Hardiknas, Momentum Rekontruksi Pendidikan Nasional
Oleh: Mulkan Putra Sahada*
Hari Pendidikan Nasional yang kemudian selanjutnya penulis singkat menjadi Hardiknas adalah momentum tahunan yang terus menjadi perayaan klasik dalamrangka menyikapi kondisi pendidikan dari zaman ke zaman. Dalam kerangka tulisan ini, penulis mencoba menyampaikan dalam tiga kerangka. Pertama, menelaah studi literasi aspek historis munculnya peringatan Hardiknas. Kedua, penulis mengkritisi mengenai kondisi penyelenggaran pendidikan hari ini.
Dalam hal ini, ada dua hal yang coba penulis sampaikan. Yakni mengenai pengenjawantahan penyelenggaraan pendidikan dengan korporasi dan degradasi aspek moralitas dan spiritualitas dalam aktifitas penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, penulis mencoba menarik kesimpulan yang kemudian dapat menjadi masukan-masukan terhadap pihak yang berwenang.
Secara historis, Hardiknas diperingati setiap tanggal 2 mei, bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara dikenal karena berani menentang kebijakan pendid ikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan. Atas jasanya dalam merintis pendidikan yang menyeluruh di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959 tertanggal 28 November 1959, hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara yaitu tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa, tepatnya pada
tanggal 28 April 1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta. Pendidikan nasional
adalah sebuah proses perubahan berbagai kemampuan dan derajat manusia Indonesia
ke arah yang lebih baik. Layaknya sebuah proses, pendidikan itu merupakan
ilustrasi usaha yang dilakukan secara terus menerus dari masa ke masa. Kalau
kita menengok kembali ke belakang, betapa ternyata proses pendidikan sudah
diakui kepentingannya sejak akhir PD II melalui Declaration of Human
Right atau Deklarasi Universal HAM.
Disana dinyatakan bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia. Artinya, apapun yang menghalangi proses pendidikan itu sehingga tidak bisa terlaksana dengan baik, maka itu artinya melanggar hak asasi manusia. Sebagaimana diuraikan pada bagian lain, pendidikan adalah bagian dari upaya untuk memampukan setiap insan untuk mengembangkan potensi dirinya agar tumbuh menjadi manusia yang tangguh dan berkarakter serta berkehidupan sosial yang sehat.
Disana dinyatakan bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia. Artinya, apapun yang menghalangi proses pendidikan itu sehingga tidak bisa terlaksana dengan baik, maka itu artinya melanggar hak asasi manusia. Sebagaimana diuraikan pada bagian lain, pendidikan adalah bagian dari upaya untuk memampukan setiap insan untuk mengembangkan potensi dirinya agar tumbuh menjadi manusia yang tangguh dan berkarakter serta berkehidupan sosial yang sehat.
Dalam semangat UUD 1945 pendidikan diarahkan bagi masyarakat secara keseluruhan dengan perhatian utama pada masyarakat yang tidak mampu agar setiap warga dapat mengembangkan dirinya sebaik-baiknya yang pada gilirannya merupakan pilar bagi perwujudan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Namun penulis akhir-akhir
ini melihat kondisi pendidikan kembali menjadi barang mewah yang artinya hanya
orang-orang atau golongan-golongan tertentu yang dapat mengakses pendidikan.
Pendidikan hak segala bangsa adalah utopia-utopia masa lalu yang kini hanya
menjadi abu tak terbekas sama sekali. Berbicara akses tidak hanya sebatas pada
tataran seberapa besar ketimpangan keberadaan lokasi penyelenggaran pendidikan
antara satu dengan yang lain namun juga bagaimana kemampuan untuk ‘membayar’
proses pendidikan tersebut. Atau kalau mau secara global melihat kondisi
penyelenggaran pendidikan hari ini, otonomi perguruan tinggi, yang memaksa
kampus menjadi ajang kapitalisme pendidikan, tentu tak dapat dipungkiri bahwa
untuk mengenyam pendidikan tinggi ternyata sulit akibat mahalnya mengakses
untuk mendapatkan pendidikan tersebut.
