh tertinggi
kami bukanlah seorang penyair.
Aku menghayati sehelai
kertas lusuh berwarna kecokelatan. Sungguh aku berpikir keras tentang
asal-muasal dan sebab-musabab adanya kertas ini, lebih tepat lagi: tentang
mengapa di kertas ini tertulis kata-kata yang sulit di mengerti, terutama kata
ganti kami, ah siapa kami?
“Mengapa kakek menyusupkan kertas
ini di keranjang bungaku, ya? Aku bukan ahli menerka yang belajar semiotika.
Aku juga bukan ahli sembunyi yang mengabdi pada filologi. Aku hanya pemetik
bunga di kebun milik ibu pertiwi.” Begitulah batinku meracau di suatu senja, di
tepi danau Al-Kautsar. Di sampingku duduk seorang lelaki tua yang hobi
naik-turun gunung.
Meski aku hanya berbicara di dalam
batin. Ia mampu menangkap getaran suaraku. Ia menanggapi “kertas ini bukan hanya
untukmu, tapi juga untuk cerminmu.”
“Cerminku, kek? Maksud kakek, apa?”
“Kamu mengenal kakek sebagai siapa?
Apa kamu berharap Kakek akan memberikan jawaban untuk pertanyaan apa?”
“Ya, ya, ya. Tentu saja aku mengenal
kakek sebagai titisan Zarathustra yang pandai membungkus makna, jadi pertanyaan
apa tidak akan kakek jawab. Baiklah,
apa ini PR lagi? Apa kakek menyuruhku mencari tahu apa atau siapa cerminku,
begitu?”
“Ya, kamu harus mencari tahu sendiri
siapa atau apa cerminmu.”
“Mengapa?”
“Agar kamu bisa melukai dirimu
sendiri hingga kebijaksanaanmu runtuh. Melalui cerminmu, kamu akan menyaksikan
kehancuran dirimu.”
“Tidak, hanya aku yang mampu melihat
dan membunuh kebijaksanaanku - bukan orang lain: seperti ketika dengan mudahnya
aku menghancurkan bunga-bunga yang kupetik dengan jari-jariku ini. Sungguh kek,
aku tidak butuh cermin apapun karena tanpa cermin pun, aku sudah berhasil
melukai diriku sendiri. Tapi, aku tertarik mencari cermin yang kakek bilang.
Beri aku petunjuk, kek!” Ucapku lantang sembari memegang erat mahkota di
kepalaku yang kubuat dari bunga kecil bertangkai panjang, agak mirip dengan
bunga matahari. Bunga kecil ini biasa tumbuh di dekat sawah.
“Apa kamu pernah dengar seseorang
menjadikan kesepiannya sebagai rumah? Dialah Zarathustra yang malang. Melalui
cerminmu, kamu tidak akan dilanda kesepian lagi karena kalian akan sangat
ramai, seramai bunga-bunga yang mengalungi lehermu. Kakek juga tidak mau kamu
memiliki gaya hidup seperti kakek ataupun Zarathustra. Bukalah matamu, Ara!
Bacalah dunia! Berjalanlah di bumi dengan suka cita!” Ujar kakek sambil menarik
kalung bunga warna-warni yang melingkar di leherku.
Petunjuk dari Kakek membangkitkan
libido yang sudah lama kupendam jauh di kedalaman jiwa. Libidoku adalah semacam
kerinduan terhadap lingkungan sosial. Semenjak keluar dari Barisan Anak
Khatulitiswa, aku betul-betul mengisolasi diri dari lingkungan sosial. Hanya
ada satu orang yang kusapa: dialah kakekku: titisan Zarathustra. Meski
demikian, aku masih mampu menikmati dunia dan bergerak bebas di bumi, dengan
mendaki gunung, jalan-jalan ke desa dan kota, membaca buku, atau sekadar
melamun di bawah jendela kamar. Meski libidoku terhadap keramaian amat kuat,
aku sama sekali tidak bisa menjadi ramai: tetap saja diriku hening, bagaikan
menutup kuping.
Libido yang memberontak membuat
tubuhku merinding, terutama di dada, tangan, dan kaki. Aku berusaha menghalau getaran libido dengan
terus mengajak bicara kakek. “O my god, petunjuk selanjutnya?”
“Bipolar.”
“Ada lagi?”
“Tidak. Udah cukup. Ayo kita pulang,
sayang! Sebentar lagi maghrib.”
“Aduh kakek, ayolah beri petunjuk lagi,
yang lebih jelas!” Aku terus memaksa kakek bicara karena petunjuk-petunjuk
darinya terlampau abstrak.
“Tidak, tidak… Memangnya kakek
siapa? Kakek kan titisan Zarathustra yang pandai membungkus makna. Kalau kamu
masih bertanya terus sama kakek, bagaimana kamu bisa menemukan cerminmu, bayangan
dirimu, dan diri sejatimu.”
“Iya, aku tidak akan pernah
menemukan kebenaran melalui mulut Zarathustra, muridnya, maupun titisannya. Aku
pun sekarang bertanya-tanya pada diri sendiri: mengapa aku jadi ingin menemukan
cerminku? Padahal diriku pun mampu menjadi cermin.”
Sepanjang perjalanan pulang ke
rumah, aku terus protes pada kakek karena memberiku tantangan yang aneh begini.
