Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kepanitiaan Mahasiswa: Peluang Belajar atau Beban Finansial?

Cahunsoedcom/Nur Zakiyatul

Fenomena menjamurnya kepanitiaan mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) hampir terjadi setiap tahun. Bahkan, dalam satu tahun bisa lebih dari sepuluh kepanitiaan yang dibuka untuk mahasiswa dari semua fakultas di Unsoed. Kepanitiaan yang mahasiswa buat sangat beragam dan tentunya menawarkan manfaat yang menarik, sehingga antusiasme mahasiswa untuk bergabung tinggi. Biasanya, kepanitiaan yang dibentuk mahasiswa disesuaikan dengan esensi organisasi yang menaungi. Misalnya, kepanitiaan lomba sepak bola antarfakultas dirancang oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sepak bola.

Kepanitiaan menjadi opsi yang menarik bagi mahasiswa di tengah dinamika kesibukan akademik dan berorganisasi. Waktu yang ditawarkan kepanitiaan relatif singkat, tidak seperti organisasi yang dalam satu periode bisa berlangsung sampai satu tahun. Lama tidaknya suatu kepanitiaan biasanya ditentukan oleh banyak faktor. Seringkali, masalah utama yang memengaruhi lamanya kepanitiaan adalah keuangan. Kepanitiaan mahasiswa biasanya hanya diberikan modal kecil oleh organisasi yang menaunginya. Oleh karena itu, dalam struktur kepanitiaan harus dibuat divisi yang bertugas mencari dana tambahan.

Dalam proses mencari dana tambahan untuk modal acara, panitia akan memutar otak untuk menjalankan berbagai metode efektif guna mencapai target yang ditentukan. Namun, ironisnya terkadang panitia memikirkan cara pragmatis untuk mencapai target pendapatan dengan lebih cepat, yaitu dengan cara memeras mahasiswa yang menjadi panitia. Alih-alih menjadi tempat untuk belajar, lama kelamaan kepanitiaan justru menjadi tempat pemerasan mahasiswa. Hal ini terjadi karena kurang efektifnya metode yang diterapkan dalam mencari dana untuk modal acara.

Contoh pemerasan sering terjadi ketika berjalannya Usaha Dana (Usda), sering kali panitia menerapkan sistem denda kepada panitia yang tidak dapat menjual atau lupa untuk mempromosikan jualannya di media sosial. Terkadang metode yang dilakukan juga meminta panitia untuk menyumbangkan kebutuhan sandang mereka seperti baju, kemeja, dan celana untuk dijual. Lalu uang dari hasil penjualan dimasukkan untuk dana tambahan acara.

Kondisi yang sangat memprihatinkan terjadi ketika mahasiswa yang menjadi panitia harus menerima pemerasan akibat metode pencarian dana yang tidak efektif, bahkan mereka harus rela ketika kebutuhan sandang mereka dipertaruhkan demi berjalannya kepanitiaan. Metode seperti ini terjadi pada beberapa kepanitiaan mahasiswa, baik itu kepanitiaan fakultas maupun universitas. Sangat disayangkan ketika budaya mencari uang yang kurang etis seperti ini terus diterapkan dalam suatu kepanitiaan, karena akan menurunkan eksistensi kepanitiaan mahasiswa.

Pada intinya, sama seperti berorganisasi, kepanitiaan merupakan tempat yang baik bagi mahasiswa untuk berkembang dan belajar banyak hal. Harapan ke depannya untuk kepanitiaan mahasiswa adalah agar panitia bisa lebih kreatif dalam menciptakan ide-ide yang lebih variatif dan efektif untuk mencari dana tambahan tanpa melakukan pemerasan terhadap panitia. 

Terlalu naif jika seorang mahasiswa memikirkan cara yang sangat pragmatis bahkan sampai mengorbankan kebutuhannya sendiri untuk mencapai tujuan bersama. Sebagai tempat belajar, kepanitiaan seharusnya menjadi lingkungan yang mendukung dan menginspirasi, bukan menjadi beban yang memeras dan memanfaatkan anggotanya. Mahasiswa perlu didorong untuk inovatif dan kreatif, sehingga kepanitiaan bisa benar-benar menjadi wadah pengembangan diri yang positif.


Penulis: Septiyo Rizki 



Posting Komentar untuk "Kepanitiaan Mahasiswa: Peluang Belajar atau Beban Finansial?"