Melihat kondisi tersebut menandakan
bahwa sudah adanya penghalangan kesempatan kepada masyarakat Indonesia untuk
menerima pendidikan yang baik dan layak. Dan ini juga yang penulis sebut
sebagai melanggar hak asasi manusia. Perjuangan bangsa
Indonesia sendiripun tidak lepas dari kegigihan para kaum terdidik yang
mengupayakan adanya kesetaraan dan peningkatan pendidikan terhadap
masyarakat Indonesia dengan kaum Hindia Belanda. UUD 1945 menegaskan hanya ada satu
sistem pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Satu sistem
pendidikan nasional diperlukan agar bangsa Indonesia yang amat majemuk itu
dapat terus mengembangkan persatuan kebangsaan yang menghormati kemajemukan dan
kesetaraan sesuai dengan sasanti “bhinneka tunggal ika.”. Dalam interpretasi
ini tentu bukan hanya studi ras dan genetika secara biologis dan fisiologis
namun juga studi ekonomis dan sosiologis. Apapun golongannya, siapapun orangnya
dan berapapun pendapatannya, mereka berhak untuk mengakses pendidikan dengan
baik dan layak.
Seperti
sebelumnya di atas penulis sampaikan bahwa penyelenggaraan pendidikan hari ini
halnya korporasi yang tidak ada bedanya penyelenggaraan pendidikan menjadi
komoditas bisnis yang menggiurkan. Demikian juga penyelenggaraan
pendidikan nasional dapat dikomersialkan dengan mudah bahkan ada istilah bangku
kosong yang dapat diperjual-belikan dengan mudah. Dalam hal ini malah semakin
mempertajam tersingkirnya paradigma pendidikan sebagai alat mencerdaskan
kehidupan bangsa. Ketika paradigma pendidikan sudah bergeser menjadi lahan
bisnis maka yang realita yang terjadi dalam dunia adalah semakin sulitnya
pendidikan berkualitas untuk bisa diakases oleh masyarakat kalangan bawah karena
pendidikan adalah komoditas bisnis yang menggiurkan.
Munculnya
penyelenggaraan pendidikan mahal yang mengatasnamakan mutu lulusan yang unggul
adalah bukti riil bahwa kondisi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tidak
lagi berangkat melalui semangat UUD 1945. Malahan mengapresiasi modernisme
pendidikan yang serba berbau hegemoni dan ketimpangan. Sehingga secara riil
masyarakat Indonesia yang mayoritas petani tidak mampu membayarnya. Belum lagi
persoalan sengketa petani dan agraria yang tak kunjung selesai. Tambah suram
kesejahteraan masyarakatnya. Kondisi ini, pada akhirnya, akan berujung pada
pemerasan dan pelebaran ketimpangan.
Dominasi
dan penindasan dalam kasus di atas, hanya akan dapat diruntuhkan dan dilawan
dengan memperdayakan penyelenggaran pendidikan tidak hanya larut dalam
penghafalan teori-teori ilmu pengetahuan dalam aspek epistemologis dan
membangun kesadaran kenyataan di ruang sosial, tetapi juga mengkritisinya
melalui moral dan kegiatan spiritual.
Penulis
menganggap bahwa kita tidak cukup jika penyelenggaraan pendidikan hanya
berhenti pada tataran ilmu pengetahuan dan gerakan empiris saja, akan tetapi
juga harus mempertimbangan aspek ontologis dengan pengakuan bahwa sisi
spiritual bukan hanya ritual-ritual ceremony belaka. Dengan mempertimbangkan
aspek-aspek spiritual maka keberadaan rasio dan empiris tidak absolut
kebenarannya. Maka, ideologi-ideologi kapitalisme yang hari ini sedang
menggerogoti penyelenggaran pendidikan di Indonesia dapat disaring. Pendidikan
mordernisme yang berkiblat pada teori klasik kapitalisme melihat bahwa produk
individu dengan basis rasio dan empiris adalah kebenaran yang absolut yang
dikenal dengan metode “Corgito Ergo Sum”. Metode ini menyangsikan seluruh
metafisika yang merupakan aktifitas-aktifitas spiritual.
