Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesetaraan Gender dan Stereotip Sosial terhadap Perempuan

 

Cahunsoedcom/Indah Setiowati


“Banyak emansipasi wanita bukanlah untuk persamaan derajat, emansipasi adalah pembuktian diri yang seimbang antara raga yang tangguh, namun hati senantiasa patuh. Emansipasi ada penerimaan. Penerimaan diri bahwa setiap tempat ada empu yang dikodratkan dan dipantaskan.” - RA Kartini


Indonesia memperingati 21 April sebagai Hari Kartini setiap tahunnya. Hari Kartini diperingati sebagai bentuk penghormatan kepada Ibu Kartini yang telah memperjuangkan hak kesetaraan gender perempuan di Indonesia pada masanya. Sosok perempuan bernama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau kerap disapa R.A. Kartini menjadi pelopor emansipasi perempuan yang mencetuskan lahirnya kesetaraan gender dan kelas sosial. Sebagai pencetus gerakan emansipasi perempuan, Kartini menjadi sumber inspirasi perjuangan perempuan yang menginginkan kebebasan dan persamaan status sosial.

Konsep kesetaraan gender yang dipelopori oleh Kartini pada 1908 berkaitan erat dengan isu gender masa kini. Kesetaraan adalah sebuah istilah yang lahir sebagai sebuah perlawanan terhadap isu diskriminasi sosial dalam kehidupan masyarakat. Konsep ini dibangun untuk meruntuhkan penindasan, dalam konteksnya yaitu gender. Gender diartikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (Fakih, 2008).

Namun, pada kenyataannya masih banyak yang menyamakan arti dari gender dengan jenis kelamin. Bicara dari sisi kodrati, jenis kelamin berkaitan langsung dengan karakter dasar fisik serta fungsi manusia, mulai dari kadar hormon, kromosom, serta bentuk organ reproduksi yang tidak dapat ditukarkan. Kodrati perempuan adalah menstruasi, mengandung anak, melahirkan, dan menyusui, sementara kodrati laki-laki adalah membuahi. 

Sementara itu, gender adalah sesuatu baik sifat maupun peran yang dilekatkan pada jenis kelamin. Misalnya pada perempuan adalah mendidik anak, merawat kebersihan rumah, dan mengurus rumah tangga, sedangkan pada laki-laki seperti menjadi pemimpin dan mencari nafkah. Dalam pengertian ini, terlihat jelas perbedaan dari gender dan jenis kelamin, di mana jenis kelamin bersifat kodrati dan tidak bisa diubah, sedangkan gender adalah konstruksi sosial yang menyertainya. 

Adanya konstruksi sosial pada gender dapat mengakibatkan ketidakadilan bagi salah satu jenis kelamin. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih menganut budaya patriarki menganggap bahwa perempuan sebagai subordinat. Subordinasi perempuan ini diartikan sebagai penomorduaan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki sehingga kedudukannya dianggap lebih rendah. Anggapan tersebut memunculkan ketidakadilan yang lebih banyak dialami oleh perempuan. 

Tri Wuryaningsih, selaku Dosen Sosiologi Fisip Unsoed yang juga berperan aktif sebagai seorang aktivis gender dan anak, menyampaikan pendapatnya bahwa secara substansial, ketidakadilan yang dialami oleh perempuan ini diperjuangkan oleh aktivis gender. Dengan adanya konstruksi sosial dapat mengakibatkan ketidakadilan bagi salah satu jenis kelamin karena perempuan dianggap lemah sehingga tidak cocok untuk menjadi pemimpin sementara laki-laki berperan sebagai pencari nafkah. Konstruksi sosial ini membuat perempuan mengalami ketidakadilan. Kesetaraan harus diperjuangkan karena terdapat ketidakadilan yang dirasakan oleh salah satu jenis kelamin, yaitu perempuan. 

Adanya konstruksi sosial kemudian melahirkan berbagai macam stereotip terhadap perempuan. Stereotip sosial adalah suatu kecenderungan dari seseorang atau kelompok orang untuk menampilkan gambar atau gagasan yang keliru (false idea) mengenai sekelompok orang lainnya (Sobur, 2013). Stereotip sosial terhadap perempuan acap kali dikaitkan dengan pandangan bahwa perempuan tidak sekuat atau sekompeten laki-laki. Stereotip ini dapat menghalangi emansipasi yang dilakukan oleh perempuan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, karier, dan partisipasi politik.

Kebebasan peran perempuan dalam kehidupan saat ini masih belum sepenuhnya merdeka. Hal tersebut ditunjukan dengan melihat kondisi riil dari fakta ketidakadilan gender pada representasi perempuan dalam lembaga pengambilan keputusan yang masih minim.  Berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI (KPU, 2019). Perempuan yang memasuki dunia politik sering mendapat pandangan negatif dari masyarakat karena perempuan dianggap mengadopsi sifat-sifat dan peran-peran laki-laki. Ditambah stereotip bahwa perempuan tidak lebih baik dari laki-laki untuk menjadi pemimpin.

Namun, di sektor pendidikan persentase tingkat pendidikan perempuan di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun. Adapun persentase perempuan yang menamatkan jenjang perguruan tinggi mencapai 10,06 persen pada tahun 2021 sementara laki-laki memiliki persentase sebesar 9,28 persen. Artinya, hampir 10 dari 100 perempuan berusia 15 tahun ke atas di Indonesia berhasil meraih ijazah perguruan tinggi. Sayangnya, masih terdapat stereotip terhadap perempuan yang berpendidikan tinggi. Kerap terdengar stigma mengenai perempuan yang hanya akan mengurus rumah tangga, sehingga pendidikan yang tinggi tidak diperlukan. 

Artinya, dalam konteks kebebasan, perempuan masih belum sepenuhnya merdeka karena masih dibelenggu oleh stereotip dan konstruksi sosial yang sudah ada sejak dahulu dan diturunkan dari generasi ke generasi melalui berbagai agen. Hal tersebut didukung oleh Indeks Ketimpangan Gender (IKG) nasional tahun 2021 sebesar 0,390 yang mencerminkan bahwa kerugian atau kegagalan pencapaian pembangunan manusia akibat dari adanya ketidaksetaraan gender sebesar 39 persen. 

Konstruksi sosial pada gender dan stereotip sosial terhadap perempuan akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk berubah dari pola pikir yang masih patriarki. Oleh karena itu, penting untuk menanggulangi stereotip sosial terhadap perempuan dan memaknai kesetaraan gender yang sebenarnya, di mana perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan bakat dan kemampuan mereka terlepas dari kodrati yang dimiliki. 


Referensi

Badan Pusat Statistik. (2022). Kajian Penghitungan Indeks Ketimpangan Gender 2022. BPS RI.

https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/seks-gender-dan-konstruksi-sosial

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13859/Kartini-dan-Kesetaraan-Gender-No-One-Left-Behind.html

https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/peringatan-hari-perempuan-internasional-2022-dan-peluncuran-catatan-tahunan-tentang-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan

https://goodstats.id/article/status-pendidikan-perempuan-indonesia-lebih-banyak-tamatkan-perguruan-tinggi-daripada-laki-laki-dyanS#:~:text=Berselisih%20tipis%2C%20status%20pendidikan%20perempuan,65%20persen%20pada%20tahun%202021.


Penulis: Fadhila Salma Arzetti

Editor: Insi Faiqoh Setyaningrum


Posting Komentar untuk "Kesetaraan Gender dan Stereotip Sosial terhadap Perempuan"