Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Royalti Musik dan Hak Cipta: Sebuah Persoalan


Ilustrasi Hari Musik Sedunia (Cahunsoedcom / Nadinta Zulfa)

 Royalti musik menjadi salah satu topik yang sempat hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. Hal tersebut lantaran pemerintah telah mengeluarkan PP No. 56 Tahun 2021 mengenai Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu atau Musik. Padahal, persoalan konsep royalti ini sebelumnya sudah diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 yang membahas mengenai Hak Cipta. Barulah pada awal tahun 2021, pemerintah mengeluarkan aturan yang lebih rinci mengenai tata kejelasan distribusi pendapatan royalti kepada pencipta musik di tanah air. Tentu saja aturan ini menjadi angin segar bagi para pencipta musik sebab pada akhirnya pemerintah telah merumuskan secara rijit teknisan mengenai royalti. Lalu, bagaimana sih pendistribusian pendapatan royalti itu?

Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014, royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Pengelolaan pengumpulan royalti ini dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang merupakan lembaga bantu pemerintah non APBN. LMKN berwenang untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti. Kemudian, di bawah LMKN terdapat Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang merupakan institusi berbadan hukum nirlaba dengan tugas mendistribusikan royalti. Terdapat banyak sekali LMK di Indonesia yang memberikan wadah kepada para pencipta musik. Pada dasarnya, untuk mendapatkan royalti pencipta musik harus mendaftarkan diri mereka ke LMK yang sudah mendapat izin operasional oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketika sudah menjadi anggota pada salah satu LMK, pencipta musik atau pemegang hak cipta musik akan mendapatkan jaminan pembayaran royalti dari LMK tersebut.

Dikeluarkannya PP No. 56 Tahun 2021 sempat membuat masyarakat bingung karena terdengar isu burung bahwa musik tidak dapat lagi di dengar secara bebas dan justru harus membayar besaran biaya tertentu, padahal mereka hanya mendengarkan musik. Perlu kita ketahui, terdapat tiga jenis copyright atau hak cipta pada dunia musik. Pertama, yaitu mechanical licensey yang merupakan hak cipta musik pada platform-platform seperti YouTube dan Spotify. Kedua, yaitu synchonization licence yang merupakan hak cipta musik pada sinetron, film, dan sebagainya yang mana musik digunakan sebagai backsound dari suatu karya visual. Ketiga, yaitu performance license yang merupakan hak cipta ketika musik dimainkan di radio, televisi, restoran, kafe, maupun konser. LMK sendiri mengelola royalti pada performance license, yaitu penarikan biaya pada musik yang diputar di ruang publik. Sementara itu, kebingungan masyarakat pun terdapat pada poin ketiga yaitu apakah pelanggan atau pengunjung suatu bisnis komersil yang mendengarkan musik harus membayar royalti?

Berdasarkan PP No. 56 Tahun 2021, pembayaran royalti musik tidak dilakukan oleh pengunjung dari suatu bisnis komersil melainkan dilakukan oleh pelaku bisnis komersil itu sendiri. Bisnis komersil yang dimaksud yaitu seperti hotel, restoran, kafe, karaoke, bioskop, dan klub malam. Penggunaan musik untuk kepentingan komersil harus mengajukan laporan kepada LMKN untuk membayar royalti sesuai dengan penggunaan musik yang digunakan. Contoh aturan mengenai pembayaran royalti yang telah ditetapkan LMKN yaitu pada restoran dan kafe harus membayar royalti pencipta sebesar Rp60.000 per kursi tiap satu tahun. Selain itu, pada diskotik dan klub malam harus membayar royalti pencipta sebesar Rp250.000 per m² tiap satu tahun. Oleh karenanya, pelanggan atau pengunjung tidak perlu membayar royalti musik yang mereka dengar pada tempat bisnis komersil karena tagihan tersebut ditujukan kepada pemilik venue.

Bagi pencipta musik sendiri adanya aturan ini memberikan kejelasan mengenai pendapatan royalti dan mendapatkan hak kekayaan intelektual mereka secara pasti. Bahkan, pada aturan baru tersebut disebutkan bahwa pencipta musik yang belum terdaftar pada LMK, royaltinya akan disimpan dan diumumkan oleh LMKM selama dua tahun. Transparansi itu tentu saja membantu pencipta musik untuk mendapatkan hak mereka. Di sisi lain, masih ditemukannya pencipta musik yang tidak mengetahui pendapatan royalti menjadi permasalahan yang tak kunjung usai, entah karena sosialisasi yang tidak merata, alur yang rumit, atau sistem yang bekerja.

 

Reporter: Utera Fijar Adha

Penulis: Utera Fijar Adha

Editor: Laely Arifah Zannuba

Posting Komentar untuk "Royalti Musik dan Hak Cipta: Sebuah Persoalan"