Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terjangan Sang Waktu

Oleh : Uray Shita Damayanti*

Waktu terus berputar sesuai pesanan, akan datang dan akhirnya datang juga. Waktu terus berdetik, terus akan memutar menit, dan menerbitkan jam. Waktu terus berlalu, waktu terus berjalan mengikuti hari, bulan, dan tahun. Waktu memang tidak bisa berkata sebaris kata penyejuk yang indah seperti seorang pujangga, tapi waktu di anologikan sebagai sebuah jawaban yang pasti.
Waktu tak pernah berhenti, waktu dapatkah di tunggu ?
waktu dapatkan dipertahankan ?

Waktu merupakan sebuah kekuatan yang sangat berpengaruh terhadap aktivitas manusia. “Kok bisa? Waktu memiliki kekuatan?” Ya, siapa yang bisa menghentikan waktu? Siapa yang bisa menahan agar waktu dapat terhenti sesuai pesanan? Apabila terhenti, itu pasti sangat menakutkan. Tapi beberapa orang berharap agar waktu terhenti ketika dia sedang mengalami sesuatu yang indah dari sisinya.

Selama menjadi mahasiswa, ada kata yang selalu diagungkan oleh beberapa diantara mereka, “PROSES”. “Mari berproses bersama kami.” Kata-kata yang dirangkai menjadi satu kalimat yang membuat beberapa orang diantaranya tersentuh. Sebuah ajakan yang manis yang keluar dari bibir mereka yang mengajak saya untuk sedikit peduli dengan lingkungan sekitar. Ntah mereka punya magnet apa sehingga membuat saya menyadari bahwa mahasiswa bukan hanya menghabiskan waktu untuk duduk dikelas dan mendengarkan dosen berbicara, tetapi juga bergerak bersama demi mencapai sebuah kedinamisan kampus dan peka terhadap isu-isu sosial disekitar kita.

Saya mencari, saya mencoba, terus menggali, mengikuti semua proses yang ada. Saya mengikuti kegiatan yang momentum, masuk organisasi, dan menjadi staf di lembaga strategis kampus. Setiap proses saya ikuti, baik dalam bentuk kepanitiaan atau atas dasar kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Menari, bernyanyi bersama anak-anak kecil di sebuah desa setiap weekend tiba. Ini bukan tentang bagaimana saya melakukan untuk siapa, tapi setidaknya saya bisa merasakan waktu yang berpihak kepada saya dengan cara menghargai senyum mereka.

Dalam mengikuti setiap proses, selalu diawali dengan mencari masalah. Masalah? Yaa semua diawali dengan masalah. Seseorang bertanya kepada saya, “kenapa sih kita di suruh cari masalah? Padahalkan kita ga ada masalah.” Kemudian menerawang dalam lamunan, mencoba bertanya pada diri saya sendiri. “Apa saya ada masalah?” “Masalah yang bagaimana yang disebut masalah?” Lama mencari, tidak juga ditemui, karena saya sendiri merasa melakukan yang menurut saya benar. Bertahan dengan keakuanku, sehingga menutupi diri untuk memperhatikan hal-hal kecil yang terkadang saya abaikan, seperti pengakuan atas keberadaan orang lain, suatu bentuk apresiasi dan pujian.

Setiap proses yang saya jalani, tidaklah semua terpintas anggapan negatif. Proses mengenalkan saya menemukan jati diri saya sendiri, walau pun terkadang saya merasa kehilangannya. Proses mengantarkan kita pada sebuah gerbang baru dititik kedewasaan. Proses mengajarkan saya untuk terus menghargai apa yang telah saya lakukan dan saya perjuangkan. Proses membentuk saya menjadi pribadi yang setidaknya lebih banyak menyediakan waktu untuk mendengar dan mengeluarkan ucapan yang baik dan berusaha tidak menyinggung perasaan orang lain. Karena hasil dari proses yang saya jalani, belum tentu sama dengan apa yang telah orang lain lakukan.

Proses tidak pernah membuat saya lelah secara fisik. Tapi yang membuat saya lelah adalah bagaimana yang lain menjadi dominan dan hero di satu kesempatan. Mengacaukan proses, argumen-argumen nakal yang keluar dari para mereka yang bisanya hanya menuding. Tapi yang seperti inilah yang memberi sebuah kekuatan ketika kita secara tim dalam berproses, kita berpikir untuk memilih, kita berpikir untuk bermain peran, mengontrol emosi, sehingga kita bisa berpihak pada satu sisi yang kita yakini benar.

