OPINI: Penjara untuk Mahasiswa
Oleh : Ragil Chandra*
Penjara dan mahasiswa adalah dua kata yang sangat berbeda
maknanya. Penjara sangat identik dengan
ruang sempit dan penuh dengan rajutan besi.
Bukan menjadi rahasia umum lagi apabila penjara merupakan tempat bagi
orang-orang yang didakwa bersalah oleh hukum.
Oleh karena itu, penjara merupakan sebuah tempat isolasi yang diangap
baik untuk menciptakan efek jera bagi para terdakwa.
Sedangkan mahasiswa identik dengan sosok terpelajar,
muda, dan bergairah. Gairah mahasiswa
ini diangap sebagai gairah semangat kebebasan yang melekat pada kehidupan
intelektualnya. Hal ini dirasa wajar
adanya, dapat dikatakan demikian karena label ini bisa melekat atas sejarah
mahasiswa itu sendiri. Sejarah yang
mengatakan bagaimana mahasiswa menjadi salah satu aktor pada era reformasi. Sejarah pernah pula mengatakan bahwa mahasiwa
rela mengadaikan nyawanya untuk semangat kebebasan dari otoritarianisme orde
baru. Sejarah juga pernah menyebut ada
mahasiswa rela membakar dirinya karna keputus asanya melihat kondisi Ibu Pertiwi.
Kumpulan sejarah-sejarah yang ada ini
kemudian menjadi pelekat antara mahasiswa dan gairah pembebasan itu sendiri.
Apabila melihat kondisi kehidupan sosial saat ini,
mungkin pembatasan makna antar mahasiswa dan penjara sudah kabur adanya. Pengkaburan pembatasan ini dapat dilihat
dalam dunia kampus yang menjadi lingkungan bagi mahasiswa itu sendiri. Hal ini tidak berarti mereka (mahasiswa)
menjadi terdakwa atau menghakimi kehidupan mahasiswa itu sendiri. Namun hal ini dapat dilihat cerminan kampus
yang menjadi penjara bagi para mahasiswanya.
Saat ini bisa dikatakan mahasiswa layaknya narapidana
yang tengah menjalani masa hukuman.
Mahasiswa dibuat tidak berkutik oleh sistem yang membelengu dirinya
seperti halnya narapidana yang terbelengu oleh rajutan besi. Hal ini dapat dilihat dengan tekanan-tekanan
yang diciptakan oleh sipir kampus (dosen) terhadap tahananya. Sipir-sipir ini didikte oleh sistem untuk
menjalankan roda kehidupan sistem tersebut.
Sistem ini perlu sebuah pengakuan agar lembaga yang menaunginya
tetap mendapatkan sebuah penghargaan.
Penghargaan ini berupa lisensi yang membuat lembaga tersebut akan
terjaga keberadaanya. Tuntutan ini yang
kemudian menjadi faktor adanya tekanan secara psikologis pada mahasiswa itu
sendiri. Mahasiswa didikte untuk cepat
lulus, hal ini dikarenakan tingkat kelulusan mahasiswa menjadi salah satu
faktor penolong lembaga pendidikan tinggi untuk mendapatkan lisensi itu sendiri.
Salah satu alat agar mahasiswa ‘sadar’ untuk mempercepat
masa studinya adalah dengan mengkontradiksikan kehidupan sosial yang ada. Sipir kampus ini menjelma sebagai peri
penolong yang seolah-olah mengerti kehidupan keseharian mahasiswa itu
sendiri. Mahasiswa diciptakan agar
mengerti bagaimana orang tua mereka susah payah mendapatkan uang untuk ongkos
studinya. Hal ini yang kemudian menjadi
senjnata ampuh untuk doktrinasi sipir kepada mahasiwanya agar lulus cepat
menjadi salah satu senjata penolong orang tua mereka. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah,
apabila demikian adanya mengapa pendidikan tinggi harus berbayar mahal?
Selain tekanan psikologis yang diciptakan, sistem ini
kemudian membuat sebuah kepuasan palsu terhadap objek pendidikan
(mahasiswa). Sistem ini mempermudah
mahasiswa untuk mendapatkan IP memuaskan dengan menurunkan standar
penilaian. Hal ini mungkin tidak dirasa
oleh mahasiswa, karena mahasiswa juga mendapatkan untung atas dasar penurunan
standar penilaian. Namun cara ini
dianggap efektif bagi sistem itu sendiri untuk menciptakan kepuasan bagi para
mahasiswa. Hal yang kemudian terjadi
adalah, mahasiswa semakin mudah menyel;esaikan masa studinya karena mereka
semakin mudah mendapatkan syarat kelulusan.
Paksaaan-paksaan yang tak terlihat ini kemudian
menjadikan kampus sebagai penjara.
Mahasiswa diciptakan untuk berfikir terlalu tua. Mahasiswa dibuat asyik ditengah ketakutan
yang ada. Mahasiswa takut untuk mencoba
keluar dari doktrinasi yang diciptakan oleh sistem tersebut. Namun ketakutan ini menjadi hal yang asyik
sehingga mereka tidak sadar hidup penuh dengan ketakutan-ketakutan yang
ada. Mahasiswa semakin dijauhkan untuk
berfikir liar di luar kotak kehidupan mereka.
Hal ini wajar adanya, karena sistem dimana ia tinggal menciptakan kondisi
demikian. Sistem menciptakan ketakutan
yang sangat mengasyikan.
Oleh karena itu, fenomena partisipasi mahasiswa diluar
perkuliahan menjadi wajar. Hal ini
dikarenakan titik psikologis mahasiswa dibuat hanya memikirkan masa
studinya. Rutinitas ketakutan ini akan
berjalan apa adanya dan membuat mahasiswa lupa akan keindahan dunia sosial di
luar bangklu kuliahnya. Saat ini yang
mereka kenal hanyalah bangku kuliah, beban, dan hiburan semata. Proses menempuh waktu studi merupakan pilihan
bagi para mahasiswa itu sendiri, bukan pilihan yang dipaksakan Hal ini bisa dikatakan sistem membuat
mahasiswa sebagai robot yang berperasaan.
*) Mahasiswa Ilmu Politik 2011
*) Mahasiswa Ilmu Politik 2011
lalu ? solusinya ?
BalasHapus