Jangan Disepelekan! Perlindungan Korban dan Penegakkan Hukum Pelecehan Seksual Harus Digalakkan
Akhir tahun 2021 hingga kini banyak ditemukan berita mengenai kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan. Pelecehan seksual yang sering terjadi belakangan ini, mulai dari pelecehan yang dilakukan oleh orangtua, teman, bahkan guru, dosen, dan lainnya. Miris memang ketika kita melihat pelecehan seksual terus terjadi, lebih mirisnya kasus pelecehan seksual yang terjadi tidak melulu dipandang sebagai masalah yang penting. Banyak masyarakat yang melakukan tindakan victim blaming. Masyarakat menyalahkan korban yang dianggap memakai pakaian yang terlalu terbuka sehingga merangsang si pelaku. Hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan sebab berdasarkan data yang dilansir dari detiknews (2019), hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menyimpulkan bahwa pakaian terbuka yang dikenakan perempuan tidak menjadi penyebab pelecehan seksual. Dari hasil survei tersebut juga memperhatikan bahwa 17% korban pelecehan seksual mengenakan pakaian tertutup.
Dilansir dari media liputan6.com, pemilihan
diksi yang dipakai dalam judul tersebut menyatakan bahwa pelecehan seksual
terjadi karena korban mengenakan pakaian seksi dan memprovokasi pelaku. Hal itu
tentu dapat menggiring opini masyarakat hingga peluang terjadinya victim
blaming semakin besar.
Tidak
sampai di situ, media juga tidak jarang menggunakan pemilihan kata atau redaksi
yang diperhalus sehingga kasus pelecehan atau kekerasan seksual tidak terlihat
sebagai tindakan kriminal, diksi yang dipilih juga tidak jarang kurang sesuai
dengan kronologi yang terjadi. Hal itu seringkali menggiring atensi masyarakat
dan juga terkesan melindungi perbuatan yang dilakukan oleh tersangka. Sebagai
contoh, bahkan media sosial yang dimiliki oleh instansi kepolisian Republik
Indonesia sendiri juga pernah menggunakan diksi hubungan suami istri untuk
menggantikan kata pemerkosaan pada kasus pemerkosaan pada tahun 2021 kemarin.
Selain itu, dilansir dari media lain yaitu Tribunnews.com yang juga menaikkan berita dengan redaksi yang diperhalus. Terdapat kata rudapaksa dan disetubuhi, yang sebenarnya kejadian tersebut lebih tepat dikatakan sebagai pemerkosaan.
Pemilihan diksi dalam berita tersebut membuat korban merasa tidak mendapat dukungan dari banyak pihak terutama dari pihak jurnalis yang notabenenya memiliki pengaruh besar dalam menggiring opini masyarakat. Bahkan di media sosial terdapat komentar yang menghakimi korban dengan menyatakan bahwa korban “melakukan” atas dasar persetujuan dengan dasar aborsi yang sudah kedua kalinya. Komentar tersebut cukup banyak dilontarkan oleh para netizen, salah satunya pada postingan kasus Novia Widyasari di akun Instagram intoday.media.
Melihat dari berita lain, kesan disalahkan dan difitnah membuat korban semakin terpuruk, korban merasa takut sehingga menyalahkan dirinya sendiri. Beberapa ketakutan yang dialami korban juga tercantum dalam hasil survei kami, LPM Solidaritas Fisip Unsoed, seperti takut disudutkan, merasa tidak berguna dan tidak percaya diri, serta masih banyak lainnya.
Victim blaming
dapat membuat korban terbawa akan opini publik yang menyalahkan korban sehingga
seringkali korban merasa bahwa semua tuduhan yang diberikan kepadanya merupakan
sebuah fakta yang tidak terbantahkan.
Dalam Sosietas Jurnal Pendidikan Sosiologi oleh Shopiani juga disebutkan
beberapa dampak dari victim blaming. Salah satunya adalah korban merasa
malu dan pelecehan seksual yang dialaminya dirasa sebagai sebuah aib. Dalam
temuan wawancara dengan salah satu korban yang mencoba mengungkap dan mencari
keadilan atas pelecehan seksual yang dialaminya, ia justru mendapat komentar
yang menyebut bahwa dirinya tidak punya malu karena mengumbar aib sendiri. Dampak selanjutnya, yaitu korban takut
melaporkan kasus pelecehan seksual, memendam penderitaannya sendiri, depresi,
melakukan percobaaan bunuh diri, dan trauma terhadap masa depan. Begitu
berpengaruhnya victim blaming bagi psikologis korban pelecehan seksual,
oleh karena itu sebaiknya ketika kita tidak dapat memberi dukungan maka jangan sampai
membebani korban.
Besarnya kerugian yang didapat oleh para
korban kejahatan seksual ini nyatanya tidak sebanding dengan hukuman para pelaku.
Di Indonesia sendiri hukum yang mengatur tentang kejahatan seksual entah
pelecehan seksual atau kekerasan seksual cenderung masih lemah. Hukum yang ada
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menyatakan istilah pelecehan
seksual melainkan perbuatan cabul. Pelecehan seksual dapat dijerat menggunakan
pasal percabulan, yaitu Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP dengan hukuman paling
lama 5 tahun penjara. Hukum ini tentunya masih tergolong lemah dibandingkan
dengan negara lain, seperti Filipina. Filipina bahkan memiliki Undang-Undang
Anti-Pelecehan Seksual yang ada sejak tahun 1995. UU ini terutama diberlakukan
untuk melindungi dan menghormati martabat para pekerja, karyawan, pelamar kerja
hingga pelajar di masing-masing institusi pendidikan atau pusat-pusat
pelatihan. Maka dari itu sangat diperlukan akan pengesahan RUU PKS 2021 untuk
menjadi dasar hukum pelecehan seksual.
Penulis: Mg-Dewi Sri Rahayu, Mg-Wilda Ayu Nurfaiza
Editor:
Anisa P M C
Posting Komentar untuk "Jangan Disepelekan! Perlindungan Korban dan Penegakkan Hukum Pelecehan Seksual Harus Digalakkan"