OPINI: Kemanusiaan Diantara Gaza, Rembang Dan Karawang
Oleh: Muhammad
Azmy
Source:flipinobook.com |
Akibat perubahan iklim dan pemanasan global, ternyata bukan saja mengakibatkan
perubahan iklim dan cuaca, tapi juga lahirnya musim baru di dunia. Ada satu
musim yang dialami oleh satu wilayah terpencil di dunia ini yang bernama Gaza,
Palestina. Dimana setiap tahunnya terutama di bulan Ramadhan selalu mengalami
musim peluru, rudal, roket dan bom, setidaknya berdasarkan pengamatan saya
semenjak tahun 2008. Namun, selain itu sebelum tragedi Gaza meletus ditahun
2014 ini, beberapa waktu lalu tersiar kabar tentang adanya perampasan lahan
oleh pemodal besar terhadap warga masyarakat Rembang dan Karawang di Indonesia.
Persoalan Gaza, Rembang dan Karawang adalah sepenggal kecil dari ribuan persoalan
yang kerap kali tak terkawal dengan baik oleh kita. Sebab, konflik ketiganya
sudah meletus sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, bukan berarti tak ada
pihak-pihak yang secara konsisten mengawal dan terus memberikan advokasi dan
pembelaan terhadap Gaza, Rembang maupun Karawang serta menyampaikan informasi
kepada kita secara intens dan faktual.
Ada, hanya lagi-lagi karena yang tertindas tidak menguntungkan penguasa
yang menindas, maka informasi diboikot,
tetap ada beritanya tapi minim atau sudah disesuaikan agar lebih lirih
terdengar, selain itu tidak diupayakan sebuah tim pembela yang kuat dan fokus
menyelesaikan persoalan semacam itu. Lalu, dibiaskan dengan persoalan-persoalan
yang lain.
Data yang saya dapat dari beberapa media, korban serangan
Gaza pada termin waktu 2008-2009 dari pihak Palestina korban tewas adalah
400-650 pejuang palestina, 167 polisi, dan 700 sipil, kemudian 5300 orang
terluka termasuk anak-anak dan perempuan, sedangkan dari pihak israel adalah 10
tentara dan 3 sipil tewas, sedangkan yang terluka 233 tentara dan 84 sipil.
Pada medio Mei 2010 israel memblokade seluruh bantuan kemanusiaan hingga
terjadi penembakan kapal Mavi Marmara yang membawa ratusan relawan dan
berton-ton bantuan kemanusiaan. Pada serangan tahun 2011 total jumlah korban
tewas mencapai 174 orang, 34 anak-anak, 11 wanita, 19 lansia dan 16 balita.
Luka-luka sebanyak 1399 jiwa, 465 anak-anak, 254 wanita, 91 lansia dan 141
balita. Sedangkan di tahun 2012 hingga serangan hari ke-6 menewaskan 109 orang.
Kemudian yang terakhir di tahun 2014, sampai saya menuliskan ini jumlah korban
tewas sebanyak 98 orang dan ratusan luka-luka yang sebagian besar adalah warga
sipil.
Lalu bagaimana dengan nasib 350 KK petani Karawang dari desa Wanasari, Wanakerta dan Margamulya yang 350
hektar tanahnya tergusur oleh korporasi besar dimana 1200-an petani dengan
dibantu oleh buruh dan mahasiswa sempat beraksi, berusaha mempertahankan tanah
tampat tinggal dan mata pencahariannya justru dihajar oleh aparat dan para
preman yang disewa oleh perusahaan tersebut? Dimanakah letak keberpihakan
negara pada mereka yang ditekan oleh sistem yang justru melindungi korporat
ketimbang kaum papa.
Setidaknya dengan berlandaskan pada UUD 1945 melalaui UUPA no 5 tahun 1960 sebagai
landasan hukum untuk melindungi kedaulatan kaum tani atas akses tanah sebagai
alat produksi bagi kehidupannya, dan atas peradilan hitam sebagai media untuk
merampas tanah petani, kemudian dengan bukti adanya pelanggaran hukum dan HAM
Berat berupa kejahatan kemanusian (Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM), Perlakuan yang kejam ( Pasal 33 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Pasal 21 ayat 1 Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun
2008 tentang Tata cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan
Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, Pasal 18 ayat 2 huruf d,e dan f
Peraturan Kapolri Nomor 8 tentang 2010 tentang Tata Cara Lintas ganti dan Cara
Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara. Seharusnya proses advokasi bisa
menyeret korporat dan para pelindungnya ke meja hijau, tapi yang terjadi justru
sebaliknya.