Walaupun
satu sisi rasionalisme membawa semangat kebebasan individu yang kemudian
diharapkan memunculkan kreatifitas, tetapi disisi lain, dari sini lah muncul
sekulerisme. Paham ini kemudian banyak memberikan dampak terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang disandingkan dengan agama dan kepercayaan umat
manusia, termasuk kaum muslim di Indonesia, yang dalam penyelenggaran
pendidikannya masih menjadikan agama sebagai bingkai atau pijakan dasar dalam
membentuk subjek-subjek bangsa ini.
Asumsi dasar tentang manusia bahwa ia mempunyai kemampuan
fisik, psikis, dan spiritual yang bisa dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan
yang didapat dari pengalaman spiritual mampu membebaskan seseorang untuk
mengimplementasikan kemampuan memahami dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya
sehingga ia bebas memilih dan memberikan makna terhadap semua pengalaman dan
pengetahuannya. Pengalaman spiritual dapat menumbuhkan kecerdasannya,
menghidupkan kekeringan batin yag tidak bisa dibina hanya dengan rasionalitas
semata, tetapi melalui pengalaman yang prasyarat dan syarat pendakiannya
memerlukan kebersihan hati, supaya sifat-sifat keilahian terpancar dalam
seluruh kehidupannya.
Maka artinya, ciri khas sebagai
negara timur, Indonesia harusnya mampu mempertahankan aspek spiritual dalam
penyelenggaraan pendidikan. Dengan hal itu, dalam kurikulum, para peserta didik
tidak hanya dikepung dengan materi-materi rasionalitas empiris namun juga harus
mempertimbangkan aspek spiritualnya. Menghadirkan agama dan Tuhan dalam
penyelenggaraan pendidikannya. Dalam penyelenggaraannya tidak hanya pada
sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang memiliki latarbelakang agama namun
semua penyelenggara pendidikan baik swasta maupun negeri yang selama ini
terdikotomikan.
Pada
akhirnya penulis menarik kesimpulan, yang pertama negara harus menjamin akses
penyelenggaraan yang baik dan layak dan tidak ada perbedaan dalam artian
siapapun dapat menikmatinya. Negara, melalui pemerintah harus membuat regulasi
yang berpihak pada masyarakat yang lantas diimplementasi dengan baik dan tepat
saran untuk menjamin bagi yang tidak mampu dan belum dapat memenuhi untuk
menikmati penyelenggaran pendidikan yang baik dan layak. Kalau saja pemerintah
membuat langkah demikian maka dapat dikatakan pemerataan pendidikan akan
menjadi terealisasi dengan baik, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial
dan ekonomi dari masyarakat.
Jadi pendidikan tidak menjadi komoditi mudah
dikomersialisasikan bagi mereka-mereka yang kaya. Kedua, jangan sekali-kali
melupakan aspek spiritual dalam penyelenggaran pendidikan yang selama ini
terdikotomikan. Karena, aspek spiritual hal yang sangat penting ketika manusia
mentok (puncak frustasi) dalam hal rasionalitas dan empirisme, manusia dapat
mempertimbangkan spiritualnya sebagai daya tawar netralitas emosionalnya.
Penyelenggaraan pendidikan yang tidak menyentuh pengembangan aspek ini
menyalahi kodratnya dan menuju pada ketidakseimbangan kepribadian sebagai
manusia yang tidak hanya punya akal sebagai rasio namun punya hati sebagai
spiritualitasnya. Orang yang dapat mengemukakan pengalaman spiritualnya secara
ilmiah berarti mempunyai kemampuan menggabungkan pengetahuan dengan
keimanannya.
------
*Penulis merupakan
Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Internasional, FEB, UNSOED. Penulis juga
aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, antaranya pernah menjadi Ketua Umum di IMM
Unsoed pada tahun 2015, Ketua di Jaringan Mahasiwa Anti Korupsi 2014, Director
Development Project di Youth Developer Forum dan saat ini menjabat sebagai
Presiden di BEM FEB UNSOED.
Posting Komentar untuk "Hardiknas, Momentum Rekontruksi Pendidikan Nasional"