Krisis Demokrasi: Ketika Kekerasan Aparat Merenggut Kebebasan Berpendapat
Cahunsoedcom/Wadhhah Afifah |
Kebebasan sipil merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 28E ayat 3 bahwasanya setiap warga negara Indonesia berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat serta dijamin oleh konstitusi, sebagai bagian dari komitmen terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, beberapa tahun terakhir muncul kekhawatiran tentang ancaman terhadap kebebasan sipil. Laporan mengenai penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi atau militer terhadap demonstran, aktivis, dan masyarakat sipil sering kali menjadi sorotan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kekerasan aparat telah menjadi ancaman serius bagi ruang kebebasan sipil di Indonesia.
Kekerasan oleh aparat terhadap masyarakat kerap kali terjadi ketika aksi protes atau demonstrasi. Banyak kasus kekerasan terjadi ketika warga sipil, terutama aktivis, mahasiswa, atau kelompok masyarakat, berusaha menyuarakan pendapat mereka terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya, dalam beberapa protes besar terkait kebijakan Omnibus Law, serta dalam aksi unjuk rasa Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banyumas yang dilakukan pada 23 Agustus 2024 silam. Aksi tersebut berlangsung tidak kondusif karena terjadi adanya tindakan represif aparat yang menyebabkan banyak massa aksi terluka. Banyak mahasiswa yang menjadi korban mengalami luka serius, sehingga mereka harus mendapatkan perawatan medis darurat.
Sikap represif aparat ini mengindikasikan adanya kecenderungan pemerintah untuk mengekang kebebasan berekspresi dengan dalih menjaga stabilitas. Tindakan ini tidak hanya melanggar HAM, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan di kalangan masyarakat sipil. Akibatnya, banyak warga yang menjadi enggan untuk berpartisipasi dalam diskusi publik atau menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah.
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kekerasan aparat adalah budaya impunitas. Pelanggaran yang dilakukan oleh aparat jarang mendapat sanksi yang setimpal. Hal ini memperkuat persepsi dan pemikiran dalam individu bahwa aparat dapat bertindak sewenang-wenang tanpa ada konsekuensi hukum yang sepadan. Kurangnya akuntabilitas ini memicu siklus kekerasan yang terus berulang dan semakin mempersempit ruang kebebasan sipil.
Kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap masyarakat sipil mengancam fondasi demokrasi di Indonesia, terutama dalam hal perlindungan kebebasan sipil. Melanggengkan adanya tindakan represif tanpa adanya reformasi yang serius dalam institusi keamanan dan penegakan hukum, maka akan semakin sulit bagi masyarakat untuk mengekspresikan pendapat dan berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Penulis: Cikal Lintang
Posting Komentar untuk "Krisis Demokrasi: Ketika Kekerasan Aparat Merenggut Kebebasan Berpendapat"