Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual


















Oleh : Talya Mahasiswa Jurusan Sosiologi 2017 (Anggota English Society of FISIP Unsoed)

Beberapa bulan belakangan ini, kasus kekerasan seksual sangat marak menghiasi kolom berita nasional, nampaknya secara bertubi – tubi, perempuan diberbagai penjuru tanah air menjadi korban kekerasaan seksual, tidak jarang korbannya adalah gadis dibawah umur ataupun penyandang disabilitas. Mulai dari kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) oleh rekan kuliahnya sendiri saat melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN), kasus pemerkosaan terhadap anak penyandang disabilitas berusia delapan belas tahun oleh ayah, kakak dan adik kandungnya sendiri, kasus lari dari rumah yang dilakukan seorang anak perempuan di Tasikmalaya karena dijodohkan secara paksa oleh keluarganya, bahkan kasus prostitusi artis VA yang sempat menyita perhatian publik untuk waktu yang cukup lama.


Kasus-kasus diatas hanya segelintir dari kenyataan yang terjadi di Indonesia. Faktanya menurut  Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tiga perempuan mengalami kekerasan seksual setiap dua jam. Lembaga yang sama juga mencatat telah terjadi setidaknya 15.000 kasus kekerasan seksual sejak tahun 2014-2016. Kondisi ini semakin menguatkan bahwa Indoensia saat ini memang tengah darurat kekerasan seksual.


Indonesia jelas membutuhkan regulasi khusus yang membahas mengenai perlindungan, pencegahan hingga penanggulangan kekerasan seksual karena undang-undang yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP masih lemah secara implementasi dan substansi. KUHP sendiri hanya membahas mengenai pemerkosaan dan pencabulan,. Definisi istilah tersebutpun masih sebatas kontak fisik. Padahal, kekerasan seksual tidak melulu terjadi dalam bentuk kontak fisik. Sistem hukumpun agaknya masih condong kearah melindungi pelaku. Terlihat dari lima ratus pasal yang mengatur mengenai keerasan seksual, hanya tiga pasal yang membicarakan hak-hak korban. Korban masih sering kali disalahkan dalam kasus pelecehan yang mereka alami, entah karena pakaian atau tindakan yang mereka lakukan saat kejadian berlangsung. Contohnya kasus yang dialami mahasiswi UGM. Banyak orang yang menyalahkan sang korban karena secara sadar mau bermalam bersama tersangka. Kasus itupun berujung damai dan tersangka tidak mendapatkan sanksi apapun.


Pada tahun 2017, ditetapkan  Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau yang dikenal dengan RUU PKS. RUU ini dengan cukup baik membahas mengenai hak korban, bentuk perlindungan bahkan hingga memaparkan sembilan bentuk kekerasan seksual, antara lain pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, eksploitasi seksual,  pemakasaan perkawinan, penyiksaan seksual dan perbudakan seksual. Selain itu, RUU PKS ini juga memberi perhatian terhadap pemaksaan melakukan hubungan seks dalam pernikahan, ketimpangan relasi kuasa, pendampingan hukum, psikologis dan psikososial kepada korban kekerasan seksual.


Namun sayangnya, pemerintah masih belum melihat urgensi dari pengesahan RUU PKS ini. RUU yang sudah berjalan selama dua tahun silam hingga kini belum juga disahkan, padahal secara jelas undang-undang pidana yang ada belum mampu memberikan perlindungan dan penanggulangan paska kejadian kekerasan seksual kepada para korban. RUU ini sangatlah penting karena rancangan undang-undang ini memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai penanganan terhadap korban, sehingga RUU ini dapat menjadi koreksi atas undang-hndang yang telah ada sebelumnya.

Posting Komentar untuk "Indonesia Darurat Kekerasan Seksual"