Apa di tengah hutan belantara, seorang rescuer akan berteriak “survivor, survivor, survivor,
dimana dirimu?” Bodoh sekali jika ia berteriak demikian. Sama halnya dengan
cermin misterius itu, mungkinkah ia mencariku yang tidak memiliki eksistensi?
Tentu saja kemungkinannya hampir tidak ada. Satu-satunya hal masuk akal yang
akan kulakukan adalah mencarinya. Oh,
malang nian nasib survivor yang menyembah Zarathustra. Disaat sekarat dan tak
membawa kompas, ia harus tetap mengais-ngais ruang-waktu, mencari cermin misterius
hanya untuk membunuh kebijaksanaan dirinya.
* * *
Atmosfer malam menawarkan berjuta cerita yang berasal dari
samudera bintang yang berkedip-kedip dari puncak kepala hingga cakrawala.
Pernah kudengar seorang manusia bersuara tentang paradoks akibat permainan
ruang dan waktu. Ketika pakar hukum fisika berhasil menemukan celah dari
keberaturan semesta alam, paradoks itu justru menjadi pemanis yang mengubah
genre kontemplasi sains yang kaku dengan bumbu-bumbu humor yang meletup bersamaan
dengan imajinasi. Misalnya rentetan kausal yang dimulai dari petuah Einstein, bahwa
gaya gravitasi dapat membelokkan cahaya.
Petuahnya mengakibatkan dinding langit runtuh dan Hawking yang tegar itu
berhasil masuk ke langit yang lebih tinggi dan berkata tentang “X”. Selanjutnya
di siang bolong yang panas, kawan dialektikaku yang bernama Lacius membisiki
telingaku, begini “hanya cahaya yang dapat melampaui waktu.”
Jika
aku kembali ke dalam kamarku yang kerap kunamakan dinding tanpa kaca, aku
sering melupakan semua hal yang terjadi: termasuk melupakan kakekku dan
Zarathustra yang memusingkan. Tapi aku tidak akan pernah melupakan tugasku
untuk mencari cermin, karena aku agaknya tertarik dengan omong kosong titisan
Zarathustra karena kupikir aku memang membutuhkan cermin yang berada di luar
jiwa ragaku untuk memantulkan apa adanya diriku. Sebagaimana kawan tukar
pikirku yang berkebangsaan Aljazair, yang lahir 100 tahun yang lalu pernah
mengingatkanku melalui Teka-Tekinya, begini “tidak ada orang yang bisa
mengatakan siapa dia. Tetapi kadang-kadang ia bisa mengatakan yang bukan
merupakan dirinya.” Lihatlah ia, kawanku yang sudah mati itu baru saja
mengajarkan aku tentang keharusan menjalin relasi kuasa, agar aku mendapatkan
apresiasi yang apa adanya. Siapakah relasi kuasaku? Cermin? Kau? Atau Dia?
Masih menjadi enigma.
Meskipun
kakek pernah bilang segala bentuk kebijaksanaan akan lenyap ketika seorang
manusia berhasil melampaui baik dan buruk, aku tidak percaya, karena menurutku
bunga akan tetap harum meski berkali-kali tergores serpihan kaca. Bahkan aku
meyakini bunga akan tetap berevolusi menjadi buah keabadian. Kematian bunga
tidak berarti ketiadaan karena seandainya ketiadaan itu ada: hanya menjadi akibat
dari ketidakmampuan bahasa. Dan kini aku mulai curiga, apakah kakek telah
mengalami kesesatan dalam menafsir sabda Zarathustra? Lalu, apa yang sebaiknya kulakukan sekarang? Kurasa, aku harus
terus mencari cermin itu, meski pada akhirnya, cahaya dan bayangan yang ia
pantulkan akan mengoyak sisi-sisi gelapku sekaligus sisi-sisi terangku.
Epilog:
Enigma
Kaca
Di atasku langit
Di bawahku bumi
Bagaimana aku melampaui aku tanpa
kehilangan aku?
Bukankah Zarathustra bersabda “berkuasalah!”?
Membuat aku tak lagi percaya pada aku
Selaksa api yang tak percaya pada air
Hampa: Tiada
(Purwokerto, 22 Mei 2013)
Tentang Penulis
Nadia
Halim lahir di Banyumas, 20 Desember 1994. Ia belajar formal di bangku
perkuliahan Universitas Jenderal Soedirman, jurusan ilmu politik. Selain
menulis, ia suka melancong dan membaca.
jangan bodoh! kau lebih mendengarkan perkataan orang yang menyesatkan daripada orang yang terbukti mencerahkan... bukan "berkuasalah!" tetapi meyerahlah kepada-Nya... itu satu - satunya jalan yang bisa kau tempuh sekarang...
BalasHapusjika kau hanya mengharap pujian atas tulisanmu ini tidak ada bedanya dengan tukang pamer yang disebelah gang...
maaf, aku keras kepadamu, karena aku benar - benar serius padamu..
dengan keterbatasan ilmu spritualmu sekarang, aku akan segera menceraikanmu jika kau masih sebatas ini, atau.... kau lebih baik tinggalkan aku sekarang juga...
keluarga kerajaan harus dibangun dengan akal kerajaan... bukan dengan ilmu cendekiawan pemberontak kerajaan penyebar kepalsuan
jadilah hamba yang -mukhlis-, apa itu hamba yang mukhlis?
Hapus