Beberapa orang berpendapat, “kalo seseorang mau mengikuti organisasi harus ikhlas akan waktu yang ada.” Bersedia mengikhlaskan terbuangnya waktu, menunggu sesuatu atau seseorang yang tidak pasti, berdiam diri memikirkan banyak argumen yang keluar dari bibir mereka yang apatis dan skeptis. Saya terkadang merasa mungkinkah saya hanya membuang waktu yang harusnya saya pergunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat? Menghabiskan waktu berjam-jam, menunggu detik demi detik sampai mungkin mereka tidak menyadari bahwa mereka atau bahkan saya sendiri telah banyak mengabaikan waktu.

Kegiatan yang kita jalani adalah fokus pada proses yang telah kita dapat. Proses yang terkadang membuat batin sakit dengan omongan mereka yang tidak pernah menghargai bagaimana berproses. Mereka yang selalu berusaha mengangkat kita, mengenalkan kita pada dunia dan lingkungan yang baru, tapi tidak pernah disangka mereka juga yang menjatuhkan kita secara perlahan atau sesentak lalu pergi.

Saat proses kepanitiaan ospek, panitia memiliki niat yang baik ingin memperkenalkan nilai-nilai yang dimiliki Fisip kepada mahasiswa baru. Tapi apakah panitia-panitia ini sudah mengenal Fisip? Teramat angkuh ketika beberapa diantara kita berkata sudah dapat mengenal Fisip dengan cara hanya bolak-balik keluar kelas lalu kosan. Ketika pelaksanaan pun terlihat yaa seperti itu adanya, pengenalan kampus. Tapi setelah selesai, apa hanya seperti itu? salah satu mahasiswa baru 2013 bertanya kepada saya, “kak, kok kampus sepi? Tidak seperti ospek yang ramai, semuanya ngumpul.” Saya tertegun, ini kita yang hanya bercuap-cuap dan ingin terlihat hebat ketika berbicara tentang semua ekspektasi kita disaat rapat? Apa kita yang tidak bisa memanfaatkan waktu saat mereka sedang antusias mengetahui segala tentang Fisip? Kita sama-sama telah membuat momen, tapi kita gagal memanfaatkan momen yang telah kita ciptakan sendiri.

Mereka bilang ini kampus. Kampus ini memiliki warna, dan kamu bisa memilih warna. Kamu bisa memilih warna apa saja yang kamu mau. Kamu bebas berpihak. Berpihak? Yaa berpihak, kemana pun yang membuat kamu merasa nyaman. Mereka bilang ini proses, mereka mengajak mari berproses. Tapi proses yang kita jalani, kita yang tahu rasanya, sehingga kita pun bisa berdamai dengan keadaan. Mereka bilang kita keluarga, kita saudara. Tapi sejenak menyediakan waktu untuk saling mendengar apa mauku dan apa maumu pun itu tak penah terwujud.

Mereka bilang kita tim, mereka bilang kita itu kami. Hahh? Tapi sedetik pun, mereka berlalu seusai proses berakhir, aku yaa aku, aku ya hidupku. Mereka bilang, kita akan mendampingi kalian, kita sama-sama disini. Tidak ada senior dan junior. Lihat saja, suatu saat nanti, apakah mereka akan menjadi sebagai yang dominan? Atau mereka yang akan duduk disudut dan perlahan pergi? Kita membutuhkan regenerasi, tapi kita sendiri yang tidak mengijinkan hal itu terjadi.

Apa karena kita terlalu banyak mempergunakan waktu untuk saling bercerita tentang keakuanku tanpa memikirkanmu? Kita merasa sok hebat dan berkuasa atas waktu karena kita telah lebih dulu merasakan dan mengaggap yang lainnya minor. Apa karena kita yang ingin selalu terlihat dan ingin mempertahankan posisi?

Tapi pernahkah kita menyediakan waktu untuk saling memuji? Pernahkan kita menyediakan waktu untuk sedikit berdiri dihadapan mereka dan mengucapkan apresiasi yang sangat mendalam terhadap proses yang mereka jalani? Pernahkah kita menyediakan waktu untuk melihat dan merasakan apa yang ada disekeliling kita?


Seandainya dalam setiap proses kita menyediakan waktu untuk saling memuji, mengapresi dan mengakui keberadaan mereka atas proses yang telah dilakukan untuk kita bersama. Mereka pasti akan kembali menjadi kita, bukan karena keakuanku, bukan pula karena keegoanku. Tapi setidaknya membuat kita berpikir bahwa kita membutuhkan aku, kamu, dan mereka.

*) Mahasiswi Hubungan Internasional FISIP Unsoed, Angkatan 2011.

Posting Komentar untuk "Terjangan Sang Waktu"