Representasi Perempuan Dalam Politik Indonesia
Penggambaran representasi perempuan dalam politik Indonesia (Cahunsoedcom / Adhytia Mahendra) |
Ketimpangan gender masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan, tidak
terkecuali di bidang politik. Hal ini tercermin jelas dalam rendahnya
keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia. Berdasarkan data Proyeksi
Penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia pada
2017, penduduk perempuan berjumlah 130,3 juta jiwa atau 49,75% dari populasi.
Namun, besarnya populasi perempuan tersebut tidak terepresentasi di dalam
parlemen. Proporsi perempuan di kursi DPR jauh lebih sedikit bila dibandingkan
dengan proporsi laki-laki. Hal ini sekaligus membuktikan masih derasnya
marginalisasi perempuan di sektor publik (Sugiarti,dkk; 2003: 58).
Salah satu hal yang kini diperjuangkan adalah adanya jaminan kuota perempuan
di pelbagai bidang kekuasaan negara. Pada 1994, Inter Parlementary Union
(IPU) merekomendasikan dalam badan eksekutif dan legislatif perekrutan
perempuan minimal 30%. Hadirnya perempuan dalam parlemen sangat penting karena
dapat memberikan otoritas untuk membuat kebijakan dalam mencapai hak-hak
perempuan.
Hal yang bekaitan dengan keterwakilan perempuan di parlemen memang menjadi
persoalan jangka panjang dan pelik. Pasca reformasi, telah dilakukan tindakan
afirmatif yang mewajibkan partai politik untuk memasukkan minimal 30% calon
legislatif perempuan dalam pemilu (Abdullah, 2016).
Upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di kursi DPR yakni dengan adanya
kuota 30% perempuan dalam peraturan KPU. Hal tersebut dijadikan syarat yang
harus dipenuhi oleh setiap partai politik pemilu. Kuota 30% perempuan diatur
dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik,
menyatakan bahwa pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30%
keterwakilan perempuan.
Sementara, pada pasal 2 ayat (5) menyatakan keterwakilan perempuan
sedikitnya 30% menjadi salah satu syarat dalam penyusunan kepengurusan partai
politik tingkat pusat. Hasilnya terbukti dengan keberhasilan dalam peningkatan
jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif.
Penelitian Lucius Carus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
(Formappi) memperoleh hasil bahwa dari 579 anggota DPR yang dilantik untuk
periode 2019-2024, 458 orang laki-laki dan 117 orang perempuan. Artinya,
prosentase jumlah anggota DPR laki-laki sebanyak 80% dan perempuan sebanyak
20%. Perolehan kursi perempuan ini mengalami peningkatan dari total kursi pada
periode sebelumnya. Namun, bertambahnya jumlah ini tidak sepenuhnya
meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Hasil riset seorang dosen
dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang bernama Iim
Halimatusa’diyah mengungkapkan, setidaknya ada tiga faktor mengapa tidak ada
efek yang signifikan dari partisipasi perempuan dalam politik.
Pertama, angka keterwakilan perempuan di parlemen tingkat kabupaten dan kota
di Indonesia masih rendah dan terdapat ketimpangan antar daerah. Hanya 26
(5,14%) DPRD yang mencapai keterwakilan perempuan 30% dan sisanya, 177,
memiliki keterwakilan antara 15% dan 30%.
Kedua, perempuan di parlemen seringkali tidak berada di posisi strategis
sebagai penentu kebijakan. Misalnya, studi yang dilakukan Puskapol UI
menunjukkan bahwa sekitar 40% anggota parlemen perempuan tidak pernah
terlibat dalam penyusunan anggaran. Wajar bila sangat sulit bagi perempuan
dapat terlibat dalam penentuan anggaran yang pro-perempuan dan anak.
Ketiga, secara personal, kualitas caleg yang terpilih juga berpengaruh
terhadap kinerja mereka. Banyak caleg perempuan yang terpilih adalah mereka
yang memiliki hubungan kekerabatan atau kekuasaan rujukan (reference power)
dengan elit politik, atau mereka yang sukses karena modal finansial dan
popularitas semata. Studi Puskapol UI menunjukkan bahwa dari 118 anggota DPR
yang baru saja dilantik, 41% berasal dari dinasti politik yang memiliki
hubungan kekerabatan dengan elit politik.
Peminggiran peran perempuan dalam kontestasi merupakan pengingkaran terhadap
nilai kemanusiaan. Deklarasi New Delhi 1997 menegaskan bahwa hak politik
perempuan harus dipandang sebagai bagian integral dari hak asasi manusia.
Artinya, tidak ada alasan untuk kita tidak mengakui dan memfasilitasi hak
politik perempuan.
