Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

REVIEW: Sebelum Prahara: Apa yang Terjadi Sebelum Tragedi 65?

Setelah gedung-gedung ini jadi, rakyat tidak akan ingat beras langka lagi. Nantinya yang mereka ingat adalah gedung-gedung ini” –Soekarno, saat proses Pembangunan Monas dan Masjid Istqlal

Judul: Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965
Penulis: Rosihan Anwar
Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, 1981
Tebal: 556 halaman

Kebanyakan buku yang membahas tragedi 65, selalu menyoroti kudeta yang diselubungi misteri dan pembantaian setelahnya. Buku Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965 lebih banyak membahas pergolakan politik yang terjadi sebelum tragedi 65. Pemberontakan 30S tidak bisa dilepaskan dari kejadian sosial dan politik beberapa tahun sebelumnya.

Pada mulanya, buku ini merupakan catatan harian Rosihin Anwar, editor harian pedoman. Pedoman sendiri merupakan harian di bawah PSI (Partai Sosialis Indonesia), yang kemudian dibredel di era Soekarno pada tahun 1961. Terbit kembali pada tahun 1968, dan sekali lagi dibredel oleh pemerintah Orde Baru, beberapa bulan setelah Rosihin Anwar menerima anugerah Bintang Mahaputera III.

Buku ini memiliki kecenderungan politik PSI, dengan beberapa tulisan banyak berfokus kepada Soekarno, manuver PKI, dan secara samar mengkritisi tentara. Samarnya kritik atas tentara tidak bisa dilepaskan dari tahun terbitnya di era Orde Baru. Ditulis berdasarkan tanggal dan bulan, mulai dari awal tahun 1961 hingga akhir tahun 1965. Selayaknya buku harian, momen-momen khusus penulis juga ikut terekam, seperti kematian orang tua Rosihin Anwar.

Ada 3 pihak yang disorot dalam buku Sebelum Prahara, yaitu Soekarno, Tentara, dan PKI. Buku ini dibuka dengan keadaan orang-orang di jaman Manifesto politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol/USDEK). Bagaimana gaya hidup para pejabat di lingkaran Soekarno, keadaan ekonomi, keadaan politik dalam dan luar negeri Indonesia, serta manuver dari tentara dan PKI, dicatat berdasarkan kejadian sehari-hari penulis, berita koran, dan ’informasi masyarakat politik Jakarta’.

Pada masa itu, Soekarno memanfaatkan konflik antara tentara dan PKI untuk mempertahankan posisinya. Setelah keluarnya dekrit presiden tahun 1959, Soekarno memiliki posisi yang sangat kuat. Lawan-lawan politik yang dianggap berbahaya, dipenjarakan tanpa dibawa ke meja sidang. Koran juga memiliki nasib yang sama, dibredel. Rebutan kekuasaan di lingkaran istana sangat kentara, manuver dari Soebandrio, Chaerul Saleh, dan J. Leimena dijelaskan dengan rijit.

Sedangkan tentara menggunakan keadaan perang, dimana tahun-tahun tersebut meletus pemberontakan Permesta, Pembebasan Irian Barat, dan Ganyang Malaysia untuk menaikan posisinya. Para perwira tinggi saat itu dapat dikatakan sebagai orang Soekarno. Gejolak internal tentara dimulai dari bangkitnya midle military class (kelas menengah militer), sejak nasionalisasi perusahaan Belanda, dan puncaknya setelah Pembebasan Irian Barat. Para perwira terlanjur enak menduduki jabatan tinggi di perusahaan, meski masih ada beberapa perwira yang bersih. Ditambah pada tahun 1964, karena kelangkaan beras para tentara turun ke jalan menodong meminta beras, dan pemotongan anggaran militer hingga 30%.

PKI memanfaatkan Soekarno untuk menghadapi tentara khususnya dari AD (saat itu masih bernama Angkatan Perang). Politik menggandul Aidit ini disorot tajam oleh tentara, dan Sjahrir. PKI menggunakan koran harian rakjat sebagai corongnya, dan melebarkan sayap ke pertarungan budaya melalui lembaga kesenian dan film. Pelarangan film barat juga dipelopori oleh pihak komunis. Pergolakan politik semakin panas setelah PKI mencetuskan wacana mempersenjatai buruh tani.

Untuk politik luar negerinya, Indonesia memainkan pendekatan dengan Uni Soviet (yang saat itu sudah pecah dengan Tiongkok), China, dan Amerika Serikat. Pendekatan tersebut kentara sekali ketika Pembebasan Irian Barat, dimana Indonesia meminjam hutang kepada Soviet untuk mempersenjatai tentara Indonesia. Konflik antara AL, AD dengan AU setelah kejadian laut aru juga digambarkan dengan gamblang. Dimana pihak AL mengkritik tajam KSAU saat itu yang tidak membantu Yos Sudarso. Dimana ujungnya, KSAU lama diganti dengan Omar Dhani. Semakin dekatnya Indonesia dengan Uni Soviet membuat Amerika Serikat menekan Belanda agar maju ke meja perundingan. Amerika Serikat juga mengancam akan turun tangan jika Indonesia masih ngotot melakukan politik konfrontasi dalam Pembebasan Irian Barat.

Untuk kondisi sosial dijelaskan beberapa konflik yang berujung kekerasan di akar rumput. Sedangkan ekonomi Indonesia pada tahun itu mendekati ambruk. Sebelum operasi Pembebasan Irian Barat Indonesia sendiri tidak memiliki dana yang cukup. Akhirnya Indonesia utang kepada Uni Soviet untuk melengkapi persenjataan. Konflik dengan Malaysia membuat ekonomi Indonesia tertekan, apalagi kredit yang dikucurkan dari Uni Soviet hanya berupa persenjataan. Mau tidak mau Indonesia meminta kredit konsumsi dari Amerika Serikat sebesar 750 juta dolar.

Inflasi naik hingga mencekik, sebagai perbandingan, kenaikan gaji pada kurun waktu 1960-1963 hanya 25 kali, sedangkan kenaikan harga bahan pokok mencapai 100 kali. Menurut data BI, jumlah uang yang beredar hampir sama dengan jumlah anggaran negara. Devisa Indonesia minus hingga 450 milyar, disebabkan karena gaya hidup glamor pejabat Indonesia, terutama Soekarno.


Buku ini menjabarkan banyak sekali hal-hal yang belum tercatat dalam sejarah mainstream. Bagaimana keadaan Indonesia ketika politik konfrontasi dengan Malaysia, KAA, dan pembangunan monumen lebih digenjot dibanding dengan pangan. Secara keseluruhan, buku ini patut dibaca untuk mengetahui sisi lain sejarah Orde Lama. (oL)

Posting Komentar untuk "REVIEW: Sebelum Prahara: Apa yang Terjadi Sebelum Tragedi 65?"