Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jalan

 Oleh M. Rizky Allawy

Pict Source : shauntfitness.com
           Setiap hal selalu memiliki jalan menuju sebuah akhir. Apakah itu berujung atau tak pernah akan ada akhirnya. Ia membawa kita mengarungi proses menuju titik terang di ufuk cita. Terkadang ada yang mampu melewati dan membentuk jalan dirinya, dan ada yang hilang karena sesat di tengahnya.

            Tak jarang orang menempuh jalannya sendirian, layaknya Adipati Karna, kakak tertua dari Pandawa. Dibuang sejak kecil, karena dianggap sebagai aib kerajaan, hingga dibesarkan oleh sais kereta. Seketika itu, kasta kesatrianya lenyap.

            Namun ia lantas tak diam. Keinginanya menuntut ilmu kanuragan, dan memanah membawanya berguru pada Drona. Ia harus sendiri berguru dengan Drona, tak bersama Kurawa maupun Pandawa. Karna dianggap kelas rendahan, oleh mereka. Ia juga berusaha mempelajari Brahmastra, salah satu senjata terkuat yang pernah ada. Sekalipun ia terpaksa mengaku sebagai Brahmana kepada Palashurama.
 
            Ketika perang Baratayudha akan berkecamuk, Karna menolak rayuan Krisna untuk menyeberang ke pihak Pandawa. Ia berkata dengan yakin,

            “Sepanjang hidupku orang menganggapku anak seorang tukang kuda dahulu, baru kemudian sebagai seorang prajurit dan raja. Duryodhana adalah satu-satunya orang yang tidak hanya memandangku sebagai seorang prajurit dan raja, tetapi juga sebagai seorang yang setara dengan dirinya. Tidak pernah ia memandangku sebagai seorang anak tukang kuda. Ketika temanku ini membutuhkan dukungan, masihkah engkau mengharapkanku untuk meninggalkannya?”

Keputusan merupakan picu untuk menapaki sebuah jalan, seperti Karna yang bersikukuh, setia menempuh jalannya, meskipun tahu Ia harus berperang dengan saudara seibu, Pandawa. Maka jangan biarkan sebuah jalan hanya terbentang, dipandang karena kebimbangan. Sebab penantian bukanlah sahabat yang bijak. Tak lupa, langkah yang kuat untuk menempuh jarak yang dibatasi ufuk. Tak ubahnya thesis dan antithesis yang silih berganti nama dan makna menjadi diri yang lebih, sintesis. 

Hari ini, langkah ini membawa kita menjajaki diri sebagai Mahasiswa. Sebagian karena piihan, yang lain karena keputusan di atas keputusasaan. Mengemban gelar yang tak hanya mampir menyesap. Gelar yang menuntut kita menjunjung tinggi pencarian ilmu dan disiplin mengabdi. 

Gelar ini, juga menuntut kita membekali diri dengan teks, dalam buku. Sebab bukulah penunjuk jalan keilmuan. Kompas ilmu pengetahuan. Peta dalam sebuah pemikiran.

Tak layak seoarang pencari ilmu menggeletakan buku. Mengabaikan buku menepi di sudut ruang hingga berselimut debu. Ia pantas dibuka, dimengerti agar seseorang tak harus mencari-cari dalam kesiaan.
Bukan hal kebetulan, sebuah jalan dikelilingi berbagai pemandangan, lewat sana dunia memberikan pelajaran. Seperti mahasiswa yang melulu berkutat pada nilai kuliah, kerap mengabaikan pemandangan yang diantarkan oleh buku-buku, dan lingkungan sekitar. Padahal lewat situlah kita dapat mengenali gejala. Apakah esok badai akan berkecamuk, ataukah terang benderang.

Maka belajarlah membaca.

Membaca buku.

Membaca jiwa.

Membaca keadaan.

Untuk mengurai gejala!

Dan putuskan, jalan yang akan kita tempuh. Sampai kita ada di suatu hari, suatu hari yang telah lama kita ketahui, seperti yang dikatakan Gie.

“Dan jika suatu saat nanti kita lelah berjalan, maka sejenak menepilah, bercengkrama dengan orang-orang desa dan pinggiran. Barangkali kita mendapatkan bekal yang jauh lebih berharga dibandingkan kuliah yang mahal.”

Posting Komentar untuk "Jalan"