Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

REVIEW: Mengharmonikan Barat-Timur Untuk Menghapus Imperialisme



Oleh: Fita Nofiana

"Di mana garis tepat pemisah antara Barat dan Timur? Bagaimana bisa ada sebutan “kita” dan “mereka” antara Timur dan Barat?"


Judul Buku      : Orientalisme
Karya              : Edward W. Said
Penerjemah      : Achmad Fawid
            Penerbit           : Pustaka Pelajar         

      Edward Said adalah seorang intelektual Palestina-Amerika yang lahir di Yerussalem. Dalam bukunya, Ia sebagai seorang yang lebih senang dianggap Humanis (orang-orang karyanya yang relatif tidak memberikan efek politis), memaparkan bagaimana representasi Barat terhadap Timur, hegemoni Barat dan pendefinisian mengenai “Timur-Barat” dan “Kita-Mereka”.

Dalam buku orientalisme, definisi tentang Timur-Barat malah lebih bersifat Imajinatif dan konstruktif, orang Barat (Eropa, Amerika) mendefinisikan diri mereka sebagai ras unggul daripada bangsa Timur yang bahkan dianggap tidak mampu membuat sejarahnya sendiri. Pada hakikatnya, pembedaan Timur dan Barat ini tak lepas dari hasrat Eropa untuk mendominasi Timur. Di Eropa, istilah Timur sudah lazim digunakan untuk menyebut karakter, kisah-kisah, despostisme, atau cara produksi Timur. Tanpa perlu menjelaskan apa dan bagaimana Timur sebenarnya, yang orang Eropa sudah mengerti hanya tentang Timur yang berbeda dengan Barat.

Sedangkan kata “mereka” yang dirujukkan kepada Timur, dianggap menjadi “the others”, orang berbeda dengan Barat yang ujungnya hanya melegitimasi karakteristik “mereka” yang berbeda dengan “kita (Barat)”. Selain itu “kita” selalu menganggap lebih tahu dari “mereka”, yang pada akhirnya akan mengingkari otonomi “mereka”. Kajian-kajian mengenani Timur dan Barat inilah yang kemudian dikenal sebagai kajian Orientalisme.

Bagi Said, Orientalisme adalah kajian yang didasarkan pada upaya perenungan kembali atas apa yang berabad-abad telah dipercaya mengenai pemisahan antara Timur dan Barat. Tujuan penulisan buku Orientalisme bukan untuk meleburkan perbedaan antara Timur dan Barat atau meleburkan batas keduanya, tetapi untuk membantah gagasan yang menganggap perbedaan adalah permusuhan, atau saling bertentangan. Orientalisme sendiri bersifat menyeluruh dalam membahas realitas politik, sosial, linguistik, dan sejarah, yang kemudian  malah sarat akan “ambisi geografis”.

Edward Said, menyebutnya ambisi geografis karena umumnya kondisi geografis Timur sering didefinisikan dalam geografi yang tekstual. Artinya, dunia Timur diciptakan melalui buku-buku, atau teks-teks yang bahkah ditulis oleh orang Barat tanpa meninggalkan kebaratannya. Dari sisi ini kita dapat melihat bahwa Timur telah di Timurkan, dijadikan objek yang kemudian peta mengenai Timur ini sering disebut dengan geografi imaginatif.  Ada dua aspek dalam geografi imaginatif, pertama, kedua benua yang ditarik terpisah antara dua benua yaitu Eropa dan Asia, di mana Eropa selalu didefinisikan sebagai Superior dan asia sebagai Inferior. Kedua, Timur ditampilkan sebagai bencana yang aneh, misterius, dan lain bagi Barat.

Seiring dengan berjalanya waktu, kajian Barat tentang Timur terkesan narsistik yang menjadikan Timur sebagai panggung teater yang didirikan di hadapan Barat. Di atas panggung teater ini hanya menampilkan beberapa fakta, yang terbatas dunia Barat dan tampak bukan sebagai dunia Timur secara keseluruhan. Hal ini kemudian diperparah ketika para pengaji Orientalisme mejadikan Timur sebagai objek yang direndahkan. Di mana Barat menjadi majikan, beradab, rasional dan intelek, sedangkan Timur seagai budak yang percaya dengan takhayul, dan bar-bar. Citra Timur semacam ini yang kemudian direpresentasikan sebagai suatu entitas yang sangat besar, yang memungkinkan pembaca memahami secara kongkret.

Dalam kajian Orientalisme kekinian, Setelah Perang Dunia I pusat Orientalisme pindah dari Eropa ke Amerika Serikat. Salah satu transformasi penting menghubungkan Orientalisme dengan filologi. Sebagai dasar kajian penting bagi Orientalisme dan mengamati budaya-budaya Timur. Semua orientalis mempelajari oriental untuk membantu pemerintah mereka dalam mengambil kebijakan untuk Timur. Kepentingan Amerika dalam kajian ini tentu saja bukan hanya bersifat ilmiah, namun malah sarat akan politis. Hal ini bisa dibuktikan pada sikap Amerika tentang Zionisme dan tindakannya terhadap kolonialisasi Palestina. Sedangkan pada perang dunia kedua Amerika menunjukkanya pada imerialisme terhadap Afrika Selatan dan Teheran atas kepentingan perminyakannya.

Kemudian, saat berakhirnya Perang Dunia II, ketika semua koloni Eropa hilang, tetap tak menghilangkan istilah timur tak lebih baik dari barat. Prasangka Barat terhadap negara-negara Timur masih sangat kental, dan seringkali mereka berhasil menggeneralisasi sebagian besar negara Timur. Misalnya orang Arab sering direpresentasikan sebagai orang kejam, kekerasan, cabul, atau teroris. Kemudian timbulnya relasi Amerika-Timur pasca perang dunia II menimbulkan suatu kelas dalam masyarakat Timur itu sendiri, mirip kelas masyarakat dalam Marxisme yang juga menimbulkan “dunia ketiga”. Jadi pada akhirnya, melalui penyerapan intelektual dan doktrin-doktin Orientalisme, terjadi juga pengukuhan Orientalisme dalam pertukaran ekonomi, politik, dan sosial. Singkatnya, Timur modern malah terkesan ikut serta men-“Timur”-kan mereka sendiri.

Kajian Orientalisme setidaknya masih menjadi kajian terbesar poskolonial, menyangkut representasi Timur dan Barat. Setidaknya kajian ini telah membantu menyadarkan dan meminimalisir pengaruh-pengaruh imperialisme. Selain itu diharapkan kajian ini bisa menumbuhkan relasi yang lebih harmonis antara “Barat” dan “Timur”.

1 komentar untuk "REVIEW: Mengharmonikan Barat-Timur Untuk Menghapus Imperialisme"

  1. Sayangnya Edward Said gagal dalam membaca apa sebenarnya imperialisme. Diskursus yang dibangun akan menimbulkan kedangkalan dalam menganalisis permasalahan. Masalah utama yg dihadirkan oleh imperialisme adalah bagaimana zaman ini dikelompokkan berdasarkan klas nya, klas penindas dan klas tertindas, bukan problematika barat vs timur.

    BalasHapus