Beberapa alasan masyarakat
Gunem kabupaten Rembang dalam mengadakan aksi menentang pembangunan pabrik
semen antara lain karena kebutuhan lahan yang sangat luas untuk
perusahaan-perusahaan semen akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian,
sehingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan. Selain itu,
hal ini juga akan menurunkan produktivitas sektor pertanian pada wilayah
sekitar, karena dampak buruk yang akan timbul, misalnya, matinya sumber mata
air, polusi debu, dan terganggunya keseimbangan ekosistem alamiah. Apalagi
dengan ditemukannya 109 mata air, 49 gua, dan 4 sungai bawah tanah yang masih
mengalir dan mempunyai debit yang bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada
dinding gua, semakin menguatkan keyakinan bahwa kawasan karst Watuputih harus
dilindungi.
Proses produksi semen berpotensi merusak sumber daya air yang
berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar dan juga warga Rembang dan
Lasem yang menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang mengambil
air dari gunungWatuputih. Selain alasan tersebut ada sederet alasan lainnya yang tidak saya tuliskan di
sini, karena fokus kita adalah bagaimana membangun korelasi antar berbagai
persoalan di atas dengan konteks kemanusiaan. Aksi yang dilakukan ibu-ibu dan
masyarakat desa dengan membuat tenda dan melakukan serangkaian acara seperti
istighotsah justru disikapi oleh aksi-aksi brutal aparat dan preman.
Beberapa
peserta aksi harus ditangkap, mereka yang bersembunyi di semak-semak disweeping
dan diusir. Bahkan ada warga yg dilemparkan oleh polisi dari ketinggian bukit
karst setinggi 3 meter hingga jatuh dan terluka. Warga ataupun petugas medis yg
berusaha menolongnya dilarang dan dihalang-halangi. Saya sekedar
ingin mengajak kita semua untuk bercerita, karena bukan kapasitas saya untuk
mengkaji dan meneliti secara ilmiah bagaimana yang terjadi di Gaza, Rembang dan
Karawang, karena akan dibutuhkan segudang data, dan saya tak punya itu semua.
Terkait dengan itu, maka jika saya sebagai orang awam yang buta sejarah dari
ketiga konflik tersebut, agar bisa terlibat di dalamnya akan coba mencari-cari
alasan dan informasi agar tidak salah berpijak dalam memberikan dukungan.
Mulai
mencari informasi, apakah mungkin sebab asalnya terkait persoalan wilayah,
apakah persoalan agama, politik, ekonomi, ideologi, budaya, ras, suku, atau
yang lainnya, atau malah kesemuanya menjadi kulminasi sebab terjadinya konflik?
Segala pertanyaan dan pencarian digulirkan hingga tak kunjung beraksi malah menghadirkan
meja perdebatan di depan kita. Akhirnya, sebagai seorang yang buta informasi
dan buta data, maka saya akan pinggirkan sejenak semua itu
dan mengambil satu alasan universal agar kepekaan hati muncul setelah melihat,
mendengar dan merasakan sehingga aksi akan menjadi nyata, yakni alasan kemanusiaan. Gus Dur mengatakan bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.
Imam Ali bin Abi Thalib Kwh mengatakan, "Sungai
adalah untuk yang memanfatkannya, bukan untuk yang menguasainya."
Perkataanya yang lain: "Aku tidak pernah melihat adanya kenikmatan yang
berlimpah ruah, kecuali di sana ada hak yang terabaikan. Tiap kenikmatan yang
dirasakan orang kaya adalah kelaparan yang diderita orang miskin."
Kemanusiaan
tidak berbicara soal siapa benar dan siapa salah, siapa baik dan siapa buruk,
karena dia berada di titik yang sifatnya lebih general, umum dan universal. Kemanusiaan
sebagai nilai fitrah yang sudah melekat pada manusia akan mengantarkan
seseorang pada titik yang dapat menghapus sekat-sekat dan batas-batas imajiner
manusia. Sehingga akan mengantarkannya pada sikap solidaritas tanpa harus
melihat apa, siapa, kapan, dimana, bagaimana dan kenapa dia menindas atau
tertindas. Itulah kenapa tulisan ini sekedar untuk membangun refleksi kepada
kita semua untuk menanyakan kepada diri kita masing-masing, “Siapakah saya,
dimanakah posisi saya, dan saya harus bagaimana?”
*) Alumni Fakultas Ekonomi Unsoed, Aktivis Kemanusiaan Purwokerto.
Posting Komentar untuk "OPINI: Kemanusiaan Diantara Gaza, Rembang Dan Karawang"