Sabda Pers dalam Dua Wajah Demokrasi
![]() |
Cahunsoedcom/Rijata Fijar Karunia |
Demokrasi lahir dari tirta rakyat melalui suara, kebenaran, dan kebebasan yang terus dikumandangkan serta dirawat. Suara, kebenaran, hingga kebebasan itu menjelma sebagai tonggak lahirnya pers yang menjadi penyambung lidah rakyat, telinga bagi yang tak terdengar, sekaligus pengawas bagi penguasa yang abai. Pers tumbuh untuk mengawal setiap derap langkah rakyat dengan perlindungan payung hukum yang semestinya kokoh dan independen. Namun benarkah pers hidup demikian di negeri demokrasi ini?
Secara hukum, demokrasi menjanjikan kebebasan pers melalui perangkat undang-undang. Di Indonesia, kebebasan pers dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menetapkan kemerdekaan pers sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan ciri masyarakat demokratis. Lebih dari sekadar norma di atas kertas, dalam banyak diskursus pers kerap disebut sebagai bagian dari empat pilar demokrasi bersama eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bukan tanpa alasan, pers diposisikan sebagai mekanisme check and balance bagi kekuasaan dengan syarat bebas dari campur tangan penguasa.
Sabda pers semestinya terjamin dan tak tergoyahkan. Namun idealisme itu kerap terbentur dengan realitas bobrok praktik demokrasi di Indonesia. Represi, pembredelan, hingga teror terhadap pekerja pers masih terjadi meski ada payung hukum. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam laporan terakhirnya mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media sepanjang 1 Januari hingga 31 Desember 2024.
Pergantian rezim pun nyatanya tidak serta merta membawa perubahan. Dalam perjalanan pemerintahan baru Prabowo–Gibran, teror dan intimidasi tetap membayangi pers Indonesia. Beberapa contohnya adalah teror kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo, penghapusan opini di Detik.com, serta represi yang dialami jurnalis TV One saat meliput aksi 31 Agustus 2025.
Tak hanya lewat pukulan dan teror, sabda pers juga kerap tersendat secara sistemik sebelum kritiknya sempat dilontarkan. Ironisnya, independensi media seringkali terikat pada orientasi politik pemiliknya. Sokongan proyek rupiah pun kerap membuat media lupa pada nalar kritis dan pedoman kemerdekaan pers. Akibatnya banyak tulisan yang cenderung “main aman” dalam menyikapi isu sensitif terkait rakyat. Selain tekanan ekonomi, pelemahan pers juga dilegitimasi lewat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta regulasi lain yang memuat pasal karet.
Fenomena ini mengisyaratkan adanya dua wajah dalam perlindungan kebebasan pers. Di satu sisi demokrasi menjanjikan kebebasan, tetapi disisi lain negara justru melanggengkan tekanan. Jika suara pers masih disumbat, pantaskah kita merayakan demokrasi yang katanya menjamin kebebasan itu?
Penulis: Kheisya Khoirunissa
Posting Komentar untuk "Sabda Pers dalam Dua Wajah Demokrasi"