Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Taman Para Perempuan yang Hilang

Cahunsoedcom/Roziana Nur Afiqoh

Larasuma adalah kota kecil yang senantiasa diselimuti kabut dan keheningan yang terasa menetap. Di sepanjang jalan berbatu, di antara bangunan-bangunan tua yang menua bersama waktu, tersimpan banyak kisah yang tak pernah diucapkan secara terang-terangan, seakan dibungkam oleh sunyi yang disengaja. Di balik tembok-tembok itu, tersembunyi sebuah taman kecil yang kerap didatangi oleh para perempuan yang merasa kehilangan suaranya. Taman itu tidak pernah diberi nama secara resmi, tetapi dikenal sebagai Taman Perempuan.

Di tengah rintik hujan yang mulai mereda, di sebuah bangku kayu tua di sudut taman, duduk seorang remaja perempuan dengan tatapan kosong. Namanya Kanti, siswi kelas 12 SMA Cendrawasih. Dalam bahasa Sanskerta, namanya berarti “suara”, kini terdengar ironis, sebab sejak beberapa bulan terakhir, suara yang ada dalam dirinya seolah menghilang. Bukan karena fisiknya, tetapi karena dunia di sekitarnya yang seperti menutup telinga dan enggan mendengar jeritannya.

Peristiwa traumatis pernah dialami Kanti di ruang laboratorium bahasa, tempat belajar yang seharusnya menjadi zona aman. Di sana, ia mengalami kekerasan seksual oleh seseorang yang semestinya menjadi pelindung. Namun ketika Kanti berusaha mengumpulkan keberanian untuk menceritakan kejadian itu, yang ia dapat bukan perlindungan, melainkan penghakiman. Ia disalahkan, seakan-akan menjadi penyebab dari luka yang ia derita.

Beberapa teman yang dulu ia percayai justru mempertanyakan cara berpakaiannya, menyiratkan bahwa dirinya “mengundang.” Kalimat-kalimat itu tak hanya melukai, tetapi juga memperlihatkan betapa sebagian masyarakat masih gagal membedakan antara pelaku dan korban. Stigma semacam itu bukan hanya membungkam suara, tetapi juga mengikis rasa harga diri.

Di dalam keterasingannya, taman itu menjadi satu-satunya ruang yang tak menghakimi. Suara dedaunan yang bergesekan dan gemericik air hujan lebih ramah dibanding bisik-bisik manusia yang menyudutkan. Di sanalah Kanti mencoba menenangkan diri, menyusun kembali keberanian yang sempat retak.

Suatu hari, datang seorang perempuan tua yang duduk diam di bangku yang sama. Ia tak banyak bicara, tetapi matanya menyimpan luka yang tampak akrab dengan dunia. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata,

“Suara kita tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya disembunyikan, ditenggelamkan oleh rasa malu dan takut yang bukan milik kita, melainkan warisan paksa dari masyarakat.”

Kata-kata yang dilontarkan oleh perempuan tua itu sedikit memberi Kanti semangat baru. Ia mulai menulis surat untuk dirinya sendiri, mengungkapkan semua ketakutan dan rasa sakitnya tanpa takut dihakimi. Surat itu kemudian ia tanam di taman, bersamaan dengan benda-benda kecil milik perempuan lain yang juga merasa terluka.

Lambat laun, taman itu menjelma menjadi simbol perlawanan sunyi. Benda-benda dan tulisan yang tertanam seolah tumbuh menjadi pohon-pohon baru dengan daun-daun berisi kata-kata seperti “berani,” “percaya diri,” “suara saya penting,” dan “saya tidak sendiri.” Taman itu menjadi ruang yang memperlihatkan bahwa meski luka menyakitkan, dari sana bisa lahir kekuatan dan harapan.

Kanti yang dulu diam, kini mulai bersuara. Bukan untuk membela diri, melainkan untuk menyampaikan kebenaran. Ia mulai mengikuti diskusi-diskusi kecil, menulis puisi, dan berbagi kisah sebagai bentuk dukungan kepada korban lainnya. Ia membuktikan bahwa keberanian bukan berarti tanpa rasa takut, melainkan keberanian untuk tetap melangkah meski dunia penuh ketidakadilan.

Pesan untuk Para Korban Kekerasan Seksual

Bagi para penyintas, keberanian bukan diukur dari seberapa lantang suara yang diucapkan, tetapi dari keberanian untuk terus bertahan, untuk mencari pertolongan, dan untuk merawat dirinya sendiri di tengah situasi yang sulit. Proses pemulihan memang tidak selalu singkat, tetapi setiap langkah kecil menuju penyembuhan adalah bentuk dari kekuatan yang nyata.

Kita sebagai masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk tidak menambah beban mereka. Sebaliknya, kita perlu membuka ruang-ruang yang aman, mendengarkan tanpa menghakimi, dan memperjuangkan sistem yang lebih berpihak pada korban.

Sebagaimana Kanti dalam cerita ini menemukan keberanian dari keheningan taman yang ia datangi, semoga setiap penyintas dapat menemukan ruang yang membuat mereka merasa tidak sendiri dan akhirnya bisa sadar bahwa suara mereka penting, layak didengar, dan tidak seharusnya dibungkam oleh stigma.


Penulis: Intan Ayu Rahmawati


1 komentar untuk "Taman Para Perempuan yang Hilang"