Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia Gelap, Refleksi Kebijakan yang Tak Berpihak pada Rakyat

Cahunsoedcom/Rijata Fijar 

Indonesia dengan segala kekayaan alam serta sumber daya manusia yang dimiliki semestinya dapat mencapai kesejahteraan sebagaimana mestinya. Buruknya tata kelola membuat kesejahteraan hanya sebatas angan. Hal itu tentu akibat opsi culas yang dipilih pemangku kepentingan dalam menjalankan roda pemerintahan, seperti pemimpin terpilih dengan sejarah pelanggaran HAM berat di masa lalu atau hasil dari mengobrak-abrik konstitusi.

Slogan "Indonesia Gelap" saat ini masih menempati trending linimasa di aplikasi X sejak awal Februari 2025 serta menjadi tajuk dalam aksi yang diinisiasi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) pada 17–19 Februari 2025 di beberapa kota di Indonesia. Dilansir dari Tempo, terdapat lima tuntutan BEM SI dalam aksi Indonesia Gelap, yaitu menuntut pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, menolak pasal dalam RUU Minerba yang mengizinkan kampus mengelola tambang, mendesak pencairan tunjangan kinerja dosen dan tenaga kependidikan, mengevaluasi total program Makan Bergizi Gratis (MBG), serta meminta pemerintah berhenti membuat kebijakan tanpa riset dan orientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Tuntutan yang menjadi sorotan dalam aksi Indonesia Gelap merefleksikan disproporsi antara kebijakan yang dibuat dengan kebutuhan rakyat. Misalnya, kabinet gemuk yang diciptakan Prabowo-Gibran dengan jumlah kementerian melebihi kabinet sebelumnya. Prabowo meyakini bahwa hal tersebut dapat mempercepat tercapainya visi-misi, meskipun hal ini justru membebani keuangan negara. Ironisnya, langkah ini berbanding terbalik dengan retorika efisiensi anggaran yang digaungkan saat kampanye 2024.

Efisiensi anggaran kini justru dijadikan alasan untuk memangkas berbagai sektor penting. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2025 berisiko mengesampingkan sektor vital yang berdampak langsung pada rakyat. Hal ini seakan memberi "cap halal" bagi kebijakan yang menyulitkan masyarakat.

Selain efisiensi anggaran, kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) juga patut dikritisi. Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) yang mengizinkan kampus mengelola tambang dapat mengalihkan fokus perguruan tinggi dari pendidikan ke praktik komersialisasi. Alih-alih memperhatikan aspek keberlanjutan dan keadilan sosial, kebijakan ini justru membuka ruang bagi eksploitasi yang lebih masif.

Pencairan tunjangan kinerja dosen dan tenaga kependidikan juga menjadi sorotan. Dengan alasan tidak adanya pengajuan alokasi anggaran untuk kebutuhan tersebut, para dosen dan tenaga kependidikan bahkan harus turun ke jalan demi menuntut haknya. Tentu, hal ini bertentangan dengan visi-misi Prabowo-Gibran yang menyatakan bahwa pelayanan publik yang baik hanya dapat terlaksana jika Aparatur Sipil Negara (ASN) berada dalam kondisi sejahtera.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu kebijakan yang paling disoroti sejak awal karena diyakini oleh Prabowo-Gibran dapat menurunkan angka stunting di Indonesia. Namun, permasalahan stunting tidak hanya sebatas kurangnya asupan gizi, melainkan juga berkaitan dengan kualitas pendidikan dan fasilitas kesehatan yang tersedia. Selain itu, lebih banyak lapangan pekerjaan harus dibuka di daerah-daerah rawan stunting agar pendapatan keluarga meningkat dan gizi anak dapat terpenuhi.

Selama ini, beberapa kebijakan pemerintah kerap dilakukan tanpa kajian matang. Kenaikan PPN 12%, kelangkaan gas melon akibat larangan penjualan di pengecer, hingga kasus pagar laut misterius memicu kegaduhan di tengah masyarakat. Pembatalan kebijakan kontroversial seringkali datang terlambat, seolah-olah menjadi "pahlawan kesiangan".

Indonesia Gelap bukan sekadar aksi, melainkan cerminan ketakutan rakyat atas arah kebijakan yang lebih berpihak pada segelintir orang daripada kesejahteraan bersama. Gerakan ini menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi juga bagaimana kekuasaan dijalankan. Jika aspirasi rakyat terus diabaikan, Indonesia Gelap bisa menjadi kenyataan, bukan sekadar slogan.


Penulis: Kheisya Khoirunissa Andriani

Editor: Anyalla Felisa





 

3 komentar untuk "Indonesia Gelap, Refleksi Kebijakan yang Tak Berpihak pada Rakyat"