Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mempertanyakan Kamu dan Beasiswa

Oleh: Avrita Lianna
Mahasiswa Ilmu Politik 2014

Sebelum tulisan ini dibaca lebih jauh, saya perlu mengatakan bahwa tulisan ini bukan tulisan yang terlalu serius, karena kalau terlalu serius akan menambah beban hidup saya dan mungkin juga para pembaca. Namun saya berharap dampak yang serius dari tulisan ini.

Akhir-akhir ini, seiring dengan kedatangan dedek-dedek gemes di Kampus Jenderal, kita dihebohkan dengan kebijakan mengenai UKT yang mahal dan juga wacana adanya uang pangkal. Jika diibaratkan, ini seperti kita kedatangan jodoh hidup dan harus rela menanggung penderitaan bersama (karena mungkin saja salah satu dari dedek-dedek gemez ini adalah jodoh hidup kita *eh). Dan ini pun bisa jadi peluang besar bagi para kaka-kaka tingkat untuk mengambil hati dedek-dedek gemez.

Tapi, tulisan ini bukan tentang strategi bagaimana mengambil hati dedek-dedek gemez. Bukan. Saya ingin sedikit menyinggung tentang UKT yang mahal dan rencana adanya uang pangkal serta banyak menyinggung tentang alokasi beasiswa/bantuan pendidikan. Ketiga hal ini menurut saya saling berhubungan. Mengapa?

Setelah hampir dua tahun saya mengarungi bahtera perkuliahan, saya melihat adanya permasalahan mengenai alokasi beasiswa kurang mampu. Saya sering melihat mereka yang menerima beasiswa tersebut justru gaya hidupnya sangat kekinian, dengan kata lain banyak barang-barang branded yang melekat di tubuhnya. "Apa mereka benar-benar kurang mampu?" tanya hati saya.

Hal seperti ini juga terjadi pada teman satu angkatan saya yang sudah lama tidak masuk kuliah namun Si Mantan Mahasiswa ini masih menerima aliran dana bidikmisi kurang mampu. Pertanyaannya; benarkah beasiswa kurang mampu memang hanya diberikan bagi mahasiswa yang kurang mampu? Pertanyaan kedua; jika benar yang menerima memang kurang mampu, untuk apakah uang bantuan tersebut biasanya digunakan? Membeli barang-barang branded? Memenuhi hasrat hedonisme? Menjadi kekinian?

Alokasi bantuan pendidikan yang kurang tepat ini juga seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Karena hal inilah yang sering menjadi penyebab ketimpangan sosial diantara kita. Mahasiswa yang sebenarnya berada dalam kategori mampu, justru banyak yang mengajukan permintaan beasiswa kurang mampu. Alasannya, untuk memenuhi kebutuhan pribadi semata yang mungkin bukan lagi kebutuhan primer. Dengan kata lain, hanya sebatas pemenuhan keinginan, yakni keinginan yang bukan merupakan kebutuhan (ingin belum tentu butuh).

Kejadian di atas, saya rasa tidak hanya dialami oleh saya saja, mungkin banyak di luar sana yang juga merasakan hal yang sama seperti saya. Cobalah kau tengok sendiri teman-teman kau yang menerima beasiswa kurang mampu.

Kepada mereka yang memang benar-benar "kurang mampu", coba sekali lagi menghadap ke cermin dan bertanya: "benarkah saya tidak/kurang mampu?" Melalui tulisan ini, saya berharap kita bisa mengetahui kemampuan dan ketidakmampuan kita masing-masing. Kesadaran diri harus lebih kita tingkatkan lagi. Jangan sok idealis lah, kalau kita masih suka makan hak orang lain. Masih banyak orang lain yang lebih membutuhkan bantuan tersebut daripada kita.

