Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pajak Pertambahan Nilai 11%, Masyarakat : Negara Gak Pernah Ada Feedback

 

Ilustrasi Pajak Penambahan Nilai 11% (Cahunsoedcom/Elline Ivana)

Ilustrasi Pembredelan Pers IAIN Ambon (Cahunsoedcom/Bunga Septiana L.)

Mulai 1 April 2022, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari 10% menjadi 11%. Kenaikan PPN diatur melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kinerja penerimaan pajak salah satunya adalah dengan pemberlakuan PPN 11% tersebut.

Dengan pemberlakuan PPN 11%, diharapkan dapat memperbaiki defisit APBN hingga ke level 3% pada tahun 2023 mendatang. Fondasi pajak yang kuat tersebut pun akan mengoptimalkan penerimaan negara sehingga peningkatan kesejahteraan, keadilan, serta pembangunan sosial bagi masyarakat dapat tercipta.

Barang dan jasa yang dikenakan PPN 11% di antaranya adalah aset kripto, layanan Fintech, mobil bekas, penyaluran LPG nonsubsidi, tarif paket internet, layanan perbankan, barang elektronik, produk tekstil, perlengkapan kebersihan, produk alas kaki, tas dan aksesoris, rumah/hunian, hingga listrik rumah tangga.

Sementara itu, barang dan jasa bebas PPN sesuai UU HPP di antaranya adalah sembako seperti beras, sayur, buah, telur, daging, dan susu. Penyelenggaraan pendidikan dalam dan luar sekolah serta buku pelajaran pun termasuk dalam jasa bebas PPN. Tidak hanya itu, listrik di bawah 6600 VA, air bersih, jasa angkutan umum, vaksin, layanan kesehatan seperti layanan dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, hingga layanan rumah sakit biasa dan rumah sakit bersalin pun termasuk dalam jasa bebas PPN.

Di sisi lain, kenaikan PPN menjadi 11% memicu pro kontra di tengah masyarakat. Beberapa pihak khawatir dengan adanya kenaikan tarif PPN justru dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Dampak yang paling terasa bagi masyarakat dengan ditetapkannya PPN 11% ini adalah dampak ekonomi karena naiknya harga-harga barang primer, sekunder, dan tersier, terutama harga barang pokok. Masyarakat yang kontra pun mengatakan bahwa mereka tidak mendukung kenaikan PPN menjadi 11%, salah satunya karena mereka sudah membayar pajak, tetapi negara tidak pernah memberi feedback, seperti banyak jalan yang masih rusak.

“Tidak (mendukung), karena kita juga sudah banyak bayar pajak, tapi negara nggak pernah ada feedback. Masyarakat disuruh bayar pajak tertib, tapi negara malah tidak tertib. Kayak misalnya bayar pajak motor tertib, tapi jalan menuju rumah saya itu masih banyak yangrusak,” ujar Zhafran, mahasiswa UNY saat diwawancarai Jumat (22/4).

Sementara itu, beberapa masyarakat yang pro dengan kenaikan PPN menganggap hal tersebut untuk kebaikan bersama, seperti perbaikan fasilitas hingga pemulihan ekonomi Indonesia setelah dampak pandemi Covid-19.

Masyarakat, khususnya para pelaku usaha, berharap pemerintah mengambil langkah penambahan modal agar usaha mereka berjalan dengan baik. “Paling itu penambahan modal, efek paling signifikan (agar usaha berjalan dengan baik),” tutur Timbul, pemilik Toko Sembako ‘Nisa’ Jalan Kampus, saat diwawancarai Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solidaritas.

Menurut masyarakat, sosialisasi dari kenaikan PPN 11% sudah berjalan cukup baik. Berdasarkan olah data survei LPM Solidaritas, sebanyak 83,3% mengetahui bahwa terdapat kenaikan pajak, sedangkan 16,7% nya tidak mengetahui. “Kalau soal sosialisasi sih dari pemerintah sudah ada di berita-berita televisi dan bisa dibilang sosialisasi sudah terlaksana cukup baik, cuma hasilnya ya kita nggak tahu,” ujar salah satu responden.

Di sisi lain, terdapat masyarakat yang memiliki keresahan terkait sosialisasi kenaikan PPN 11%. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa yang tidak mengetahui berita tersebut adalah masyarakat kalangan bawah, karena mereka tidak atau jarang bersentuhan dengan televisi maupun HP. 


Penulis: Salsabilla Silky Osindri

Editor: Anisa PMC, Silvia Sulistiara

Posting Komentar untuk "Pajak Pertambahan Nilai 11%, Masyarakat : Negara Gak Pernah Ada Feedback"