Kurniawati Hastuti Dewi dalam bukunya Indonesian Women and Local
Politics (2015) menyebutkan bahwa agenda untuk mengakhiri praktik dominasi
laki-laki dalam perpolitikan nasional adalah membentuk sebuah jejaring gerakan
perempuan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Hal ini menjadi penting
mengingat selama ini gerakan perempuan cenderung terpecah-pecah oleh perbedaan
isu dan wacana yang diangkat.
Dalam lingkup yang lebih luas, diperlukan pula sebuah gerakan yang
membangkitkan kesadaran publik akan pentingnya praktik politik berbasis
keadilan gender. Persepsi publik bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang
tidak cocok dengan dunia politik mutlak harus diakhiri.
Ada beberapa hal yang menghambat peran kaum perempuan, seperti kurangnya
dukungan parpol terhadap perempuan. Secara lebih spesifik, sistem politik dan
partai-partai politik Indonesia dinilai sangat tidak peka gender. Adanya
persepsi yang menganggap perempuan hanya tepat menjadi ibu rumah tangga dan
tidak cocok untuk berperan aktif dalam fungsi publik di masyarakat, apalagi
aktor politik.
Very Wahyudi (2018) mengatakan akibat dari budaya patriarki tersebut adalah
anggapan bahwa kaum perempuan mempunyai kelemahan di bidang politik, bahkan
karena perempuan lebih diposisikan di belakang laki-laki. Partisipasi perempuan
dalam dunia politik tidak lebih dari sekedar pemberian hak pilih atau pemberian
suara pada pemilu. Pemikiran ini jelas sangat membatasi peluang perempuan untuk
berperan aktif di panggung politik.
Tidak hanya itu, kinerja partai politik di Indonesia pun dianggap sebagai
salah satu kendala terbesar terhadap peran serta perempuan. Penunjukan dan
pengangkatan tokoh perempuan di dalam partai politik kerap kali dihambat dan
ditentang. Hal ini dikarenakan struktur politik Indonesia yang dibangun di atas
jaringan eksklusif, yang didominasi oleh kaum lelaki.
Di samping itu, kurangnya transparansi dalam pemilihan pemimpin parpol
sangat membatasi peluang kaum perempuan dalam upaya mereka memposisikan diri
sebagai kandidat yang pantas. Loyalitas pribadi, korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) menjadi kumpulan penyakit yang menggerogoti sistem politik saat ini.
Keengganan parpol untuk memasukkan agenda perempuan juga menjadi salah satu
kendala besar.
Kurangnya sistem pendukung dan basis dukungan bagi kaum dan kelompok
perempuan juga disoroti sebagai kendala besar terhadap partisipasi politik
perempuan. Di samping itu, belum ada satupun organisasi yang bisa berperan
melakukan koordinasi pembentukan basis dukungan ini secara baik, termasuk
partai politik.
Minimnya dukungan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas kerja perempuan
di lembaga-lembaga politik, khususnya dalam upaya merekrut kader politik
perempuan. Terlebih lagi, rendahnya koordinasi antar kelompok yang bergerak
dalam urusan gender juga mempengaruhi tingkat kesiapan kaum perempuan. Oleh
karena itu, perlu adanya upaya untuk membentuk jaringan gerakan perempuan yang
melibatkan seluruh aspek masyarakat. Hal ini penting mengingat selama ini
gerakan perempuan sering kali dipisahkan oleh isu dan perbedaan cara bicara.
Dalam konteks yang lebih luas, kampanye juga diperlukan untuk meningkatkan
kesadaran publik akan pentingnya praktik politik berbasis gender (Setiawati,
2002). Namun, Siti Musdah Mulia,dkk (2005: 121) dalam bukunya yang berjudul
“Politik dan Perempuan” mengatakan bahwa tidak mudah mengubah kebijakan politik
maskulin yang sudah mapan selama ini.
Keterwakilan perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam membawa kepentingan
dan kebutuhan perempuan di dalam kebijakan. Namun, di lain pihak, sistem
politik dan parpol masih menjadi hambatan atas keterlibatan perempuan dalam
politik.
Penulis: Mg-Mashar Atmaja
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera
Sumber Pustaka
Pasaribu, C. Priadi. 2020. Perempuan Dan Partisipasi Politik. E-Jurnal. https://www.unja.ac.id/2020/05/08/perempuan-dan-partisipasi-politik/
(diakses: 13 Februari 2021).
2020. Membedah Representasi Perempuan Dalam Politik. E-Jurnal. https://www.ui.ac.id/membedah-representasi-perempuan-dalam-politik/
(diakses: 13 Februari 2021).
Irwansyah, dkk. 2013. Paradoks Representasi Politik Perempuan.
Depok: Puskapol UI
Karam, Azza dan Julie Ballington (ed-), Perempuan di Parlemen: Bukan
Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan
dan International Institute for Democracy and Electoral Assistance,
1999.
Posting Komentar untuk "Representasi Perempuan Dalam Politik Indonesia"