Berikutnya menyoal alokasi beasiswa berprestasi. Hal ini yang sangat jarang diperhatikan karena kita sudah terkonstruksi bahwa penerima beasiswa ini adalah makhluk-makhluk elit. Yap, elit! Syarat utamanya biasanya adalah IPK di atas rata-rata, katakanlah di atas 3,00. Sejak dulu, kita punya keyakinan bersama bahwa IPK di atas 3,00 adalah prestasi. Adanya syarat ini sebenarnya menunjukkan ciri masyarakat Indonesia yang maunya serba instan dan hanya mementingkan hasil daripada proses. Akibatnya, orang akan menghalalkan segala cara untuk mendapat IPK di atas 3,00. Pertanyaannya, pantaskah mereka yang menghalalkan segala cara ini mendapat bantuan berprestasi? Dalam hal ini, mahasiswa berprestasi bisa jadi adalah orang-orang mampu, dan itu tidak masalah. Kembali soal menghalalkan segala cara, saya juga banyak melihat mereka-mereka yang bangga memiliki IPK di atas 3,00 justru ketika di kelas malah bungkam, dan ketika ditanya malah ngga bisa menjawab. Dari mana asal-muasal 3,00 ini? Hal ini bisa didebat dengan pernyataan klise, "Pinter kan bukan berarti harus pinter ngomong juga, kan ada yang pinternya cuma dalam tulisan." Benar, kok. Maksud cara di sini adalah merujuk pada proses yang jujur (berkaitan dengan kejujuran).

Definisi berprestasi tersebut menjadi problematis. Di satu sisi mengatakan berprestasi itu di atas 3,00 tapi bisa jadi dengan segala cara untuk mencapainya, namun di sisi lain mengatakan di bawah 3,00 itu berprestasi, juga tidak bisa.

Tulisan ini bukan mengajak untuk mengkudeta mahasiswa-mahasiswa tersebut (yang punya kesadaran diri minimum). Lewat tulisan ini, saya mencoba membangkitkan kesadaran diri kita masing-masing dan berkata; "Pantaskah saya?" Pertanyaan ini bukan hanya untuk penerima beasiswa saja, namun juga bagi yang tidak mengajukan/menerima beasiswa. Hal ini agar menjadi pendorong bagi mereka yang sebenarnya tidak mampu (secara ekonomi) namun tidak mau berjuang menuntut keadilan, dan alhasil, misalnya terpaksa berhutang kesana-kemari untuk biaya kuliah. Lalu menjadi omongan tetangga karena tidak bisa membayar hutang. Ataupun sampai merepotkan orang lain untuk mengadakan gerakan donasi atau semacamnya.

Hubungannya dengan UKT mahal dan wacana uang pangkal, beasiswa yang katakanlah alokasinya masih banyak yang belum tepat, justru akan semakin memberatkan mereka yang menanggung UKT mahal dan uang pangkal namun secara ekonomi memang benar-benar tidak mampu. Bukankah beasiswa ini bertujuan untuk meringankan beban mereka? Namun, beasiswa bukan solusi satu-satunya untuk permasalahan UKT yang mahal ataupun wacana uang pangkal.  Kalau memang UKT masih bisa dibikin murah dan uang pangkal masih bisa ditiadakan, kenapa tidak? Kita seharusnya punya self-temperance, self-control, dan yang terpenting kesadaran diri untuk tidak merebut hak-hak orang lain.

Pertanyaan "Pantaskah saya?" tidak perlu dijawab di sini, karena jawaban kita pasti akan berbeda-beda dan dikhawatirkan menimbulkan perdebatan. Jawab sendiri dalam hati saja. Saya sangat mengapresiasi jika penerima yang tidak tepat ini bisa sadar lalu mengembalikan/memberikan bantuan tersebut kepada yang lebih membutuhkan. Ini baru mahasiswa keren, benar-benar agent of change!

Demikian tulisan yang tidak terlalu serius ini, namun berharap bisa berdampak serius.

1 komentar untuk "Mempertanyakan Kamu dan Beasiswa"

  1. tulisan yang sangat bagus dan wajib direnungi.

    Tadinya saya mau menulis artikel tentang beasiswa BIDIKMISI yang salah sasaran,tapi sudah tersalurkan lewat tulisan mbak Avrita diatas
    sekali lagi terima kasih

    Saya rasa banyak orang orang "kaya" yang ngaku tidak mampu agar bisa mendapat beasiswa bidikmisi
    padahal kenyataanya ya mereka hidup berkecukupan, berlebih malah.

    jujur saya sendiri sangat menolak beasiswa bidikmisi, saya lebih baik menerima beasiswa dari program lain yang tanpa embel embel "kemiskinan" misal beasiswa karena prestasi yang diraih.

    Dan saya juga sangat sependapat dengan Mbak untuk lebih memilih penurunan biaya ukt daripada harus bidikmisi

    BalasHapus