Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemerintah Melancarkan Proyek Industri di Tengah Ancaman Krisis Iklim

Masih banyak orang belum menyadari akan bahaya perubahan iklim global apabila terus dibiarkan berlanjut tanpa ada penanganan yang serius. Dampak krisis iklim ini sangat kompleks seperti cuaca ekstrem, permasalahan ekonomi, degredasi kerusakan lingkungan, hingga bencana alam. Salah satu yang banyak disoroti media dari dampak krisis iklim global yakni isu prediksi tenggelamnya kota Jakarta. Isu tersebut semakin ramai ketika Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, melontarkan pernyataan mengenai persoalan ini dalam sebuah pidato. Joe Biden mengatakan bahwa, “Bila perubahan iklim yang ekstrem terjadi di dunia ini, maka Jakarta akan terancam tenggelam dalam 10 tahun ke depan.”
Pidato Biden sebenarnya bukan lagi sebatas isu belaka, melainkan persoalan yang benar-benar sudah terjadi. Berdasarkan data BNPB, sebanyak 1.677 kejadian bencana alam terjadi di Indonesia pada periode 1 Januari hingga 5 Agustus 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 676 kejadian atau 40,3% merupakan bencana banjir.


Daerah pesisir terus mengalami kenaikan permukaan laut sepanjang abad ke-21 sehingga banjir pantai lebih sering dan parah di daerah dataran rendah dan erosi pantai. Greenpeace menilai bahwa banjir karena kenaikan air laut adalah efek dari produksi emisi yang berkontribusi terhadap pemanasan global sehingga perlu kebijakan pemerintah. Greenpeace juga mendesak agar pemerintah dan perusahaan segera mengatasi krisis iklim, misalnya dengan menghentikan pemakaian batu bara dan melakukan transisi ke energi terbarukan. Bertolak belakang dengan pernyataan Greenpeace, pemerintah justru makin pesat melakukan ekspansi industri di berbagai wilayah Indonesia seperti pembangunan PLTU Batubara di Batang dan proyek food estate.

Pembakaran batubara di PLTU menjadi salah satu penyebab utama pemanasan global dan juga krisis iklim. Salah satunya yaitu warga di sekitar PLTU Batang yang sudah berjuang menolak pembangunan PLTU ini selama 10 tahun terakhir sejak adanya wacana pembangunan PLTU Batang. Aksi demi aksi dilakukan oleh warga hingga berupaya mengadu ke berbagai kementerian, tetapi hasilnya tetap saja nihil. Pembangunan PLTU Batang masih berlangsung sampai detik ini. Pasalnya, pembangunan PLTU yang ditargetkan beroperasi awal tahun 2022 ini merampas tanah dan hak hidup warga. Terlebih sangat berdampak terhadap lingkungan dan sosial yang ditimbulkan dari berdirinya PLTU Batang.

Sementara negara lain berlomba-lomba untuk mengurangi ketergantungan terhadap batubara, Pemerintah Indonesia justru malah terus berupaya membangun PLTU. PT PLN (Persero) memproyeksikan pada 2022 mendatang akan ada penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 5.000 mega watt (MW) di Jawa, Madura, dan Bali, berasal dari beberapa pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/ IPP).
Lain halnya di sektor industri pangan, pemerintah mengeluarkan kebijakan mitigasi krisis pangan berupa proyek food estate. Proyek ini merupakan program strategis nasional (PSN) yang lokasinya diduga akan berada di hutan lindung. Alhasil, proyek ini malah menjadi ancaman krisis pangan dan perubahan iklim di masa depan. Padahal, mulai 22 April 2021 hingga lima tahun kedepan, Indonesia sedang melangsungkan kebijakan Nationally Determined Contribution (NDC) guna menurunkan emisi gas rumah kaca, kondisi pemanasan yang terjadi ketika atmosfer memerangkap radiasi panas dari bumi ke luar angkasa dan dihitung dengan satuan standar bernama CO2e. Menurut kebijakan NDC, ada lima sektor yang ditetapkan harus menurunkan emisi, yaitu sektor kehutanan (17.2%), energi (11%), pertanian (0,32%), industri (0.10%) dan limbah (0,38%).

Dikutip dari data Yayasan Madani Berkelanjutan, lebih dari 1,57 juta hektar hutan alam dalam area food estate tersebar di empat provinsi, yakni, Kalimantan Tengah, Papua, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Area ini disebut AoI, terluas di Papua sekitar 1,38 juta hektar. Ada sekitar 1,4 juta hektar atau 40% ekosistem gambut berada di AoI food estate pada empat provinsi, paling luas di Papua (87.8%) dan Kalimantan Tengah (9,4%). Lebih dari setengah atau 51,4% itu hutan alam. Rinciannya, 582.000 hektar gambut lindung dan 838.000 hektar budidaya. Jika proyek ini terus berlanjut, maka akan terjadi deforestasi yang dapat menyebabkan pelepasan karbon ke bumi sehingga meningkatkan perubahan suhu bumi dan risiko kebakaran hutan. Sebenarnya, hutan berperan menyerap racun karbon dioksida hasil pencemaran, mengubahnya menjadi oksigen, membantu menciptakan hujan, kemudian menjadi habitat bagi berbagai jenis satwa yang penting untuk mendukung kehidupan manusia.

Kedua persoalan di atas hanyalah sebagian dari ekspansi industri yang tengah berlangsung di Indonesia. Sudah jelas bahwa segala bentuk industri yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup harus segera dihentikan. Pemerintah harus mengaktulisasikan kebijakan secara konsisten mengenai pelestarian lingkungan. Tak hanya itu, masyarakat juga mampu berperan aktif menjaga kelestarian lingkungan. Jika tidak ada sinergitas dari keduanya, semua akan berimbas pada kelangsungan makhluk hidup terutama pada generasi mendatang.


Referensi:
Greenpeace. 10 Tahun Perlawanan Warga Batang Terhadap PLTU 2021. https://act.greenpeace.org/page/90294/petition/1?ea.tracking.id=r86849w3
Indoprogress. Perubahan Iklim dalam Bingkai Food Estate. 2021. https://indoprogress.com/2021/05/perubahan-iklim-dalam-bingkai-food-estate/
Tempo.co. Begini Efek Domino bila Jakarta Tenggelam. 2021. https://bisnis.tempo.co/read/1496691/begini-efek-domino-bila-jakarta-tenggelam/full&view=ok


Penulis: Laely Arifah Zannuba
Editor: Anisa P M C
(Reportase tindak lanjut lokakarya: Digitalisasi Media Pers Mahasiswa yang diselenggaran oleh PPMI Nasional)

Posting Komentar untuk "Pemerintah Melancarkan Proyek Industri di Tengah Ancaman Krisis Iklim"